Rabu, 09 Maret 2011

Menghayati Kemuridan dalam Kristus di Tengah Situasi Anomik Masyarakat Kita


Ketika edisi KOINONIA ini tiba di tangan Anda, Masa Prapaskah tengah berlangsung. Tema APP Nasional 2011 ini berbunyi, “Memberdayakan Kesejatian Hidup dalam Mewujudkan Diri”. Manusia adalah makhluk yang ‘sedang menjadi’. Dan proses ‘menjadi semakin manusia’ ini baru terhenti saat manusia menghembuskan nafas terakhir. Jadi tugas memberdayakan kesejatian hidup ini merupakan tugas seumur hidup setiap manusia. Maka diharapkan agar upaya permenungan dan pembelajaran tema tersebut, baik secara perorangan maupun bersama, tidak berhenti dengan selesainya Masa Prapaskah. Upaya ini harus berlanjut terus. Ketika masyarakat kita sedang dilanda anomie, maka permenungan dan pembelajaran sekitar tema tersebut semakin menjadi urgent. Oleh karena itu, sebagai sebuah alat bantu bagi upaya berkelanjutan itu, Rubrik ‘Dari Meja Uskup Agung’ kali ini kembali memuat naskah Surat Puasa 2011 Uskup Agung KAMS. Semoga ada manfaatnya.

Situasi Anomik Masyakarat Kita

Istilah anomie berasal dari bahasa Yunani (a = tanpa, nomos = hukum, aturan, norma). Gagasan anomie awalnya dikembangkan oleh sosiolog Perancis Emile Durkheim (1858-1917) untuk menunjuk pada suatu keadaan yang relatif tanpa norma dalam sebuah masyarakat atau kelompok. Secara sosiologis, anomie menunjuk pada tegangan ke arah tak adanya norma, yang muncul ketika terjadi keretakan atau tiadanya integrasi antara cita-cita budaya dan kemampuan orang-orang untuk bertindak sesuai dengan cita-cita tersebut. Dan menurut Durkheim, ini merupakan tipe dasar masyarakat modern. Anomie merupakan suatu gagasan bermanfaat untuk memahami tingkah laku menyimpang. Kesemrawutan sosial, kekacauan moral, dan desintegrasi sistem-sistem nilai merupakan ciri-ciri sebuah masyarakat anomik.


Masyarakat bangsa kita dewasa ini menampakkan ciri-ciri semacam itu. Hampir setiap hari kita disuguhi berita yang mengungkapkan carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri tercinta ini, baik lewat media cetak maupun elektronik. “Ketika skandal penalangan Rp 6,7 triliun atas Bank Century tak kunjung terungkap dan kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan gagal menyeret para aktor besar di belakangnya, publik kembali terhenyak oleh perseteruan DPR dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Komisi III DPR menolak kehadiran dua unsur pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah, dalam rapat dengar pendapat di gedung parlemen. Pemicunya tak lain adalah ditangkapnya 22 anggota dan mantan anggota DPR tersangka penerima suap pemilihan Deputi Gubernur Senior BI Miranda Goeltom. Komisi Hukum DPR ‘membalas’ tindakan KPK dengan menolak kehadiran Bibit dan Chandra yang dianggap masih berstatus tersangka kendati kasusnya sendiri telah dikesampingkan (deponeering) oleh Kejaksaan Agung”, demikian ditulis Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI (Kompas, 5 Febr. 2011).


“Skandal Bank Century, mafia pajak Gayus Tambunan, dan kasus suap yang diduga diterima para politisi DPR”, demikian tulis S. Haris selanjutnya, “sebenarnya hanya puncak gunung es kebobrokan sistemis proses politik yang mendera bangsa kita selama ini. Kebobrokan itu pada dasarnya berpusat pada kecenderungan para elite politik dan penyelenggara negara untuk saling menyelamatkan kepentingan politik busuk mereka masing-masing”.


Politik busuk koruptif yang tampaknya melumuri semua lembaga dan perangkat negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), tidak hanya berlangsung di pusat, melainkan menjalar sampai ke daerah. Pada bulan Januari lalu Mendagri Gamawan Fauzi di depan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengemukakan, sebanyak 155 kepala daerah, termasuk di antaranya 17 gubernur (dari 33 propinsi) tersangkut masalah hukum. Harian Kompas, 24 Januari 2011 menurunkan berita disertai data berjudul “Aceh sampai Papua Tersandera Korupsi”. “Republik Tersandera Korupsi”, demikian Eko Prasojo memberi judul artikelnya (Kompas, 24-1-2011). Dan W. Riawan Tjandra menulis tentang “Korupsi di Rezim Otonomi” (Kompas, 25-1-2011). Sedangkan Yuna Farhan menganalisis maraknya korupsi di daerah dalam tulisannya, “Pemilihan Kepala (Koruptor) Daerah” (Kompas, 25-1-2011). Sedemikian itu, Kompas, 25-1-2011, menurunkan Tajuk Rencana berjudul “Terperangkap Korupsi!”, disertai pernyataan pendahuluan berbunyi: “Keterlaluan! Mungkin itulah respons spontan saat membaca berita harian ini. Republik telah terperangkap korupsi yang terjadi dari Aceh sampai Papua!”


Selain itu, gejala intoleransi dan kekerasan, khususnya yang berdasar agama, masih tetap mengancam hidup keseharian masyarakat kita. Sebagaimana dikemukakan dalam Pesan Natal Bersama PGI-KWI 2010, “akhir-akhir ini gejala-gejala kekerasan atas nama agama semakin tampak dan mengancam kerukunan hidup beragama dalam masyarakat. Hal ini mencemaskan pihak-pihak yang mengalami perlakuan yang tidak wajar dalam masyarakat kita. Kita semakin merasa risau akan perkembangan ‘peradaban’ yang mengarus-utamakan jumlah penganut agama; ‘peradaban’ yang memenangkan mereka yang bersuara keras berhadapan dengan mereka yang tidak memiliki kesempatan bersuara; ‘peradaban’ yang memenangkan mereka yang hidup mapan atas mereka yang terpinggirkan. Peradaban yang sedemikian itu pada gilirannya akan menimbulkan perselisihan, kebencian dan balas dendam: suatu peradaban yang membuahkan budaya kematian daripada budaya cinta yang menghidupkan”.


Dalam arus budaya kematian ini nilai hidup manusia menjadi sangat rendah. Beberapa waktu lalu sering diberitakan di media massa, di negeri kita ini terjadi tidak kurang dari 2,5 juta aborsi setiap tahun. Janin dan bayi-bayi tak berdosa yang harus dilindungi justru dibunuh oleh ibu kandungnya sendiri. Bahwa akhir-akhir ini berita seperti itu sudah jarang muncul di media, itu belum tentu berarti bahwa pengguguran ilegal tak terjadi lagi di negeri ini. Sementara itu tindakan bunuh diri akibat tekanan kemiskinan sudah muncul pula dalam berita.


Kekacauan sosial yang terungkap antara lain begitu mudahnya amuk massa meledak, praktek korupsi yang begitu luas menjalar, permainan ‘sirkus politik’ (meminjam istilah Indra Tranggono, Kompas, 7-2-2011) yang dilandasi kepentingan pribadi dan kelompok di kalangan para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif), kesemua itu menjadi indikator betapa anomie telah melanda kehidupan masyarakat kita. Yang lebih memprihatinkan lagi gejala ini tampaknya telah merasuk pula ke lembaga-lembaga pendidikan. Beberapa waktu lalu seorang mantan pimpinan sebuah IPDN mengungkapkan di TV, bahwa penggunaan narkotik lazim di kalangan para mahasiswa IPDN. Kalau para mahasiswa itu terancam dikeluarkan, mereka dapat membayar dengan uang sehingga tidak jadi dikeluarkan. Dan mereka itu adalah calon-calon pejabat publik di negeri ini di masa depan! Isu praktek tidak jujur sekitar Ujian Nasional sudah lama santer terdengar. Bukan saja para siswa, melainkan konon guru-guru ikut bermain untuk meluluskan semua peserta ujian dari sekolahnya, demi mengangkat nama sekolah. Sesungguhnya sudah sejak dari SD anak-anak berlatih tidak jujur lewat kebiasaan menyontek waktu ujian. Dan kalau kebiasaan ini berlangsung terus selama masa pendidikan, maka lama-kelamaan tidak dirasakan lagi sebagai sesuatu yang tidak baik, dan karenanya boleh saja dibuat. Maka tak perlu heran bahwa di jenjang pendidikan tinggi pun muncul isyu ijazah ‘aspal’ (asli tapi palsu). Malahan untuk meraih gelar doktor pun terdengar praktek plagiat. Kalau beginilah sosok output lembaga-lembaga pendidikan kita, yang adalah calon-calon pemimpin masyarakat di masa depan, bagaimana akan jadinya bangsa ini?


Membenahi Suara Hati

Pertanyaan besar, upaya apa yang harus dibuat guna mengatasi situasi anomik masyarakat kita sebagaimana terurai di atas? Rezim pemerintahan di era Reformasi mencanangkan tekad menjalankan good governance (kepemerintahan yang baik). Diupayakanlah reformasi di berbagai bidang. Barangkali yang paling menonjol menyangkut korupsi dan penegakan hukum. Untuk memberantas korupsi dikeluarkan Undang-Undang anti korupsi, dibentuk sebuah superbody bernama ‘Komisi Pemberantasan Korupsi’ (KPK), di samping lembaga penegak hukum lainnya (kepolisian, kejaksaan, kehakiman). Tetapi anehnya, semakin genderang perang melawan korupsi ditabuh, perilaku korup itu malah makin marak. Korupsi menggerogoti birokrasi hingga ke daerah-daerah, juga lembaga negara lainnya. Di bidang penegakan hukum pun sama halnya. Semakin lantang pemerintah mencanangkan penegakan hukum, praktek mafia hukum semakin merajalela. Kelompok-kelompok masyarakat pun semakin kerap main hakim sendiri atas kelompok lainnya, sehingga terbayang seakan di negara ini kita sedang hidup dalam hukum rimba. Semua itu menegaskan bahwa, untuk mengatasi masalah rumit masyarakat kita, tidaklah cukup hanya melalui reformasi struktural dengan segala sistemnya.


Suara kenabian yang diserukan sekelompok tokoh lintas agama di awal 2011 lalu, dengan menyebut daftar 18 kebohongan rezim pemerintah, sesungguhnya menyentuh akar masalah yang selama ini kurang tersentuh. Dengan memilih istilah ‘kebohongan’ mereka berbicara pada tataran moral, dan bukan pada tataran sosio-struktural belaka. Moral atau etika menyangkut perilaku yang baik, yang bersumber pada sikap hati yang baik. Dalam Injil, ketika Yesus terlibat dalam kontroversi tajam dengan kaum Farisi dan ahli Taurat sekitar tema kenajisan, Yesus bicara keras dengan mengutip nabi Yesaya: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis, ‘Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh daripada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia’. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia” (Mrk. 7:6-8). Selanjutnya, Yesus menegaskan: “Apa yang ke luar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (Mrk. 7:20-22). Memang dari disposisi hati yang buruk akan mengalir perilaku yang buruk pula. Betapapun bagusnya sistem yang dibuat, berapapun lembaga pemberantasan korupsi, yang dibentuk, tetapi kalau disposisi hati para petugasnya memang sudah korup, maka hasilnya juga akan sia-sia. Bahkan lebih buruk lagi, antara lembaga-lembaga negara terjadi praktek saling menyandera dalam kelicikan mempermainkan hukum. Sebaliknya dari nurani yang jernih dan baik akan lahir perilaku yang baik pula. Sedemikian itu, maka kiranya yang teramat penting dilaksanakan ialah pembenahan suara hati bangsa ini, dan itu berarti pembenahan nurani setiap warga negara, baik para pejabat publik (eksekutif, legislatif, yudikatif) maupun warga negara biasa. Pantaslah kita belajar dari sebuah gerakan moral di Filipina, yang mencanangkan slogan “From the Rule of Law to the Rule of Virtue” (“Dari Kaidah Hukum ke Kaidah Kebaijkan”). Dahulu kala, kata mereka, nenek moyang kita tidak memiliki Fakultas-Fakultas Hukum yang menelorkan para ahli hukum. Tetapi mereka dapat hidup teratur dan harmonis dalam masyarakatnya. Mengapa? Karena dalam hidup bersama di tengah masyarakat mereka menghayati keutamaan-keutamaan luhur yang mereka miliki. Sekarang ini kita memiliki sekian banyak ahli hukum yang ditelorkan Fakultas-Fakultas Hukum, tetapi masyarakat kita makin kacau-balau tak beraturan!


Di atas kita berbicara tentang situasi anomik masyarakat kita, yang ditandai kekacauan sosial dan moral, serta disintegrasi sistem nilai. Prinsip moral mengatakan, seseorang harus mengikuti suara hatinya yang jernih. Tetapi dalam situasi anomik suara hati seseorang dapat berada dalam disposisi kacau, dan bahkan bisa menjadi tumpul dan buta. Kalau sejak dari kecil sampai tamat dari Perguruan Tinggi, seseorang sudah terbiasa bertindak tidak jujur (misalnya kebiasaan menyontek untuk dapat nilai yang bagus atau kebiasaan berbohong), maka lama-kelamaan suara hatinya tidak mampu lagi melihat bahwa perbuatan itu bertentangan dengan nilai moral; ia menganggap hal itu biasa saja. Dalam situasi anomik suara hati juga tidak mampu melihat dengan jelas tata nilai moral. Dalam masyarakat yang diwarnai kecenderungan materialistis-konsumeristis, nilai ekonomis (materi) dapat menempati urutan pertama, dan menggeser nilai moral ke urutan ke sekian di bawahnya. Barangkali dengan latar belakang ini kita dapat memahami momok korupsi yang kian marak saja. Oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan nilai sejak dini, dalam keluarga dan di sekolah! Sungguh sangat perlu mengembalikan pendidikan budi pekerti ke lembaga-lembaga pendidikan di negara ini.


Manakah nilai-nilai yang perlu dipelihara dan diberdayakan sejak awal pada subyek didik melalui pendidikan budi pekerti? Abraham Maslow, pelopor psikologi humanistik yang dinamakan ‘Mazhab Ketiga’ di lingkungan psikologi, menemukan nilai-nilai yang melekat dalam kodrat manusia, yang merupakan bagian kodrat biologis dan naluriah, bukan hasil belajar. Maslow meyakini nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berlaku umum pada seluruh umat manusia, yang dapat dibuktikan secara ilmiah. Ia sangat merasakan perlunya suatu sistem nilai yang dapat dijadikan pegangan, yang tidak bersumber pada kepercayaan buta semata-mata. Ia menyebut tiga nilai paling hakiki manusiawi, yaitu kebenaran (verum), kebaikan (bonum), dan keindahan (pulchrum); lalu mengikut sejumlah nilai tambahan seperti kegembiraan, keadilan, kebahagiaan, dst. Maslow mengritik keras para psikolog yang mengumandangkan paham relativisme moral dan kultural, yang menurut dia tidak berusaha memecahkan masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat kita. Tanpa patokan-patokan etis, masyarakat tidak akan mampu menolak orang-orang seperti Eichmann dan Hitler, bom-bom atom dan sejenisnya. “Keadaan tanpa sistem nilai-nilai adalah psikopatogenik. Manusia butuh suatu filsafat hidup, agama atau suatu sistem nilai, sama seperti ia butuh sinar matahari, kalsium dan cinta kasih”, kata Maslow.


Sebenarnya para Waligereja Indonesia sudah lama menaruh keprihatinan dan mengeluarkan anjuran-anjuran sekitar masalah moral bangsa. Surat Gembala Prapaskah KWI 1997 berbicara mengenai kerusakan moral hampir di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Empat tahun kemudian, dalam Surat Gembala Paskah KWI 2001 masalah itu direnungkan kembali lewat sebuah pertanyaan, “... betulkah sekarang ini hanya ada kemerosotan moral saja atau sudah matikah moral dan etika yang seharusnya menjadi dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara?” Kemudian dalam Nota Pastoral KWI 2003 masalah serius tersebut dipandang sebagai hancurnya keadaban. Puncak permenungan sekitar masalah muskil ini tertuang dalam Nota Pastoral KWI 2004 berjudul “Keadaban Publik: Menuju Habitus Baru Bangsa; Keadilan Sosial bagi Semua: Pendekatan Sosio-Budaya”. Ini dilanjutkan dengan Nota Pastoral KWI 2006 berjudul “Habitus Baru: Ekonomi yang Berkeadilan; Keadilan bagi semua: Pendekatan Sosio-Ekonomi”. Pertanyaannya, apakah dokumen-dokumen penting tersebut telah dijadikan pembelajaran secara serius, baik pribadi maupun bersama, oleh segenap lapisan umat Katolik Indonesia?


Membiarkan Diri Diubah oleh Kristus

Demikianlah, kita telah melihat bahwa upaya transformasi sosial bangsa ini akan berhasil hanya apabila dibarengi transformasi setiap individu warga negara Indonesia, khususnya individu para penyelenggara Negara. Dalam kaitan ini berlaku slogan “Jika Anda mau mengubah dunia, mulailah dengan dirimu sendiri”. Masalahnya, setiap orang berpikir mau mengubah orang lain. Hampir tak seorang pun berpikir bagaimana mengubah dirinya sendiri. Anthony de Mello menggambarkan situasi ini secara gamblang dalam cerita berikut:


Sufi Bayazid bercerita tentang dirinya seperti berikut ini: ‘Waktu masih muda, aku ini revolusioner dan aku selalu berdoa: Tuhan, berilah aku kekuatan untuk mengubah dunia!’. ‘Ketika aku sudah separuh baya dan sadar bahwa setengah hidupku sudah lewat tanpa mengubah satu orang pun, aku mengubah doaku menjadi: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah semua orang yang berhubungan denganku: keluarga dan kawan-kawanku, dan aku akan merasa puas’. ‘Sekarang ketika aku sudah menjadi tua dan saat kematianku sudah dekat, aku mulai melihat betapa bodohnya aku. Doaku satu-satunya sekarang adalah: ‘Tuhan, berilah aku rahmat untuk mengubah diriku sendiri’. Seandainya sejak semula aku berdoa begitu, maka aku tidak begitu menyia-nyiakan hidupku’!


Memang mengubah diri bukanlah hal yang mudah. Tetapi, bagi kita orang kristiani, kuat kuasa Kristus akan mengubah kita, asalkan kita mau memberi diri diubah oleh-Nya. Camkanlah cerita lain dari Anthony de Mello ini:

Wawancara antara seseorang yang baru saja bertobat dan mengikuti Kristus dengan seorang temannya yang tidak beriman: ‘Jadi, kau sudah bertobat menjadai pengikut Kristus?’ ‘Ya’. ‘Kalau begitu tentu kau tahu banyak tentang Dia. Misalnya, di negara mana Ia dilahirkan?’. ‘Aku tidak tahu’. ‘Berapa usia-Nya waktu Ia meninggal?’. ‘Aku tidak tahu’. ‘Berapa kali Ia berkhotbah?’. ‘Aku tida tahu’. ‘Lho, bagi orang yang menyatakan telah bertobat menjadi pengikut Kristus, kau mengetahui sedikit sekali’. ‘Kau memang benar. Aku malu karena begitu sedikit pengetahuanku tentang Dia. Tetapi, sekurang-kurangnya aku tahu hal ini: Tiga tahun yang lalu aku seorang pemabuk. Hutangku banyak. Keluargaku berantakan. Anak-isteriku selalu takut, setiap kali aku pulang. Tetapi sekarang aku sudah tidak minum lagi. Hutang-hutangku sudah lunas. Keluarga kami bahagia. Anak-anak senang menantiku pulang ke rumah setiap sore. Sebanyak inilah yang saya ketahui tentang Kristus’.


Kisah ini merupakan contoh suatu pertobatan sejati. Dan bukankah Masa Prapaskah adalah masa pertobatan? Bersediakah kita menggunakan masa pertobatan penuh rahmat ini secara sungguh-sungguh? Dalam Gereja Katolik kita beruntung mendapatkan sarana rahmat penyembuhan. Itulah Sakramen Tobat. Tetapi berapa dari kita umat Katolik yang masih bersedia memanfaatkannya?


Menuju Sinode KAMS 2012

Di atas kita telah membahas topik APP Nasional 2011 dalam konteks situasi umum masyarakat bangsa kita. Dan kita sampai pada kesimpulan bahwa upaya transformasi sosial-struktural (eksternal) saja, tanpa disertai transformasi pribadi (internal) setiap warga negara, termasuk dan khususnya para penyelenggara negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) akan sia-sia. Reformasi yang dijalankan haruslah komprehensif, meliputi baik sisi eksternal maupun internal.


Ini juga berlaku untuk komunitas Gereja. Diktum “Ecclesia semper reformanda” (“Gereja harus selalu diperbaharui”) menyangkut kedua aspek itu, eksternal-internal. Gereja lokal KAMS akan genap berusia 75 tahun pada 13 April 2012 y.a.d. Kita ingin menggunakan moment bersejarah penuh rahmat itu untuk mengadakan Sinode Keuskupan, sebagai upaya penegasan diri lagi dan merumuskan arah beberapa tahun ke depan Gereja lokal kita dalam semangat ‘aggiornamento’ (pembaharuan) Konsili Vatikan II. Melalui Surat Puasa ini saya, selaku Uskup Agung KAMS, menyerukan kepada segenap warga Katolik KAMS: “Mari sukseskan SINODE KAMS 2012; Sinodal-Kolegial: Berjalan Bersama Lewat Perwakilan”! Tuhan memberkati kita!

Makassar, medio Februari 2011

+ John Liku-Ada’

Tidak ada komentar: