Selasa, 21 Desember 2010

Pengalaman dan Tanggapan Dua Peserta SAGKI 2010 Utusan KAMS

Ernytha A. Galla’:
Sebagai salah seorang awam dari Kevikepan Toraja Keuskupan Agung Makassar (KAMS), mendapat kesempatan mengikuti Sidang Agung Gereja Katolik (SAGKI) 2010 tersebut sungguh sangat bersyukur kepada Tuhan dan berterimakasih kepada Keuskupan Agung Makassar, Bapa Uskup, Bapa Vikep Toraja yang telah mengutus saya menghadiri pertemuan akbar dan agung tersebut. Pertemuan yang memberikan kelimpahan sahabat, informasi, pengalaman dan kisah-kisah yang dapat saya ceriterakan kepada keluaga, sahabat dan umat di Keuskupan Agung Makassar khususnya di Kevikepan Toraja berkaitan dengan tugas perutusan Gereja Katolik Indonesia dalam pergumulan imanku sebagai umat Katolik baik dalam masalah sosio budaya, sosio religius dan sosio ekonomi untuk mengenali dan menemukan Wajah Yesus.

Kebersamaan dengan Romo Kardinal, bapa Uskup, para Pastor, para Suster, dan para awam utusan Keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia dalam suatu masa atau waktu, lokasi dan acara yang diatur sama mulai dari pagi hingga malam hari bagi semua peserta: memberikan warna suasana yang sangat menyejukkan hati mengobarkan semangat. Keakraban yang terjalin di antara peserta SAGKI 2010 sejak pertemuan di Klender, maupun di wisma Kinasih-Bogor, kemeriahan perayaan ekaristi dan acara pembukaan seperti tampak pada detik-detik pembukaan dan misa penutup, semangat dan keseriusan serta keaktifan mendengar dan bertanya tentang narasi para penceritera baik pada narasi publik maupun dalam narasi kelompok sesuai subtema yang diangkat setiap hari; refleksi-refleksi teologis yang meneguhkan, suasana tenang dan sakral perayaan iman setiap hari dan kegembiraan dalam pentas seni budaya setiap malam sebagai acara penutup, canda dan tawa di ruang istirahat, pendopo atau depan kamar tidur peserta, semuanya mengungkapkan kelimpahan, sukacita, kegembiraan sebagai bagian dari Kabar Gembira Keselamatan Gereja Katolik Indonesia.
Ia Datang Supaya Mereka Mempunyai Hidup dan Mempunyainya dalam Kelimpahan. Kelimpahan sungguh hadir dalam pertemuan ini, Kelimpahan dalam budaya yang ditampilkan perserta sesuai dengan daerah asal masing-masing baik melalui atribut-atribut daerah yang digunakan setiap hari, lagu dan tarian dalam perayaan ekaristi harian, pentas seni budaya yang ditampilkan kelompok-kelompok yang diberi tugas tampil. Kelimpahan dalam kisah yang dituturkan oleh narator-narator publik maupun narasi kelompok mengantar mengenal dan menemukan wajah Yesus yang sungguh kaya dan murah hati.

Metode Narasi yang digunakan dalam SAGKI 2010 sangat menarik. Saya teringat dengan narasi berupa dongeng yang biasa dipakai kakek nenek dulu selain pengantar tidur anak cucunya juga untuk ajang menanamkan nilai-nilai dan moral kehidupan dalam relasi dengan Tuhan, alam dan sesama mahluk agar tercipta keselarasan, keharmonisan, ketentraman, kemakmuran dan kesejahteraan bagi manusia dan supaya manusia terhindar dari segala bentuk malapetaka, maka terjadilah pewartaan tentang Tuhan yang Maha Baik.

Metode Narasi dalam SAGKI memberikan suatu bentuk pewartaan yang mudah dan dapat dilakukan oleh banyak orang. Dengan bernarasi, sesungguhnya kita telah menjadi narasumber suatu pertemuan, termasuk dalam pewartaan kabar Gembira Keselamatan. Setiap orang memiliki pengalaman, kisah dalam mengenal dan menemukan wajah Yesus dalam segala bidang kehidupannya, baik dalam ragam budayannya, hubungannya dengan agama lain, ataupun di tengah kehidupan dengan sesama yang lemah ekonominya, miskin, tertindas dan terpinggirkan. Kisah tersebut akan merupakan kesaksian imannya yang dapat di ungkapkan atau diceriterakan kepada orang lain. Dengan demikian, pengungkapan kisah seperti itu dapat membuka mata dan hati orang lain untuk melihat kehadiran Tuhan, mengenal dan menemukan wajah Yesus yang memberi hidup dalam kelimpahan. Metode narasi dapat menghasilkan kelimpahan pewarta-pewarta kabar gembira keselamatan dalam Yesus Kristus di Keuskupan, paroki, dan stasi serta rukun yang ada di dalam wilayah Indonesia, sehingga Gereja Katolik di Indonesia semakin kelimpahan pewarta kabar gembira keselamatan sebagaimana tugas panggilan perutusannya.

SAGKI 2010 selain menghadirkan artis ibukota seperti Mayong (MC pada acara pembukaan), seniman budayawan Adi Kurdi, juga menampilkan aktor dan artis di bidang seni budaya dari daerah yang tampil dalam acara pentas seni budaya setiap malam dari Keuskupan-Keuskupan termasuk dari utusan KAMS. Pentas seni budaya dari Keuskupan-Keuskupan disesuaikan dengan subtema harian SAGKI 2010. Pentas seni budaya dari KAMS disesuaikankan dengan sub tema tentang kemiskinan dan masalah ekonomi. Kisahnya adalah ceritera tentang “SAREDADI”.

Saredadi itu adalah seorang gadis yang terlahir tidak sempurna atau cacat dan miskin, namun demikian ia juga ingin melakukan apa yang orang banyak dikampungnya lakukan seperti memberi persembahan pada dewata (diperankan Pastor Marsel L.T.) tetapi ia tidak diperkenankan oleh orang kaya (diperankan Petrus Tandilodang) karena dianggap dewata tidak akan menerima persembahan Saredadi. Saredadi bersedih lalu datang dewata menghibur dan memberikan padi tiga bulir kepada Saredadi untuk ditanam. Lalu ia melakukan apa yang dipesankan dewata, yakni menanam padi tersebut dan hasilnya berlimpah. Saredadi menyuruh pekerja-pekerjanya (Sr. Maria JMJ dari Toraja, Yustina Bittikaka dan Evi Paternus dari Kendari, Fransiska dari Makassar dan Paulus Pabubung dari Luwu serta P. Victor Patinggi) membagi-bagi padi/berasnya kepada orang banyak (Paduan Suara PUKAT di Jakarta dibawah Pimpinan Ibu Luci Palentek dan Tari Pa’gellu’ dari anak-anak kecil PUKAT) dilengkapi dengan penegasan Narasi P. John Manta’. Ceritera yang dilakonkan ini sangat menegangkan bagi saya sebagai pemeran Saredadi, karena tidak punya pengetahuan tentang seni peran, tidak PeDe tampil dengan postur tubuh subur yang kontradiksi dengan kondisi Saredadi yang miskin namun akhirnya dapat menyampaikan pesan bahwa dalam kelemahan, kemiskinan dan kekurangan, Tuhan melimpahkan hartanya bagi orang yang selalu mencari dan berharap belaskasih Tuhan.

Mengenali dan menemukan wajah Yesus dapat terjadi dalam berbagai peristiwa. Ia datang membawa kabar gembira. Beragam budaya, agama dan kepercayaan serta kondidi ekonomi memperlihatkan bahwa Tuhan sungguh kaya dan murah hati; Ia menyerahkan semua itu kepada kita untuk dikelola dengan baik agar kita hidup dan mempunyainya dalam kelimpahan.

Petrus Tandilodang:
Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia merupakan momentum dimana umat Katolik Indonesia merefleksikan tugas dan panggilannya dalam masyarakat. Pada tanggal 1 – 5 November tahun 2000, Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia digelar yang dikaitkan dengan perayaan Yubileum agung tahun 2000 menyongsong milenium III dengan tema “memberdayakan kelompok basis menuju Indonesia Baru”. Melalui pendekatan Gereja yang mendengarkan Gereja Indonesia berharap kehidupan umat dapat tumbuh semakin utuh yang dengan demikian impian Gereja yang kontekstual dapat diwujudkan. Arah SAGKI tahun 2000 tersebut masih diteruskan kembali dalam SAGKI tahun 2005 dengan tema “Bangkit dan Bergeraklah”. SAGKI tahun 2005 mengajak untuk bangkit dan bergerak dalam upaya membentuk keadaban publik baru bangsa.Komunitas-komunitas basis yang dikumandangkan dalam SAGKI tahun 2000 diharapkan menjadi gerakan yang berorientasi ke depan untuk mengembangkan kehidupan bangsa yang semakin beradab. Pembentukan keadaban publik tersebut mencakup seluruh bidang kehidupan entah politik, ekonomi, sosial, hukum, agama dan sebagainya. Karena itulah SAGKI 2005 memunculkan masalah tentang ketidakadaban yang dipandang mendesak untuk diatasi bersama. Dengan demikian SAGKI tahun 2000 dan tahun 2005 arahnya dalam arus arah perutusan gereja yakni mewartakan nilai-nilai Kerajaan Allah dalam kehidupan umat Katolik di tengah masyarakat.

Untuk menegaskan kembali perutusan Gereja maka SAGKI tahun 2010 mengambil tema "Ia datang supaya semua memperoleh hidup dalam kelimpahan" (bdk. Yoh. 10:10). Dengan tema ini peserta yang merupakan utusan dari keuskupan-keuskupan berkumpul untuk merayakan dan menegaskan kembali panggilannya. Tema-tema yang digeluti selama sidang adalah : (1). Berkisah tentang pengalaman iman sebagai orang Katolik yang bergumul dalam konteks kebudayaannya. Atau dengan ungkapan lain “ mengenali wajah Yesus dalam keragaman budaya. (2). Berkisah tentang pengalaman iman dari agama lain dalam pergaulannya dengan orang Katolik. Atau dengan rumusan lain mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain. (3). Berkisah tentang pergumulan iman orang-orang yang mengalami proses marginalisasi dan yang memperjuangkan hak orang-orang miskin dan dalam kondisi tidak berdaya. Atau dengan kata lain, mengenali wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum mariginal dan terabaikan.

Suasana SAGKI 2010
Meskipun hujan mengguyur kota Bogor sejak siang namun suasana SAGKI 2010 pada hari pertama sungguh menampakkan kesatuan dalam keberagaman. Menjelang perayaan ekaristi pembukaan, kesatuan dalam keberagaman nampak jelas dari pakaian adat yang dipakai masing-masing peserta. Dari keragaman tersebut mengingatkan kita disatu pihak bahwa Indonesia kaya dengan berbagai ragam etnis, budaya dan tradisi. Di lain pihak memperlihatkan bahwa betapa iman Katolik mampu menerobos sekat-sekat perbedaan etnis, bahasa, budaya dan karakter. Hal ini sangat membahagiakan dan menjadi kekuatan Gereja Katolik Indonesia. Dikatakan membahagiakan karena ternyata iman Katolik tidak menghapus adat dan budaya tetapi justru melestarikan apa yang baik dalam budaya dan adat yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai iman Katolik.

Bukan hanya pada saat perayaan ekaristi nampak keragaman dalam Gereja Katolik tetapi juga pada hari-hari selanjutnya. Setiap malam sebagai kegiatan penutup hari selalu ditutup dengan pentas budaya dari keuskupan-keuskupan di seluruh Indonesia. Setiap keuskupan menampilkan kebudayaan masing-masing. Keuskupan Agung Makassar misalnya menampilkan drama Kisah Saredadi, tari pa’gellu’ dan koor Tomepare yang dibawakan umat Katolik dari keuskupan Agung Makassar yang berdomisili di Jakarta.

Mengenali Wajah Yesus
a. Mengenali wajah Yesus di dalam keragaman budaya
Pada hari kedua SAGKI peserta mendalami tema : Mengenali wajah Yesus di dalam ragam budaya. Sebagai narator publik ditampilkan seorang ibu rumah tangga, Maria Florida Bunga Makin. Ia seorang yang sangat bersahaja dan sederhana namun semangat perjuangannya dalam melukis wajah Yesus di tengah kaum tergusur yang tinggal di rumah liar (ruli) di Batam adalah semangat juang 45. Dalam narasinya ia menuturkan padang gurun kehidupannya yang kadang sulit dia mengerti. Dua kali keluarganya digusur karena mereka tinggal di ruli. Dia seorang ibu rumah tangga dengan penghasilan suami yang terbatas sebagai karyawan galangan kapal dan dia sendiri jualan rokok di tempat suaminya bekerja untuk menambah tambahan pengahsilan suaminya. Yang amat menarik adalah bahwa dalam keterbatasannya ia masih punya hati untuk jiwa-jiwa kaum tergusur yang hidup di ruli. Ia berjuang bukan hanya untuk hidup keluarganya tetapi juga berjuang memenagkan jiwa-jiwa bagi Yesus. Komunitas basis yang dibangunnya tidak membedakan atara warga ruli dan warga perumahan Batam.

Lain halnya dengan seorang seniman dan budayawan, Adi Kurdi. Adi Kurdi sering diundang untuk membuat pementasan berkaitan dengan Gereja. Menurut dia, dalam setiap pementasan ia selalu menampilkan sejarah dan inspirasi. Ia menekankan bahwa wajah iman Katolik tidak selalu hadir dalam kalangan orang Katolik saja tetapi juga hadir dari orang non Katolik. Ia menekankan pendidikan yang berketrampilan sehingga melahirkan manusia-manusia yang terampil dalam bidang ekonomi, sosial, dan juga budaya. Penceritera lainnya adalah ibu Hendrika (profil dan kisahnya juga dimuat dalam edisi ini).

Dalam narasi kelompok 33 dimana saya sebagai anggota, terungkap bahwa ada nilai-nilai budaya yang searah dengan nilai-nilai Kristen, ada yang bertentangan dan adapula yang abu-abu. Sulit diidentifikasi apakah menampilkan wajah Yesus atau tidak.

Semua narasi yang terungkap baik dalam narasi publik maupun kelompok dipertegas dengan refleksi teologis. Dalam refleksi tersebut dipaparkan bahwa Allah sudah hadir dalam setiap kebudayaan kita. Allah hadir dalam manusia ciptaannya dan mengkomunikasikan diriNya dalam bahasa lokal. Kehadiran Allah dalam setiap peristiwa keselamatan secara turun temurun untuk mendukung budaya setempat. Tuhan Yesus hadir dalam setiap kehidupan orang per orang, bahkan bagi orang non Katolik. Wajah Yesus tampak sebagai gembala, inspirator, pengasih tanpa syarat, yang mengampuni, pencari domba yang hilang.

b. Mengenali wajah Yesus dalam dialog dengan agama dan kepercayaan lain.
Sangat menarik dalam tema ini dibawakan dalam narasi. Baik oleh narator publik maupun narasi dalam kelompok. Dalam narasi kelompok muncul berbagai pengalaman berinteraksi dengan masyarakat non-Katolik. Ada yang ekstrim, moderat, saleh sampai yang asal-asalan atau artifisial belaka. Misalnya dari Weetebula, mengalami kesulitan dengan peraturan jam malam kepala desa pada bulan Mei dan Oktober sehingga menyulitkan orang Katolik untuk berdoa Rosario dari rumah ke rumah. Lain halnya di Palangkaraya. Tetangga muslim datang memberi selamat Natal tanpa ucapan selamat tapi hanya salaman. Hal ini karena ada anggapan teman-teman muslim bahwa mengucapkan “ selamat natal” berarti mengakui bahwa nabi Isa Almasih adalah Tuhan. Sehingga ketika tetangga berkunjung hanya bersalaman saja tanpa ucapan. Lain halnya di Sintang, wajah Yesus yang mungil ditemukan secara sederhana dalam jabat tangan.

Apapun situasinya dalam interaksi dengan masyarakat non Katolik, nilai yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa kita bisa belajar dari siapa saja dalam hal beriman. Dari orang pandai dan orang sederhana yang dari kegelapan, juga dari komunitas lain. Yesus memberi teladan bahwa kita bisa belajar dari orang kafir, “ iman sebesar ini belum pernah dijumpai dari orang Israel”. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah dikotomi dalam masyarakat. Kadang lebih menekankan kesalehan kultis jauh lebih baik dari saleh sosial. Orang yang merasa diri saleh secara kultis lalu menganggap orang lain kafir. Dengan demikian terjadi marginalisasi terhadap kumunitas lain. Oleh sebab itu maka kita harus menjaga keseimbangan antar urusan sosial dan urusan kultis. Seperti kata Yesus “ yang kukehendaki adalah belas kasihan bukan persembahan”. Warna-warni relasi antar komunitas beriman hendaknya dalam kerangka saling belajar, penuh persaudaraan dan saling mengasihi. Oleh karena itu sebagai hasil SAGKI 2010 adalah kita perlu lanjutkan aksi relasi dengan umat beragama lain dan membentuk paguyuban lintas iman. Spiritualitas dialog disemangati dengan kerendahan hati. Mohamad Sobary (lebih jauh tentang profil dan isi hatinya dapat dibaca dalam edisi ini) bangga dapat bergaul dengan orang Katolik yang umumnya menampilkan wajah Yesus yang sedeerhana dan rendah hati.

Wajah Yesuspun tampak dari orang Katolik yang mau belajar, tepat waktu, tekun, santun dan tidak takut imannya luntur ketika berinteraksi dengan agama lain kata Bhiksu Pannyavaro. Selama penderitaan masih ada di dunia maka ada panggilan untuk mengurangi penderitaan orang lain. Bila ada kelaparan kita jadi makanan. Bila ada kehausan kita jadi minuman. Bagi rato Marapu, Gereja katolik adalah terang. Ia mengakui diri masih ada dalam kegelapan. Namun ia kerap heran mengapa banyak kerabatnya yang sudah Katolik tidak ke Gereja saat hari minggu. Tersesat di dalam terang mengutip sambutan menteri agama, Suryadharma Ali pada acara pembukaan.

c. Mengenali wajah Yesus dalam pergumulan hidup kaum marijinal dan terabaikan
Pada hari keempat narator publik yang tampil mempresentasikan narasinya adalah Benediktus Gimin Setyo Utomo (profil dan narasinya dimuat juga dalam edisi ini). Narator publik lainnya, Maria Mediatrix Mali dari Maumere. Dalam paparan narasinya, Mediatrix menyampaikan bagaimana perjuangannya membela hak hidup anak-anak. Ia banyak berjuang dalam pemulihan gizi anak, pendidikan anak dan rehabilitasi anak-anak cacat. Ia mendirikan sekolah TK, SD dan SMP. Semuanya itu dia lakukan dengan satu keyakinan bahwa semua anak punya hak hidup. Bila anak tidak mampu menolong dirinya lepas dari penderitaan hidup, maka saya harus terlibat melepaskan penderitaan anak-anak.

Narator publik tanah Papua, Romo John Bunay, Pr., akrab disapah Bapa John para peserta SAGKI, juga memparkan narasinya sebagai pembela Kaum mama Papua yang tidak mendapatkan tempat yang layak berjualan di pasar. Dia terinspirasi dari perjuangan mamanya untuk menyekolakannya. Perjuangannya membela kaum mama Papua telah memperlihatkan hasil dengan dibangunnya pasar tradisional untuk kaum mama Papua.

Disamping narasi publik sebagaimana tersebut di atas juga ada narasi-narasi pribadi dalam kelompok. Semuanya dimaksudkan untuk semakin memperkaya pengalaman mengenali wajah Yesus dalam diri orang miskin.

Dalam refleksi teologis, baik narasi publik maupun kelompok mendapat penegasan.Refleksi teologis bahwa pribadi miskin adalah pewahyuan wajah Allah. Ketidakadilan structural melahirkan kemiskinan structural. Proses pemiskinan mencederai citra Allah. Metacardia dalam mengenai hati manusia agar bias berbelaskasih. Pribadi miskin adalah pewahyuan Allah. Tindakan yang harus dibuat adalah menimbulkan kepekaan dan kesadaran tentang struktur sosial yang memiskinkan dan pola pikir yang harus ditransformasikan untuk menelaah sistim sosial.

Yesus mengajarkan kepada para rasul, ketika melihat orang lapar sedang mengikuti mereka, “ beri mereka makan “.

Penutup/Refleksi Pribadi
Apa yang mau dicapai oleh SAGKI 2010 dengan mengenali wajah Yesus melalui metode Narasi sebagaimana dipaparkan di atas? Kiranya yang mau dicapai menurut hemat saya adalah pertama, Gereja yang anggotanya saling menguatkan dengan menarasikan apa yang menjadi pengalaman peserta dalam tiga wajah Yesus. Kedua, tumbuhnya kesadaran bahwa anggota Gereja bukan hanya hirarki. Kesadaran ini pada waktunya akan mengarah secara spesifik pada evangelisasi pribadi dari setiap peserta. Yesus akan dikenal bukan sekedar nama atau pribadi-Nya tetapi karya-karya-Nya. Dia akan dikenal sebagai individu yang aktif membantu manusia. Yesus akan dihadirkan oleh para peserta di keuskupan masing-masing bukan hanya nama atau pribadi semata tetapi menghadirkan Yesus dalam karya-karya lokal, dalam budaya setempat, agama lain serta kaum miskin dan marginal.***

Tidak ada komentar: