Selasa, 18 Desember 2007

Memahami dan Mewujudnyatakan Pesan Natal Bersama KWI-PGI 2007


Dalam menyambut perayaan Natal, setiap tahun PGI dan KWI mengeluarkan Pesan Bersama “kepada segenap umat Kristiani Indonesia di mana pun berada”. Adapun proses terjadinya naskah Pesan Bersama itu sebagai berikut: Sebuah tim kecil yang terdiri dari unsur PGI dan KWI bertemu untuk memilih tema, dan selanjutnya menyusun draft pertama. Draft pertama itu kemudian dipresentasikan pada sidang pleno KWI, yang setiap tahun dimulai pada Senin pertama dalam bulan November, untuk mendapatkan tanggapan/masukan. Setelah itu, dikonsultasikan kepada Majelis Pekerja Harian PGI, dan selanjutnya disusun draft kedua. Draft kedua itu kembali dipresentasikan pada sidang pleno KWI, dan berdasarkan tanggapan/masukan baru dari sidang disusun draft ketiga, yang selanjutnya dikonsultasikan kepada Majelis Pekerja Harian PGI, dan akhirnya keluar naskah final.

Dengan demikian setiap Pesan Natal Bersama PGI-KWI melibatkan secara langsung para Uskup Indonesia dalam perumusannya. Bagi umat Katolik Indonesia, ini tentu memberi bobot khusus pada Pesan Natal Bersama tersebut sebagai pesan kegembalaan para Uskup mereka, dalam kebersamaan dengan PGI: Salah satu wujud usaha ekumenis menuju kesatuan penuh yang dikehendaki Kristus, Sang Imanuel (Yoh. 17).

Perayaan Natal dan Masalah Aktual Manusia
Signifikan dan relevan adalah istilah kesukaan Wapres Republik Mimpi pada acara populer News Dotcom, METRO TV. Sebaliknya lawan-kata kedua istilah itu, insignifikan dan irrelevan, digunakan oleh Pdt. Dr. Eka Darmaputra dalam ceramah beliau di depan SAGKI 2000 yang mencanangkan Komunitas Basis sebagai cara baru hidup menggereja (Katolik) di Indonesia. Pdt. Darmaputra mensinyalir bagaimana Gereja-Gereja di Indonesia – beliau berbicara khusus mengenai Gereja-Gereja Reformasi – sedang mengalami insignifikansi internal dan irrelevansi eksternal. Kedalam, Gereja-Gereja telah kehilangan makna bagi umatnya; kebekuan Gereja-Gereja membuatnya tak lagi menjadi sumber kekuatan rohani bagi umatnya dalam menghadapi persoalan kehidupan. Keluar, Gereja-Gereja telah menjadi irrelevan di tengah masyarakat; Gereja-Gereja ditemukan oleh umatnya tak lagi menjadi garam dan terang dunia sebagaimana dikehendaki Kristus (Mat. 5:13-16). Menghadapi situasi seperti itu umat Gereja-Gereja mengambil sikap berbeda-beda. Ada yang dengan rajin berpindah dari Gereja yang satu ke Gereja yang lain, kayak pergi belanja di pasar-pasar mal saja. Yang lain tetap tinggal dalam Gerejanya, tetapi dalam kelesuan. Barangkali mereka ini berpendapat, di mana-mana toh sama saja. Bedanya hanya ada yang pandai menjajakan barang dagangannya dan mengiming-iming dengan harga murah, tetapi isinya belum tentu sungguh bermutu.

Salah satu perayaan besar Kristiani yang rentan terhadap insignifikansi internal dan irrelevansi eksternal ialah Natal. Setiap tahun umat Kristiani merayakan Natal secara luas. Bahkan di banyak tempat perayaan Natal melibatkan pula pemerintah dan umat beragama lain. Tetapi pertanyaan besar yang muncul ialah, sejauh mana perayaan Natal itu membawa dampak dalam kehidupan dan tidak sekedar perayaan yang basa-basi? Padahal perayaan Natal adalah pertama-tama perayaan iman. Sebagai perayaan iman, perayaan Natal tidak hanya sekedar mengenang sebuah peristiwa yang terjadi lebih 2000 tahun lampau. Perayaan iman berarti menghadirkan kembali peristiwa itu pada saat sekarang ini dan dialami dalam iman oleh mereka yang merayakannya. Merayakan Natal dalam iman berarti menghadirkan dan mengalami kelahiran Yesus pada saat sekarang ini, sebagai Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh. 1:14). “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa … Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:16-17). Merayakan kelahiran Yesus dewasa ini harus memiliki relevansi pada situasi masyarakat manusia dewasa ini.

Sedemikian itu maka Pesan Natal Bersama PGI-KWI setiap tahun memilih tema yang relevan pada situasi dan kondisi aktual masyarakat Indonesia. Tahun ini dipilih tema “Hiduplah dengan Bijaksana, Adil, dan Beribadah” (bdk. Tit. 2:12).

Tiga Kata Kunci
Rumusan tema mengambil bentuk ajakan: “Hiduplah…”. Lalu mengikut tiga kata kunci: bijaksana, adil, dan beribadah. Kalau diperhatikan baik-baik, ketiganya menyangkut hidup manusia dalam tiga relasi berbeda: manusia dalam hubungannya dengan diri sendiri (bijaksana); manusia dalam hubungannya dengan sesama (adil); dan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan (beribadah). Dalam ketiga dimensi itu masyarakat Indonesia secara aktual menghadapi masalah.

Pertama, sering terdengar keluhan bahwa masyarakat kita kekurangan tokoh panutan yang bijaksana. Bahkan kebijaksanaan sendiri mendapatkan arti yang melenceng. Kalau seseorang, misalnya, tertangkap polisi karena melanggar aturan lalulintas, dengan mudah berkata, “Minta kebijaksanaan, Pak”, sambil secara sembunyi-sembunyi menyodorkan uang rokok. Kalau seorang siswa tidak lulus ujian salah satu vak, tanpa ragu dia menghadap guru vak bersangkutan untuk meminta kebijaksanaan sambil menyodorkan sebuah amplop. Menurut Kitab Suci, orang yang bijaksana ialah seorang yang pandai mengatur tindakan-tindakannya secara bertanggungjawab, agar berhasil dalam hidupnya (Ams. 8:12-21). Asal usul kebijaksanaan ialah pemberian ilahi berupa “takut akan Allah” (Ams. 9:10; Yes. 11:2; Luk. 21:15; Kis. 6:3.10;7-10). Yesus adalah seorang bijaksana, seorang pendekar kebijaksanaan: perumpamaan-perumpamaan, peraturan-peraturan kehidupanNya membuat orang-orang terheran-heran (Mat. 13:54; Luk. 2:40.52); Injil menegaskan, “yang ada di sini lebih daripada Salomo” (Mat. 12:42).

Selanjutnya, kebijaksanaan yang dipersonifikasikan dalam Perjanjian Lama (Ams. 8:22-31; Keb. 7:25-26; Luk. 11:49), nampak dalam tindakan-tindakan Yesus (Mat. 11:19 // Luk. 7:35). Bila Yesus memanggil kepada diriNya orang-orang kecil, maka Ia tidak melakukannya sebagai pendekar kebijaksanaan yang menyampaikan sejumlah resep kehidupan, melainkan sebagai Putera yang menyatakan rahasia-rahasia Allah (Mat. 11:25-30; Yoh. 6:35; bdk. Ams. 9:5; Sir. 24:19-21) dan yang karena kurbanNya, menjadi kebijaksanaan Allah (1 Kor. 1:24-30; Kol. 2:3).

Dengan memanggil ‘orang-orang kecil’ dan bukan orang-orang bijak dunia ini (Mat. 11:28-30; bdk. Dan. 2:28-30), Allah menunjukkan penolakanNya terhadap kebijaksanaan manusia yang menganggap dirinya mengetahui segala-galanya (1 Kor. 1:19-20; 3:19-20), dan Ia memberikan keselamatan melalui kebodohan salib (1 Kor. 1:17-25; 4:10). Juga orang yang menerima Kebijaksanaan (Ef. 1:8.17; Yak. 1:5; 3:13-17) dari atas, dapat menghargai dan dapat memberitakan hal-hal rohani (1 Kor. 2:6-16; 12:8); ia bertindak dengan hati-hati, dengan pertimbangan-pertimbangan, dan dengan pemikiran mendalam (Ef. 5:15; Kol. 4:5).

Selanjutnya, kata kunci kedua ialah adil: Hiduplah dengan adil. Sila ke-5 Pancasila berbunyi: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sedangkan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (lih. laporan Badan Pusat Statistik, Jakarta, 1 Sept. 2006), sampai Febr. 2005, sebanyak 35,1 juta warga negara Indonesia menderita kemiskinan (=15,97% dari 220 juta penduduk). Jumlah itu meningkat menjadi 39,05 juta (=17,75%) pada Maret 2006. Namun jumlah itu terdiri dari kaum miskin yang hidup dengan biaya di bawah sekitar Rp 14.000,- per hari / per orang. Ketika kemiskinan diukur dengan biaya hidup di bawah sekitar Rp 18.000,- per hari / per orang, sebagaimana ukuran yang digunakan Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia pada November 2006, ketika penduduk Indonesia sudah tercatat 222 juta, membengkak menjadi 108,78 juta (= 49% penduduk Indonesia!). Data kemiskinan mengerikan seperti ini sungguh ironis dapat terjadi di negeri yang sedari dulu dikenal sebagai negeri yang subur dan kaya raya sumber daya alam. Data itu menampilkan adanya kesenjangan sosial ekonomi yang semakin melebar antara kaya-miskin. Kenyataan inilah khususnya yang mendorong para Uskup Indonesia yang tergabung dalam KWI mengeluarkan satu seri Nota Pastoral antara tahun 2003-2006, bertema “Keadilan Sosial bagi Semua”, yang terdiri dari tiga nomor: pendekatan sosio-politik (Nota Pastoral 2003), pendekatan sosio-budaya (Nota Pastoral 2004), pendekatan sosio-ekonomi (Nota Pastoral 2006).

Secara normatif keadilan dimengerti sebagai keutamaan yang membuat manusia sanggup memberikan kepada setiap orang atau pihak lain apa yang merupakan haknya. Dalam Kitab Suci yang pertama-tama dipandang adil ialah Allah. Allah disebut adil karena Dia selalu setia, tidak pernah mengingkari janji-janji keselamatanNya (lih. Mzm. 40:10-11; Yes. 45:21; 46:13; Mat. 3:15; 21:32; Rom. 3:21-26). Dengan demikian keadilan Allah erat berkaitan dengan kasih Allah yang menyelamatkan.

Kata kunci ketiga dan terakhir dalam Pesan Natal Bersama 2007 ialah beribadah: Hiduplah dengan beribadah. Dalam proses penyusunan Nota Pastoral KWI 2003, salah satu prasaran yang disampaikan dengan tegas menyatakan hancurnya keadaban di Indonesia. Para Uskup Indonesia berpendapat, akar terdalam masalah ini ialah karena iman tidak lagi menjadi sumber inspirasi bagi kehidupan nyata. Penghayatan iman lebih berkisar pada hal-hal lahiriah, simbol-simbol dan upacara keagamaan. Tempat-tempat ibadah (mesjid, gereja, pura, klenteng) senantiasa dipenuhi umat yang beribadah, tetapi dampaknya dalam kehidupan nyata tak kelihatan. Tentu bukan ibadah seperti inilah yang dianjurkan oleh Pesan Natal Bersama, melainkan ibadah yang sejati.

Menurut Kitab Suci, ibadah Kristen yang sejati ialah ibadah yang diadakan oleh Roh Kudus (Flp. 3:3). Setiap orang beriman Kristen harus mempersembahkan “ibadah sejati”, artinya entah ibadah yang bukan formalitas belaka, entah ibadah yang bukan persembahan hewan-hewan, melainkan “suatu korban yang hidup” (Rom. 12:1-2) ataupun kehidupan yang dipenuhi kasih sejati (Ibr. 12:28; bdk. 13:1-6).

Mewujudnyatakan Pesan
Pesan Natal Bersama menyampaikan tiga anjuran sejalan dengan ketiga kata kunci dalam tema:
1. Berkaitan dengan ajakan untuk hidup dengan bijaksana, dua hal konkrit disebut:
a. Tekun mendengarkan firman Allah yang tertulis dalam Kitab Suci. Untuk menolong kita dalam hal ini, maka di atas disertakan sejumlah rujukan ayat-ayat Kitab Suci yang berkaitan.
b. Khusus untuk anak-anak, remaja, dan kaum muda, agar sejak dini diajar mendengarkan firman Allah dan menaatinya.

2. Berkenaan dengan ajakan untuk hidup dengan adil, kita diharapkan tetap melibatkan diri dalam usaha-usaha untuk:
a. memajukan kesejahteraan umum, dan
b. mencerdaskan anak-anak bangsa, tanpa memandang suku, agama, ataupun golongan. Kecuali itu kita juga dianjurkan untuk:
c. senantiasa berdoa memohon bantuan Tuhan demi kesejahteraan bangsa kita, kebijaksanaan para pemimpin bangsa, dan keamanan negeri kita.

3. Bertalian dengan ajakan untuk hidup dengan beribadah, kita dianjurkan terus-menerus menjalankan dengan setia ibadah sejati, sebagaimana dimaksudkan dalam Kitab Suci (lih. referensi ayat-ayat di atas). Konsekuensi konkrit dari ibadah sejati ialah:
a. Hendaknya kita menjauhkan diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan kehendak Allah, seperti korupsi, penyalahgunaan narkoba, tindak kekerasan;
b. Kita juga diingatkan akan panggilan untuk mengembangkan dan memelihara kebebasan yang bertanggungjawab, agar semua warga bangsa dapat menjalankan ibadah dengan leluasa sesuai dengan tatacara agama masing-masing dan kekayaan budaya para pemeluknya. (Di sini secara tidak langsung kita diingatkan pada kesulitan di banyak tempat, termasuk kesulitan mendapatkan ijin membangun rumah ibadah, serta pengrusakan rumah-rumah ibadah).

Selamat Natal 2007 dan Tahun Baru 2008!

Makassar, 8 Desember 2007

+ John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: