Selasa, 20 Maret 2007

Ada Apa dengan Paroki St. Paulus Tello?


Mendengar sikap yang diambil oleh umat Katolik khususnya Paroki Santo Paulus Tello, akan mengejutkan banyak orang termasuk kalangan masyarakat pada umumnya dan kalangan umat Katolik pada khususnya. Keheranan yang muncul di hati masing-masing tidak bisa dipungkiri karena perihal yang berada di seputar sikap itu tak diketahui oleh semua dan menimbulkan bermacam-ragam penafsiran. Oleh karena itu tulisan ini kami harapkan dapat memberi penjelasan singkat tentang perihal tersebut. Tidak mungkin kita akan memahami duduknya perkara itu tanpa mengenal sedikit sejarah umat Katolik di Tello dan sekitarnya. Setelah menjadi Paroki tersendiri pada tahun 1998, gedung peribadatan masih tetap diperkenankan oleh Kepolisian untuk dipakai umat Katolik. Namun pada era reformasi, tanah tempat gedung itu berdiri mulai dipersoalkan masyarakat. Bagian berikut adalah beberapa pertemuan dalam menyikapi keadaan Paroki Santo Paulus Tello, terutama mengenai status tempat ibadatnya, khususnya yang ada sekarang.

Sepintas Sejarah Umat Paroki Santo Paulus, Tello
Keberadaan paroki Tello bermula dari kesadaran segelintir keluarga Katolik yang berada di dalam dan di sekitar Asrama Brigade Mobil/Kepolisian dan para pengawai PLTU Makassar. Ada sekitar 10 KK. Kesadaran akan hidup beragama mereka membuat mereka hidup sebagai kelompok umat. Demikian juga menentukan tempat di mana mereka melaksanakan ibadat bersama. Pada mulanya segelintir umat itu menjadi Gereja nomaden atau berpindah-pindah dari rumah ke rumah para anggota.

Dengan pelan–pelan jumlah umat katolik di sekitar Tello bertambah. Dengan pelayanan Pastor Tentara, Pastor Leo Blot serta adanya tenaga Rohkat (Rohaniwan Katolik, red.) dari kalangan kepolisian, Bpk. Petrus Bisa, tempat yang lebih permanen diusahakan sebagai tempat berkumpulnya umat untuk beribadat.

Secara kebetulan di asrama polisi ada ruang yang dapat menampung jumlah umat yang ada. Melihat kebutuhan itu umat pada akhirnya bermohon untuk diperkenankan melakukan ibadat di salah satu ruang pada hari Minggu. Atas kesudian anggota kepolisian dalam hal ini Polda Sulselra memperkenankan umat Katolik untuk memakai ruang itu. Gedung itu pada mulanya adalah pos jaga brimob. Pos jaga itu beralih fungsi kemudian menjadi poliklinik. Ruangan pun mereka diperkenankan mempergunakan HANYA untuk hari Minggu. Setelah beribadat umat mengatur kembali bangku-bangku Gereja pada saat itu menjadi lebih tetap tempat mereka beribadat bersama. Pada tahun 1977, umat Katolik mengajukan rehabilitasi ruangan yang pertama dan diperkenankan oleh pihak kepolisian. Umat masih tetap beribadat pada ruangan tersebut.

Karena terus bertambahnya umat di Tello, akhirnya para pengurus rukun waktu itu berpikir meminta kepada pihak pemerintah via Kepolisian Daerah Sulselra, agar memperkenankan umat Katolik memakai seluruh gedung poliklinik itu. Menhankam waktu itu Panglima L.B. Moerdani dalam rangka tugasnya datang berkunjung ke asrama polisi Tello. Kepada beliaulah diajukan ide itu. Beliau memberi isyarat persetujuan, namun secara lisan (tidak ada catatan dalam arsip kami mengenai hal itu).

Akhirnya, kelompok yang hanya dahulu segelintir KK sekarang berjumlah sekitar 4.500 orang, yang asalnya dari berbagai suku dan daerah. Bisa dibayangkan jika semuanya ikut berpartisipasi dalam ibadat mingguan. Sudah ada empat kali misa hari minggu (termasuk misa antisipasi pada hari Sabtu sore). Namun masih saja ada orang yang berdiri di jalanan. Gedung diperkenankan dipakai untuk kegiatan lainnya pula. Lalu didirikanlah suatu paroki teritorial Paroki Santo Paulus Tello pada tahun 1998 dengan Pastor Michel Migneau CICM sebagai Pastor Paroki yang pertama.

Proses Hukum atas Tanah Tempat Berdiri Gedung Gereja
Selain dari perkembangan jumlah umat, era reformasi dalam negeri tercinta kita ini bergulir. Hal itu memunculkan keberanian orang untuk mencari haknya. Hak atas tanah pun terbit juga pada benak orang/masyarakat. Itu dilakukan juga melalui suatu proses hukum. Sewaktu Pastor Michel pastor paroki, beliau bergagasan untuk membuat lokasi tempat beribadat sebagai pusat paroki. Dengan demikian, muncullah masalah kepemilikan tanah dan gedung. Untuk mencari siapa pemilik tanah sebenarnya menjadi masalah. Dalam catatan beliau ada 9 (sembilan) orang yang mengaku tanah tempat gedung gereja adalah miliknya. Akhirnya beliau hanya menyarankan agar siapa di antaranya adalah pemilik tanah itu. Maka sengketa tanah atas mana gedung peribadatan gereja Katolik dimulai. Ada yang mundur teratur. Tetapi juga ada yang melanjutkan ke pengadilan negeri. Ada yang mengajukan sengketa tanah itu ke pengadilan dan menggugat Gereja Katolik menduduki tanahnya orang. Dengan alasan itu, Gereja Katolik Santo Paulus Tello, menjadi tergugat I. Akhirnya Gereja pun memakai seorang pengacara untuk membela. Tetapi di pengadilan, Gereja Katolik beralasan hanya diperkenankan memakai gedungnya oleh pihak Kepolisian (Kepolisian Daerah Sulselra). Dengan ini kepolisian pun menjadi tergugat II.

Dalam perjalanan penyelidikan serta pemeriksaan di pengadilan, muncul lagi seorang yang mengakui tanah itu adalah miliknya. Dia menjadi penggugat intervensi. Akhirnya Pengadilan Negeri (tingkat I) memutuskan bahwa Gereja Katolik Santo Paulus Tello dan pihak kepolisian dinyatakan kalah. Dengan keputusan itu, Gereja Katolik Santo Paulus Tello dan Kepolisian ikut menyatakan naik banding. Pengadilan Tinggi Makassar menentukan dalam keputusannya bahwa Gereja Katolik Santo Paulus Tello dan Kepolisian kalah. Di sini pengadilan menyatakan penggugat I yang menang. Terjadilah naik kasasi ke Mahkamah Agung. Tetapi dalam menyadari kekuatan alasan dari Gereja cukup lemah untuk berjuang lagi, Gereja Katolik Santo Paulus tidak ikut naik kasasi. Maka hanya menunggu hasil atau keputusan MA itu.

Pada tanggal 15 Januari 2007, kami diantarkan salinan dari keputusan kasasi di MA. Di situ dinyatakan bahwa pihak Gereja Katolik Santo Paulus Tello dan Kepolisian kalah.

Langkah-langkah yang dilakukan Pastor Paroki dengan Pengurus Harian DEPAS Paroki bersama Dewan Pastoral Pleno Paroki Santo Paulus Tello
Dengan munculnya keputusan dari MA tentang sengketa atas tanah tempat gedung peribadatan umat Paroki Santo Paulus Tello, Depas Harian Paroki Santo Paulus Tello mengadakan pertemuan I tahun 2007 pada tanggal 30 Januari 2007. Di dalam pertemuan, dicantumkan sebagai satu agenda penting adalah mengenai tanah itu. Menyadari bahwa di antara kami tidak ada ahli hukum, kami berkesimpulan untuk berkonsultasi dengan pihak pimpinan KAMS dan ahli-ahli hukum.

Kesempatan pertemuan itu terlaksana pada tanggal 6 Februari 2007. Hadir dalam pertemuan itu termasuk Depas Harian Paroki Santo Paulus Tello, staf dan jajaran KAMS beserta ahli hukum. Jika menyimak dari aspek hukumnya, pertemuan itu menyimpulkan untuk hanya menunggu kapan pelaksanaan keputusan itu. Di lain segi, melihat situasi lokasi itu sempit dan mempertimbangkan keadaan beribadatnya yang tidak menunjang serta perkembangan kota dan masyarakat, maka perembukan itu mengarah pada kesimpulan untuk meninggalkan lokasi tempat peribadatan itu.

Pada tanggal 13 Februari 2007, pertemuan rutin Depas Harian Santo Paulus Tello mengolah gagasan kesimpulan dari pertemuan dengan Keuskupan, serta mulai memikirkan bagaimana selanjutnya umat Paroki Santo Paulus Tello. Namun secara konkretnya dituangkan pada pertemuan I enambulanan Depas Pleno dan menjadi satu-satunya agenda pertemuan. Pada tanggal 18 Februari 2007, pertemuan I enambulanan Depas Pleno diadakan. Dengan menyadari beberapa hal yang menyangkut masalah tanah dan tempat peribadatan umat Paroki Santo Paulus Tello memutuskan dan menentukan untuk :

1. Dengan sukarela mengangkat kaki dari tempat peribadatan sekarang;
2. Tidak mengadakan kegiatan ibadat bersama di tempat sekarang mulai tanggal 25 Februari 2007;
3. Menyerahkan kembali gedung apa adanya sekarang ke pihak Kepolisian ;
4. Tempat peribadatan sementara akan diatur di gedung Gereja Stasi Antang dan dengan kerelaan Paroki Santa Maria Ratu Rosari Kare.
5. Perabotannya akan diangkat sebagian ke Antang sebagian ke Kare;
6. Buat kegiatan-kegiatan kategorial akan diatur koordinator masing-masing seksi.
7. Berpamitan dengan sopan ke Kepolisian.

Untuk melanjutkan kegiatan beribadat, dilakukan pendekatan dengan Pastor Paroki dan Pengurus Depas Paroki Santa Maria Ratu Rosari Kare.
1. Paroki Santo Paulus Tello tetap berdiri, tidak dibubarkan ataupun dilebur ke Paroki lain;
2. Perayaan Ekaristi Misa bersama yang menyatakan kebersamaan umat Paroki Tello (sebisa mungkin) terlaksana pada Minggu setelah Paska;
3. Pusat Administrasi Paroki Santo Paulus Tello akan diberi tempat sementara di Kare;
4. Pastor Paroki juga akan diberi tumpangan di Pastoran Kare;

Sewaktu Depas Harian Paroki Santo Paulus Tello menyampaikan keputusan Depas Pleno kepada Bapa Uskup Agung, beliau menyarankan agar ucapan terima kasih itu dan pamitan itu berupa suatu audiensi. Audiensi dengan Kapolda terlaksana pada tanggal 6 Maret 2007. Wakapolda Sulsel diberi tugas untuk menyambut kami. Yang menyertai Depas harian dalam audensi itu termasuk Bapa Uskup Agung KAMS serta Sekjen KAMS. Bapa Uskup Agung dan Dewan Pastoral harian mengucapkan terima kasih atas diperkenankan Pemerintah, dalam hal ini Kepolisian Daerah, untuk memakai gedungnya sebagai tempat peribadatan umat Katolik selama kurang lebih 40 tahun. Seperti yang ditentukan oleh Depas Pleno, ungkapan itu ditandakan dengan penyerahan gedung apa adanya sekarang. Wakapolda sendiri memahami lemahnya Gereja Santo Paulus Tello untuk berjuang terus secara hukum.


Mungkin saja kami merasa terlena karena merasa nyaman. Dengan peristiwa ini, kami menjadi sadar akan apa adanya kami. Menyimak semuanya ini, kami umat Paroki Tello menyadari keadaan kami yang sebenarnya: UMAT YANG DIBERI TUMPANGAN. Tanah dan gedung peribadatan bukanlah milik dari umat/paroki. Walaupun gedungnya kami telah berjuang untuk mengusahakan suatu tempat yang layak beribadat, namun tetap milik dari yang memperkenankan beribadat di tempat itu. Sama saja bila kita indekos, apabila kita memperbaiki sesuatu (apalagi yang besar-besaran atas izin pemilik), rumah itu masih tetap milik orang itu bukan milik kita. Jika kita diperkenankan menanam pada tanah orang, tanah itu masih tetap milik orang itu. Itulah yang menjadi pertimbangan dari ketentuan dan sikap kami.

Pada permulaan setelah Depas Pleno menentukan sikap, bermacam ragam perasaan timbul dalam hati: kasihan, apa gunanya kita berjuang dahulu; marah atau tidak ada harapan mau ke mana.
Kami akui itu memang bermunculan sana-sini karena merasa kehilangan. Mudah-mudahan dengan dukungan dan bantuan Anda,
- Pertama-tama memahami alasan-alasan sikap kami Paroki Santo Paulus Tello.
- Membantu kami terus memberi tempat yang layak bagi Tuhan dan UmatNya, kami merasa diteguhkan dalam pilihan kami ini.

Akhir kata, kami ucapkan banyak terima kasih karena ikut prihatin pada kami umat di paroki Santo Paulus Tello. ***
P. Noel Valencia, cicm
Pastor Paroki St. Paulus Tello

Tidak ada komentar: