Minggu, 19 September 2010

Tahbisan Imamat dan Diakonat CICM di Makale

Setiap orang yang hadir terkesan dan kagum akan upacara tahbisan imamat dan diakonat kami oleh Bapa Uskup Agug Makassar Mgr. Yohanes Liku-Ada’ yang diselenggarakan pada 15 Juli 2010 lalu di gereja Hati Tak Bernoda SP Maria, Makale, Tana Toraja. Ini berkat persiapan dan kerja keras dari umat paroki Makale beserta pastor parokinya Pastor Natan Runtung dan kerabatnya Pastor Yans dan secara khusus panitia tahbisan tersebut yang diketuai oleh Bapak Ferdy M. Tanduklangi’.

Apa yang mengagumkan dari tahbisan tersebut? Secara umum dapat dikatakan bahwa yang membuat tahbisan tersebut unik adalah dimasukkannya unsur seni budaya Toraja dalam liturginya. Lagu, musik dan tarian Toraja memeriahkan upacara tahbisan tanpa melenyapkan saat-saat yang hikmat. Luapan kegembiraan yang diwujudkan dalam perpaduan antara lagu-lagu gembira, untaian puji-pujian dalam bahasa Toraja, bunyi pukulan bambu, gendang dan lesung serta pekikan suara manusia membuat jantung berdebar dan jiwa terkesima.

Sebagai yang ditahbiskan, saya tidak dapat melihat dan menikmati seluruh upacara karena sibuk dengan pikiran dan perasaan sendiri. Untunglah sebelumnya ada latihan bersama sehingga kami kurang lebih sudah mendapatkan kesan umum bagaimana perayaan tersebut akan berlangsung. Saat latihan saja, hati sudah bergetar mendengar pukulan gendang dan lesung; badanpun seakan-akan ingin ikut bergerak mengikuti alunan lagu, musik dan tarian.

Setiap kali mengikuti upacara tahbisan dan juga dalam tahbisan kami itu ada bagian-bagian dari litugi yang membuat aku takjub. Litani para kudus, penumpangan tangan dan ucapan selamat dari semua imam yang hadir selalu meninggalkan kesan mistik bagiku. Saat litani para kudus dinyanyikan selain terpesona dengan keindahan lagunya terbayangkan pula dalam pikiran akan orang-orang kudus yang dengan hikmat berdoa di hadapan kemuliaan Tuhan. Persaudaraan dan kesatuan di antara para imam yang dinyatakan dengan penumpangan tangan dan ucapan selamat sambil berangkul membuat hati kagum dan terharu. Masih banyak yang bisa direnungkan dan dikatakan dari sikap liturgi penumpangan tangan tersebut.

Upacara tahbisan adalah kesempatan yang baik pula bagi setiap imam untuk melihat dan merenungkan kembali janji-janji mereka. Bapak Uskup dalam homilinya menekankan pentingnya hubungan pribadi yang erat dan semakin mendalam dengan Kristus. Hubungan pribadi itu terwujud dalam doa dan dengan demikian seorang imam haruslah menjadi seorang pendoa. Hubungan ini mendasari seluruh hidup seorang imam. Saya teringat satu pertanyaan dari seorang suster kepada para suster mudanya: “Untuk apa kamu masuk biara?” Tentunya jawabannya beragam, namun suster itu mengharapkan satu jawaban yang mendasar yaitu untuk mengikuti Kristus.

Saat upacara tahbisan selesai, tentunya diharapkan dari imam dan diakon baru untuk memberikan sepatah dua kata. Karena waktu terbatas, saya hanya membatasi diri pada ucapan terima kasih. Dan lewat tulisan ini saya ingin mengatakan lebih daripada itu.

Ditahbiskan di paroki di mana masa kecil dilewatkan, bagi CICM itu adalah sebuah keistimewaan. Tidak semua konfraterku ditahbiskan di paroki asal mereka. Saya sungguh berterima kasih kepada Provinsial CICM, P. Antonius Hestasusilo CICM bersama dewannya yang telah meluluskan permintaan saya untuk ditahbiskan di paroki Makale. Selain karena keinginan pribadi, tahbisan CICM di Toraja kali ini juga untuk kepentingan animasi. Bagi umat Toraja yang sudah lanjut usia tentunya pastor-pastor CICM tidak asing, tetapi generasi muda sesuatu yang perlu dihidupkan lewat cerita dan kegiatan animasi seperti upacara tahbisan. Tidaklah berlebihan jika pada kesempatan itu Pater Provinsial secara singkat memaparkan kehadiran CICM di Toraja. Tidak mengherankan pula jika Vikep Toraja, Pastor Frans Arring, meminta – untuk tidak mengatakan menangih – CICM untuk kembali ke Toraja. Sebuah permintaan yang perlu CICM pertimbangkan.

Tahbisanku ini sudah lama diharapkan oleh banyak orang. Mulai dari keluarga, konfrater, teman dan umat menyatakan baik secara langsung maupun tidak langsung harapannya pada saya untuk ditahbiskan. Ketika pulang berlibur pertama kali dari Perancis, saat itu seharusnya saya sudah ditahbiskan tapi saya memilih untuk tetap menjadi frater (bruder), seorang bapak menghampiri saya dan berkata: ‘Kalau frater nanti pulang libur lagi, pasti frater sudah ditahbiskan imam. Saya akan mendoakanmu.’ Setahun kemudian bapak itu meninggal dunia. Sejak itu kepada mereka yang mendoakan saya supaya saya mau ditahbiskan, saya menceritakan nasib bapak itu. ‘Jangan mendoakan saya, nanti kamu juga meninggal.’ Memang setiap orang akan meninggal, lambat atau cepat.

Banyak orang berdoa untuk panggilan saya. Tidak sedikit orang menginginkan saya menjadi imam. Apakah doa dan dambaan mereka didengarkan oleh Tuhan sehingga suatu saat saya mulai memikirkan untuk meminta tahbisan juga? Sejauh itukah kekuatan doa? Saya percaya doa-doa mereka telah dikabulkan Tuhan.

Saya setuju ketika Bapa Uskup dalam homilinya menekankan supaya seorang imam haruslah menjadi seorang pendoa, namun saya tidak lupa meminta yang hadir untuk mendoakan kami paling kurang sekali setahun khususnya pada 15 Juli tanggal tahbisan kami.

Menutup tulisan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang telah memberikan sumbangan pemikiran, waktu, tenaga dan materi demi terlaksananya tahbisan imamat dan diakon kami itu. Tuhan memberkati. *** Penulis: P. Fransiskus Sule cicm

Tidak ada komentar: