Selasa, 18 Maret 2008

Program Pastoral Kontekstual di Kevikepan-Kevikepan


Pada hari Selasa, 5 Februari 2008 yang lalu, berakhirlah sudah program pastoral 5-tahunan tahap pertama Keuskupan Agung kita. Berdasarkan keputusan rapat Dewan Imam pada bulan November 2002, dicanangkanlah program pastoral 5-tahunan yang setiap tahun dimulai pada hari Rabu Abu dan berakhir pada hari Selasa sebelum hari Rabu tahun berikutnya. Program pastoral 5-tahunan ini dipandang sebagai usaha implementasi Ardas KAMS, hasil Sinode Diosesan Oktober 1999, yang akibat krisis multi dimensional yang melanda masyarakat kita secara berkepanjangan belum sempat ditindaklanjuti secara lebih programatis. Tahun pertama, yang berlangsung dari hari Rabu Abu 2003 sampai hari Selasa sebelum Rabu Abu 2004, mengambil tema “Pembenahan Mekanisme Organisatoris Pelayanan Pastoral”; tahun ke-2 (Rabu Abu 2004 – Selasa sebelum Rabu Abu 2005) berpusat pada “Kerasulan Awam”; tahun ke-3 pada “Kerasulan Keluarga”; tahun ke-4 pada “Kerasulan Anak dan Remaja”; dan tahun ke-5 pada “Kerasulan Kepemudaan”. Tema program dari tahun ke tahun itu diumumkan lewat Surat Gembala Puasa Uskup Agung pada tahun yang bersangkutan. Dan sekaligus juga dalam Surat Puasa yang bersangkutan ditunjukkan benang merah yang menghubungkan tema APP Nasional dengan tema tahunan program pastoral 5-tahunan tersebut. Dengan demikian kegiatan umat selama Masa Prapaskah berdasarkan tema APP Nasional tahun bersangkutan dapat dipandang sebagai salah satu perwujudan kongkrit program pastoral 5-tahunan dari tahun tersebut.

Seharusnya kini kita sudah berada dalam tahap kedua program 5-tahunan itu. Tetapi setelah diadakan evaluasi, khususnya dalam rapat Dewan Imam Mei 2007 dan dimatangkan lagi dalam rapat Dewan Imam November 2007, disepakati untuk mempercayakan kepada setiap Kevikepan menyusun program pastoralnya sendiri yang lebih kontekstual, dan karenanya dapat lebih relevan dan efektif dibandingkan dengan program pastoral yang diturunkan dari atas (tingkat Keuskupan).

BELAJAR DARI PENGALAMAN
Sejak tahun 1970-an di KAMS (waktu itu masih bernama KAUP) dikembangkan tradisi pertemuan pleno tahunan para imam se-Keuskupan untuk membicarakan bersama masalah-masalah dan program pastoral. Sampai tahun 1989 setiap pertemuan tahunan itu memilih salah satu tema atau bidang pastoral tertentu untuk dibahas dan diprogramkan. Tetapi cara penanganan pastoral sepenggal-sepenggal seperti ini lama-kelamaan menimbulkan banyak keluhan menyangkut visi dan orientasi pastoral yang dirasa serba tidak jelas, atau bahkan dikeluhkan tidak ada. Muncul pertanyaan-pertanyaan seperti: Visi tentang Gereja yang bagaimanakah yang melandasi seluruh karya pelayanan pastoral kita di Keuskupan ini? Kemanakah sesungguhnya kita mengarah dengan sistem penanganan pastoral sepotong-sepotong ini? Manakah seharusnya prioritas-prioritas pastoral?

Setahun setelah Mgr. Frans van Roessel CICM ditahbiskan dan dilantik sebagai Uskup Agung diadakan Pertemuan Imam (PI) se-Keuskupan, yang berlangsung dari 10-14 April 1989. PI ini dimaksudkan untuk menggumuli pertanyaan-pertanyaan mendasar seperti itu. Panitia yang dibentuk Uskup bekerja keras mempersiapkan PI itu sebaik-baiknya. PI ini menghasilkan “Pedoman Umum Pelayanan Keuskupan Agung Ujung Pandang” (disingkat PUP-KAUP). Pedoman tersebut berisikan: Mukadimah; Visi Dasar; Arah Pelayanan; Bidang-Bidang Pelayanan Menurut Prioritas pada tingkat Keuskupan; dan Penjabarannya pada tingkat Regio (kini Kevikepan); lengkap dengan Kontrol dan Evaluasi. Adapun visi yang disepakati bersama ialah: GEREJA LOKAL KAUP SEBAGAI SAKRAMEN KESELAMATAN UTUH-MENYELURUH DALAM KRISTUS. Sedangkan tugas pokok (“misi”) demi semakin mewujudkan visi tersebut ada 4, yang disusun menurut urutan prioritas, yaitu: (1) Membangun Gereja yang sungguh-sungguh lokal; (2) Berpartisipasi dalam membangun dunia/masyarakat yang lebih baik; (3) Mewartakan Injil (dalam arti sempit, ad extra); dan (4) Berdialog dan membangun kerukunan dengan umat beragama/kepercayaan lain.

Pada tahun-tahun pertama sesudah PI 1989 tersebut terasa adanya tanggapan positif penuh semangat terhadap hasil PI itu. Di Regio-Regio tertentu diadakan sarasehan beberapa hari yang dihadiri para Pastor, Katekis dan para anggota Depa se-Regio guna mendalami dan menindaklanjuti Pedoman Umum Pelayanan tersebut. Dalam proses belajar bersama disadari perlunya menyusun sebuah format, semacam “petunjuk pelaksanaan” ringkas guna menerjemahkan Pedoman tersebut ke dalam pelaksanaan sesuai kebutuhan setempat. Format tersebut diberi judul “Program Kegiatan Pelayanan Berdasarkan Pedoman Umum Pelayanan KAUP”. Format tersebut dimaksudkan untuk digunakan oleh Regio/Paroki/Komisi/Lembaga dalam menyusun program tahunan masing-masing. Di Regio tertentu, Rapat Tahunan Regio pada dua tahun berikutnya diadakan untuk membuat evaluasi program tahun sebelumnya dan menyusun program tahun berikutnya berdasarkan “juklak” tersebut. Sungguh suatu perkembangan yang memberi harapan. Tetapi kemudian segalanya menjadi surut, dan PUP-KAUP itu sendiri sepertinya menjadi barang asing yang tidak dikenal dan tidak lagi mempunyai gema. Maka tidak mengherankan bahwa gejala-gejala yang ada sebelum PI 1989 mulai muncul kembali, masing-masing cenderung bergerak sendiri-sendiri. Dan mulai terdengar lagi banyak keluhan dan pertanyaan menyangkut visi, arah, dan sistem serta mekanisme pada tingkat yang berbeda-beda. Mengapa terjadi demikian? Kiranya banyak faktor penyebabnya (lih. tulisan saya, “Gereja Partikular KAUP menyongsong Milenium Ketiga Karya Penyelamatan dalam Kristus; Tanggapan atas Lineamenta Sinode Para Uskup Sidang Pleno Ordinaria X, Tahun 2000: ‘The Bishop: Servant of the Gospel of Jesus Christ for the Hope of the World’ “, Ujung Pandang, Medio Juni 1999). Tetapi barangkali sebab yang paling utama ialah kenyataan belum siapnya situasi dan kondisi (termasuk kondisi SDM) yang dipersyaratkan demi dapat terwujudnya program pelayanan terpadu dan berkesinambungan sebagaimana terumuskan dalam PUP-KAUP tersebut.

Dengan latar belakang situasi dan kondisi seperti itu dan dalam mengayunkan langkah memasuki abad ke-21, diadakanlah Sinode Diosesan pada bulan Oktober 1999. Pada kenyataannya ini merupakan Sinode Diosesan Kanonik pertama KAMS sejak Gereja lokal ini lahir pada 13 April 1937. Sinode ini berhasil merumuskan Ardas baru KAMS, yang ber-visi-kan PERSAUDARAAN sejati dengan 5 tugas pokok (misi), yaitu: (1) Menjadi Gereja yang mandiri-dewasa; (2) Menjadi Gereja yang misioner; (3) Menjadi Gereja yang memasyarakat; (4) Menjadi Gereja yang komunikatif; dan (5) Menjadi Gereja yang bersaksi total. Bila ditilik secara cermat, sesungguhnya misi ke-5 ini merupakan rangkuman dari ke-4 tugas perutusan yang pertama. Sehingga tinggallah 4 misi, di mana misi pertama merupakan tugas pokok “ke dalam” (ad intra) sedang ke-3 lainnya adalah tugas perutusan “ke luar” (ad extra). Dengan demikian misi Ardas hasil Sinode Diosesan ini pada hakekatnya sama dengan misi Ardas hasil PI 1989.

Menarik untuk dicatat, pergeseran visi dari “SAKRAMEN keselamatan” ke “PERSAUDARAAN sejati”. Proses lahirnya visi “persaudaraan” dalam sinode diosesan tersebut boleh dikatakan berjalan secara spontan. Tanpa dibicarakan apakah visi “sakramen keselamatan total” masih relevan atau perlu dicari suatu visi baru, secara spontan muncul dengan kuatnya visi “persaudaraan”. Dalam kacamata iman ini harus dilihat sebagai dorongan Roh Tuhan. Perlu disadari bahwa visi ini sama dengan visi Yesus Kristus sendiri. Pusat pewartaan Yesus ialah kerajaan Allah yang sudah dekat (Mrk. 1:15), bahkan sudah sampai (Luk. 11:20). Kerajaan Allah berarti Allah meraja, Allah menjadi raja. Tetapi kalau dalam Kitab Suci dikatakan Allah meraja, itu sama artinya dengan Allah menjadi Penyelamat manusia. Itu sebabnya kerajaan Allah merupakan “Injil”, Kabar Baik. Dalam kerajaan itu hubungan antara Allah dan manusia sedemikian rupa, sehingga manusia boleh menyapa Allah sebagai Bapa mereka (bdk. doa “Bapa Kami” yang diajarkan Yesus kepada murid-muridNya, Luk. 11:24; Mat. 6:9-13). Kalau Allah menjadi Bapa kita, maka kita adalah anak-anakNya. Dan kalau kita adalah anak-anak dari satu Bapa, maka kita ini satu sama lain adalah saudara-saudara.

Ardas KAMS hasil Sinode Diosesan 1999 itu tidak menetapkan ke-5 tugas perutusan itu dalam urutan prioritas seperti yang dibuat PUP-KAUP hasil PI 1989. Dipercayakan kepada kreativitas masing-masing Regio dan Paroki untuk menyusun program kongkrit sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Dalam hal ini tampaknya ada pengaruh dari angin Gerakan Reformasi yang mulai bertiup sejak Mei 1998 di tengah bangsa kita. Arus Reformasi lebih menghendaki desentralisasi daripada sentralisasi. Namun kiranya alasan yang lebih mendalam adalah ini: Dalam mempelajari sejarahnya yang panjang tetapi terputus, kita menemukan bahwa Gereja muda ini sebenarnya sosok utamanya ialah Gereja diaspora. Dan apabila kita memandang ke depan, dengan datangnya era industrialisasi dan globalisasi, maka sosok ke-diaspora-an itu akan semakin diperkuat (lih. Y.B. Mangunwijaya, Pr), Gerakan Diaspora, Yogyakarta, 1999). Ini harus disadari sungguh-sungguh. Dalam mengkaji situasi ini kita harus berpegang pada Kitab Suci sebagai sumber ilham. Kita lihat, ketika orang Ibrani kehilangan Kenisah (pusat agamanya), tahta raja (pusat politiknya) dan tanah air (pusat ekonominya) di tempat pembuangan, mereka belajar membangun persekutuan iman di seluruh dunia. Persekutuan ini bertumbuh dari bawah, berkat daya kreativitas imani kelompok-kelompok kecil umat dalam menyikapi situasi kongkrit yang mereka hadapi. Kiranya dalam arah inilah harus dimengerti ketika Yesus menyebut murid-muridNya sebagai kawanan kecil (Luk. 12:32), yang harus menjadi garam dunia (Mat. 5:13) atau ragi dalam adonan (Mat. 13:33). Berdasarkan ilham dari Kitab Suci ini, Gereja lokal KAMS, ingin mewujudkan visi PERSAUDARAAN sejati melalui upaya menjadi sebuah Gereja yang dewasa, misioner, memasyarakat, komunikatif dan bersaksi total, dalam kesadaran bahwa ia akan tetap adalah Gereja dengan sosok diaspora (lih. uraian lebih panjang dalam artikel John Liku-Ada’, “Keuskupan Agung Makassar Menyongsong Abad Ke-21 dengan Paradigma Persaudaraan”, dlm. ed. F. Hasto Rosariyanto SJ, Bercermin pada Wajah-Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, Yogyakarta, 2001: 360-381).

Ardas hasil Sinode Diosesan Oktober 1999 tersebut mulai diberlakukan sejak 1 Januari 2000. Dan menjelang akhir tahun yang sama, tepatnya 1-5 Nov. 2000, diadakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia Tahun 2000 (SAGKI 2000), dengan tema “Memberdayakan Komunitas Basis Menuju Sebuah Indonesia Baru”. Komunitas Basis (Kombas) dicanangkan sebagai suatu cara baru hidup menggereja di Indonesia. Kita melihat bahwa pemberdayaan Kombas sungguh merupakan suatu cara tepat untuk menindaklanjuti Ardas KAMS hasil Sinode Diosesan 1999. Baik visi dan misi maupun spiritualitas Komunitas Basis Gerejawi (KBG) sepenuhnya bersesuaian dengan visi, misi dan spiritualitas Ardas KAMS tersebut (lih. uraian dalam Ad Limina Report: The Archdiocese of Ujung Pandang/Makassar 1996-2002, Makassar, Oct. 2002: vii-xii). KBG jelas berdasarkan ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja sebagai umat Allah, dan karenanya adalah sebuah communio dari komunitas-komunitas (communion of communities). Tentu saja model utama KBG adalah komunitas umat Kristen perdana (Kis. 2:41-47; 4:32-37 dan 5:12-16). Oleh karena itu, khususnya dalam dua tahun terakhir lebih diupayakan lagi menghidupkan dan menumbuhkembangkan Kombas di Keuskupan kita (lih. juga tulisan “Menumbuhkembangkan Kombas dalam dan melalui Wadah-Wadah yang Sudah Ada”, Rubrik “Dari Meja Uskup Agung”, KOINONIA, vol. 2 no. 2).

Akhirnya harus dikatakan bahwa “Program Pastoral 5-Tahunan” di tingkat Keuskupan (2003-2008) itu sebenarnya menyimpang dari amanah Sinode Diosesan 1999, yang lebih menyerahkan program pastoral kongkrit itu kepada Regio/Paroki dan unit kategorial.

KONTEKS KEVIKEPAN
Dapat dimengerti apabila ada yang berpendapat bahwa untuk dapat menjadi operasional, maka Ardas itu harus diterjemahkan ke dalam program-program kongkrit berskala keuskupan, dilengkapi dengan semacam petunjuk pelaksanaannya. Namun, mengingat luasnya wilayah keuskupan dengan situasi dan kondisi yang beragam dari regio ke regio, dari paroki ke paroki, dari tempat yang satu ke tempat yang lain, sulit dibayangkan bagaimana program semacam itu dapat relevan dan berjalan efektif untuk semua tempat dan kalangan di seluruh wilayah keuskupan. Maka, sesuai dengan sosok Gereja diaspora, sejalan dengan semangat desentralisasi, serta searah dengan pencanangan Kombas oleh SAGKI 2000, kiranya akan lebih tepat-guna apabila yang didorong untuk menyusun program-program kongkrit itu adalah Regio/Paroki dan kelompok-kelompok kategorial yang ada. Ambillah sebuah contoh, misi ke-4 Ardas itu, yaitu menjadi Gereja yang benar-benar komunikatif dalam hubungan dengan umat beragama lain, khususnya umat Muslim. Tentu hal ini sangat relevan dan mendesak misalnya di Regio Makassar. Karena itu paroki-paroki dan kelompok-kelompok kategorial di Regio Makassar perlu menjadikannya salah satu prioritas: menumbuhkembangkan persaudaraan lintas agama. Barangkali untuk itu di setiap Paroki perlu dibentuk dalam Depas sebuah Seksi HAK yang diharapkan berfungsi giat dan efektif. Sementara di Regio Tator, misalnya, barangkali masalah yang sangat penting dan mendesak ialah bagaimana iman Kristen dapat lebih bermakna normatif dalam budaya setempat. Itulah masalah inkulturasi. Dan ini termasuk misi pertama Ardas KAMS, menjadi Gereja yang sungguh dewasa.

Untuk memungkinkan terwujudnya gagasan di atas, perlu dibentuk struktur dan perangkat pendukung, yang harus terus-menerus diberdayakan. Demikianlah maka ke-5 Regio yang ada satu demi satu ditingkatkan statusnya menjadi Kevikepan. Sentrum yang ada di masing-masing wilayah Kevikepan dijadikan “Sentrum Pastoral Kevikepan”; dan di mana belum ada pelan-pelan diusahakan. Tetapi dengan catatan penting bahwa yang dimaksudkan dengan Sentrum bukanlah pertama-tama kompleks gedung melainkan Tim Pastoral. Agar Vikep lebih mudah bergerak dalam melaksanakan tugasnya, maka memang perlu diusahakan sarana transportasi yang memadai. Selanjutnya, pada tingkat Paroki telah ada perangkat Depas, yang dibekali dengan “Pedoman Dasar Depas Paroki”. (Untuk memahaminya secara benar dan tepat, mohon membaca rubrik “Dari Meja Uskup Agung” berjudul “Memahami Pedoman Dasar DPP-KAMS 2004”, KOINONIA, vol. 2 no. 3). Demikian juga di setiap Paroki dibentuk Dewan Keuangan Paroki, yang dibekali “Pedoman Dasar Dewan Keuangan Paroki” dan “Pedoman Umum Pengelolaan Keuangan Gereja lokal KAMS”. Perlu disadari bahwa struktur dan perangkat-perangkat itu tidak serta-merta dapat berfungsi efektif dan efesien sejak awal. Barangkali untuk itu dibutuhkan suatu proses yang makan waktu panjang lewat upaya “trial and error”. Yang terpenting ialah bahwa semua itu dipahami secara tepat, diterima dan didukung oleh semua pihak yang terkait.

Kiranya berguna untuk dicatat di sini prakarsa yang telah diambil oleh Regio (kini Kevikepan) Toraja merancang program pastoral sendiri, dan dengan demikian kembali mewujudkan apa yang diamanatkan oleh Sinode Diosesan 1999. Program tersebut disusun melalui tiga kali pertemuan Regio, yang masing-masingnya berlangsung dua-tiga hari (awal Januari 2007, 16-18 April 2007 dan 9-10 Juli 2007). Dengan diilhami pola pastoral Yesus, disusunlah sebuah program berdasarkan dan berintikan unsur visi, misi, strategi, aksi dan evaluasi yang disepakati bersama. Adapun visinya ialah: “Hadirnya dan terwujudnya kerajaan Allah di dunia umumnya dan di wilayah Tana Toraja khususnya secara utuh-menyeluruh, di mana semua orang menjadi satu, seperti Bapa dan Putera satu adanya, dan di mana semua orang berada dalam kesatuan dengan Bapa dan Putera (Yoh. 17:21)”. Ini kiranya pada hakekatnya tidak jauh berbeda dari apa yang dimaksudkan dalam visi Ardas KAMS hasil Sinode Diosesan 1999: PERSAUDARAAN sejati; yang sebagaimana sudah dikatakan di atas, adalah sama dengan visi Yesus sendiri. Sedang misi dirumuskan sebagai berikut: “Mewartakan dan menghadirkan kerajaan Allah secara utuh-menyeluruh dalam diri Yesus Kristus sebagai Penyelamat di Tana Toraja (bdk. Yoh. 4:34; 6:38)”. Kehadiran kerajaan Allah secara utuh-menyeluruh kiranya tidak dapat lain daripada merangkum ke-5 misi Ardas KAMS tersebut. Selanjutnya, sistem pemuridan yang digunakan Yesus berpola lingkaran: sekeliling Yesus ada kelompok inti 12 rasul, lalu lingkaran lebih besar 70 murid, lalu lingkaran ketiga adalah orang banyak. Diilhami pola pastoral Yesus ini, strategi pastoral tersebut pun berpola lingkaran: Ring 1 adalah para Pengantar/Pemimpin Ibadat/Depas Harian/Dewan Keuangan Paroki; Ring 2: Depas Paroki Pleno/Tim lain di Paroki; Ring 3: Para Aktivis Paroki; dan Ring 4: Umat/Masyarakat. Fokus program diletakkan pada pemberdayaan masing-masing kelompok lingkaran tersebut. Dan pada tahapan Aksi sudah diperinci dalam program kegiatan dari tahun ke tahun sampai 2010. Kita percaya lewat upaya pemberdayaan yang terus-menerus, iman Kristen akan semakin tertanam dan mampu membawa transformasi, termasuk transformasi budaya.

Hendaknya inisiatif menyusun program pastoral kontekstual yang telah diambil oleh Regio/Kevikepan Toraja ini segera diikuti pula oleh Kevikepan lainnya. Dua catatan kecil tetapi penting perlu ditambahkan. Pertama, Ardas KAMS, yang mulai diberlakukan resmi sejak 1 Januari 2000, adalah keputusan berdasarkan hasil Sinode Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar. Dan, analog dengan keputusan Konsili pada tingkat Gereja universal, itu adalah keputusan tertinggi pada tingkat Gereja partikular. Oleh karena itu hendaknya tetap menjadi acuan dasar setiap program pastoral di tingkat Kevikepan. Selain itu, visi dasar PERSAUDARAAN sejati hanya mempertegas visi Yesus sendiri, yang akan tetap relevan di manapun dan kapanpun. Kedua, perlu disadari bahwa Gereja lokal KAMS akan tetap bersosok Gereja diaspora, yang dapat bertahan dan berkembang hanya apabila kelompok-kelompok kecil umat yang terpencar-pencar itu kuat. Oleh sebab itu Komunitas Basis yang telah dicanangkan SAGKI 2000 sebagai cara baru hidup menggereja di Indonesia hendaknya dijadikan wahana utama setiap program pastoral di Kevikepan-Kevikepan.

HUBUNGAN KEVIKEPAN – KEUSKUPAN
Dalam uraian di atas kita sangat mendorong supaya Kevikepan-Kevikepan menyusun program pastoralnya sendiri. Dalam hubungan ini muncul sejumlah kekhawatiran yang perlu ditanggapi secara tepat. Kekhawatiran pertama ialah, kalau Kevikepan-Kevikepan mulai dibiarkan mengurus dirinya sendiri, termasuk menyusun program pastoralnya sendiri, maka lama kelamaan ada bahaya munculnya keuskupan-keuskupan dalam Keuskupan. Kekhawatiran ini dapat dimengerti mengingat derasnya arus otonomi daerah dan demokratisasi di tengah masyarakat kita dan dalam skala global. Dengan gampang arus semacam ini dapat merambah ke dalam kehidupan Gereja. Sebuah pengalaman nyata, ketika beberapa waktu lalu kita mencanangkan upaya “Paroki Mandiri” di bidang ekonomi, segera saja muncul penafsiran keliru. Ada yang mengartikan kemandirian itu sebagai otonomi dalam segala bidang. Contoh lain adalah reaksi negatif yang muncul terhadap Pedoman Dasar Depas Paroki KAMS 2004. Jelaslah reaksi negatif itu muncul karena Pedoman Dasar tersebut dibaca dengan menggunakan kacamata paham demokrasi dalam Negara modern. Padahal demokratisasi yang ada dalam sistem sinodal-kolegial dalam Gereja tidak sama dengan sistem demokrasi dalam pengertian umum dewasa ini. Oleh karena itu sungguh diperlukan sosialisasi ajaran Konsili Vatikan II tentang Gereja (eklesiologi) agar akhirnya umat dapat memahaminya secara benar. Kecuali itu, perlu diingat bahwa penanggungjawab di Kevikepan ialah Vikep, yang tugas dan wewenangnya serta hubungannya dengan Uskup Diosesan diatur dengan cermat dalam Kitab Hukum Kanonik (Kan. 476-481). Dan demi menjamin komunikasi berkelanjutan antara para Vikep dan Uskup dalam karya pastoral direncanakan mengangkat para Vikep menjadi anggota Dewan Konsultor Uskup, yang mengadakan rapat rutin sekali dalam dua bulan.

Kekhawatiran berikut yang muncul, menyangkut Komisi-Komisi/Lembaga pada tingkat Keuskupan. Kalau masing-masing Kevikepan sudah mempunyai program pastoralnya sendiri, lalu di mana fungsi dan peran Komisi/Lembaga tingkat Keuskupan? Di satu pihak, harus diakui bahwa hal ini akan membawa perubahan tertentu dalam peran dan tata pelayanan Komisi. Selama ini umumnya Komisi yang menyusun program dan selanjutnya mengkomunikasikanya ke lapangan (paroki-paroki, kelompok kategorial) menyangkut peserta, biaya, waktu dan tempat pelaksanaan, dst. Di lain pihak, dengan perubahan tersebut sesungguhnya ketiga fungsi umum Komisi, yaitu fungsi konsultatif, eksekutif dan penghubung jalur, tetap ada. Dalam fungsi sebagai penghubung jalur, yang berkurang hanya jalur pada tingkat Paroki: Seksi terkait; jalur-jalur lainnya tetap (a. Internasional: Badan-Badan Takhta Suci; b. Kontinental: Badan-Badan FABC; c. Nasional: Komisi/ Lembaga KWI; d. Regional/Propinsi-Gerejawi: Sesama Komisi se-Regio/Propinsi-Gerejawi; e. Kevikepan: Seksi-Seksi). Sesungguhnya Komisi-Komisi mempunyai peran sangat strategis, karena memiliki fungsi baik pada garis konsultatif maupun pada garis komando (fungsi eksekutif). Fungsi konsultatifnya baik terhadap Uskup sebagai penanggungjawab maupun terhadap umat (teritorial dan kategorial); terhadap Uskup dapat melalui Vikjen sebagai Koordinator Komisi-Komisi, dapat juga langsung. Fungsi eksekutifnya menyangkut baik kebijakan Keuskupan maupun kebijakan basis. Fungsi konsultatif terhadap umat (teritorial dan kategorial) dan fungsi eksekutifnya umumnya akan terwujud melalui program-program yang dilaksanakan. Kalau Kevikepan-Kevikepan sudah berjalan normal dalam menyusun program pastoralnya sendiri, paroki-paroki masih tetap dapat mendayagunakan jasa Komisi lewat Kevikepan. Dalam menyusun program pastoralnya Kevikepan sendiri juga dapat mendayagunakan jasa Komisi (Kevikepan bersama Komisi menyusun program pastoral di Kevikepan). Kecuali itu, Komisi-Komisi masih tetap mempunyai tugas menyusun program tingkat Keuskupan, yang ke depan semakin menuntut kerjasama lebih erat lintas Komisi. Adapun isi program itu dapat berupa: (a) paket rutin bahan dasar yang selalu perlu; (b) paket khusus dengan fokus/aksentuasi/prioritas misalnya karena aktual.

MENUJU USIA INTAN GEREJA LOKAL KAMS
Tanggal 13 April 2007 lalu Gereja lokal Keuskupan Agung Makassar genap berusia 70 tahun. Dalam salah satu rapat Dewan Imam pernah didiskusikan, apakah akan diadakan suatu perayaan khusus. Dengan pertimbangan bahwa, berbeda dengan usia manusia, usia 70 tahun untuk sebuah lembaga tidak biasanya dirayakan, maka disepakati tidak usah mengadakan perayaan khusus. Tetapi ditekankan agar pada usia 75 tahun (2012) diadakan perayaan syukur penuh makna. Karena itu, dalam menyongsong usia intan tersebut hendaknya diadakan Sinode Diosesan, yang harus dipersiapkan lebih matang sejak dini. Dan agar Sinode tersebut sungguh merupakan upaya “berjalan bersama” (syn-‘odos) Gereja lokal KAMS yang melibatkan seluruh umat, maka proses persiapan tersebut harus mulai dari basis. Nah, hal ini tentu sejalan dengan dialihkannya penyusunan program pastoral basis dari tingkat Keuskupan ke tingkat Kevikepan. Agar sinkron dengan rencana tersebut, dianjurkan supaya setiap Kevikepan dalam menyusun program pastoral, masa-lakunya tidak melampaui tanggal 13 April 2012.

Selamat menjalani Masa Prapaskah yang masih tersisa dan selamat Hari Raya Paskah!
Makassar, Akhir Februari 2008

+ John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: