Rabu, 09 Maret 2011

Sebuah narasi pengalaman hidup: RENUNGAN 25 TAHUN HIDUP MEMBIARA DALAM TAREKAT CICM


Benih yang ditanam itu bertumbuh

Bukan dalam keistimewaan manusia bahwa Allah kemudian menanamkan benih panggilanNya. Semua manusia, bahkan semua ciptaanNya dipanggil oleh Allah menurut kerelaan hati Allah. Dan manusia pun menanggapi panggilan Allah itu hendaknya bukan karena keterpaksaan maupun desakan dari luar dirinya, melainkan karena ada dorongan dalam dirinya untuk membalas kasih Allah (Yoh 3:16).


Saya adalah anak ABG artinya Anak Besar di Gereja. Saya mengatakan demikian karena hidup saya sejak dini selalu ada di sekitar altar sebagai misdinar di Paroki Kemetiran, Yogyakarta. Hari-hari saya, hanya saya lewatkan di sekolah dan untuk kegiatan Gereja. Sebagai anak yang mulai beranjak remaja saya selalu aktif di Gereja sebagai anggota misdinar. Dalam kelompok itu saya menemukan banyak sahabat-sahabat yang akrab, mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan diri dengan mengikuti banyaknya kegiatan yang dilakukan bersama sebagai anggota misdinar. Kami akan senang sekali datang di bengkel pembuatan lilin untuk keperluan Gereja yang dikelola oleh misdinar sendiri. Keuntungan dari penjualan lilin ditabung dan pada akhir tahun hasil tabungan itu digunakan untuk piknik bersama semua anggota misdinar. Itulah saat-saat yang membahagiakan; piknik bersama dengan semua misdinar dan pembina serta pastor-pastornya. Suatu kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri kalau bisa bercanda, berfoto bersama dengan pastor saat berpiknik. Semua anggota misdinar juga mempunyai wadah olahraga bersama di halaman Gereja seperti bola voli, sepak bola, badminton, pencak silat, karate. Semua itu merupakan sarana yang ampuh untuk misdinar saling mengakrabkan diri menjadi saudara dan akhirnya mau memberikan diri bagi pelayanan altar. Waktu-waktu Natal dan Paskah adalah saat-saat yang sangat menyibukkan misdinar sehingga saat-saat itu kami biasanya menginap di Gereja untuk paginya melayani lagi sebagai misdinar. Kegiatan-kegiatan seperti itu membuat kami rindu untuk selalu bertemu dan bersama-sama lagi. Inilah lahan yang subur untuk benih panggilan menjadi imam, biarawan/ti. Tidak mengherankan bahwa ada beberapa, kalau tidak dikatakan banyak, teman-teman saya yang menjadi imam atau biarawan/ti.


Saat itu, seusai melayani altar saya diundang pastor pembantu paroki, pastor SP untuk masuk ke kamar kerjanya. Pastor ini dikenal dekat dengan umat, sangat sederhana hidupnya. Kemana pun ia pergi akan selalu mengenakan jubah putih dan sandal jepit serta mengayuh sepeda perempuannya. Sebagai pastor ia menyayangi anak-anak. Kami masuk di ruangan kerjanya. Ia menawarkan banyak mainan untuk dipinjam anak-anak. Saya ingat, saat itu ia mengulurkan sebuah mainan seperti sebuah kamera. Kalau ditekan kenobnya, gambar yang ada di dalamnya akan berubah-ubah. Saya merasa gembira sekali dengan sikap pastor itu dan saya mengatakaan pada diri sendiri suatu saat, kalau saya besar, saya ingin menjadi seperti dia. Inikah yang dinamakan benih panggilan ditanamkan dalam diri saya? Menurut saya itulah awal dari kehidupan panjang saya sampai saat ini. Terpatri dalam benak, saya ingin menjadi seorang imam yang baik dan menyayangi anak-anak seperti pastor SP itu.


Lulus SMP saya ingin masuk seminari menengah Mertoyudan di Magelang. Tetapi orangtua tidak merestui dengan alasan saya adalah anak pertama dalam keluarga. Kami memang dari keluarga yang tidak mampu. Ayah dan ibu saya bekerja sebagi guru di Sekolah Dasar Katolik Kanisius di Yogyakarta. Kami enam bersaudara, sehingga gaji ayah dan ibu tidak mencukupi untuk memberi makan dan menyekolahkan anak-anak. Akhirnya saya urung masuk seminari menengah. Saya berkeinginan masuk sekolah Katolik dengan harapan untuk mendapatkan pendidikan yang baik untuk mempersiapkaan diri masuk seminari. Tetapi karena orangtua kami miskin tidak mampu menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah Katolik karena biaya yang sangat mahal untuk bisa menikmati pendidikan Katolik. Saat itu hanya anak-anak dari keluarga mampu saja yang bisa menikmati sekolah di sekolah Katolik. Puji Tuhan, saat itu Presiden Suharto meresmikan sekolah baru di Yogya yang kemudian menjadi sekolah kejuruan primadona, yaitu STM Pembangunan 4 Tahun. Saya lolos masuk di sekolah itu. Saya bisa menyelesaikan belajar di sekolah itu karena memang uang sekolahnya tidak mahal. Untuk keperluan lain selain uang sekolah, saya berusaha dengan mencari bata merah yang sudah terpakai. Bata merah itu saya hancurkan dengan sepotong besi sampai menjadi bubuk dan kemudian dijual sebagai bahan bangunan. Selain itu untuk mendapatkan uang jajan, setiap pagi saya bangun jam 05:00 untuk membantu keluarga kakak ibu saya. Setiap pagi saya akan membersihkan halaman, menimba air untuk keperluan mereka sebelum saya berangkat sekolah. Biaya sekolah saya diringankan juga dengan mendapat beasiswa dari Pertamina; Uang sekolah saya dibayar tanpa harus terikat oleh ikatan kerja. Panggilan untuk menjadi imam saat itu tidak terlintas lagi.


Keinginan orangtua setelah lulus STM Pembangunan tahun 1976 ialah, saya bisa bekerja dan mendatangkan uang untuk membantu keluarga. Tetapi saya merasa bahwa belum saatnya saya bekerja, saya masih merasa ingusan untuk masuk ke dunia kerja. Saat itu di sekolah ada promosi pendaftaran Akademi Penerbangan Curug, Tangerang. Saya tergerak untuk mendaftar dan ternyata diterima. Saya mengambil jurusan Teknik Pesawat Terbang yang selaras dengan jurusan yang saya selesaikan di STM Pembangunan. Mendapatkan pendidikan yang semi-militeristik di akademi itu, orangtua tidak perlu mengeluarkan biaya, dan saya pun tidak perlu mencari uang ekstra dengan menyapu halaman dan menimba air, karena seluruh keperluan taruna dipenuhi oleh sekolah dari baju seragam, sepatu, uang sabun, perangko dll. Pendidikan intensif ditempuh dalam jangka waktu satu setengah tahun; kemudian pada tahun 1978, saya ditempatkan di Garuda Indonesian Airline (GIA saat itu) sebagai Ground Engineer. Tugas saya sebagai teknisi pesawat adalah merawat pesawat yang mendarat di bandara internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta seperti pesawat DC10, DC9, Boeing 747 yang mampu menerbangkan hampir 1000 penumpang milik Garuda, Lufthansa, KLM Netherland, Aeroflot Rusia, Qantas Australia dll.


Sebagai seorang pekerja saya pun mendapatkan upah. Tahun pertama dalam bekerja, saya mempertanyakan kembali makna kehidupan saya. Apa arti semua yang saya kerjakan? Uang yang saya dapatkan dari pekerjaan? Sepertinya masih ada sesauatu yang kosong dalam hidup saya. Sesuatu yang harus dipenuhi untuk mendapatkan kedamaian dan ketenangan batin. Kembali perasaan saya diombang-ambingkan oleh keinginan masa kecil menjadi imam atau biarawan. Saya berpacaran tetapi tidak mampu merajut hubungan yang semakin dalam yang mengarah kepada perkawinan karena adanya kerinduan masuk seminari. Ingin masuk seminari tetapi orangtua masih belum juga mengijinkan. Seperti lagu “torn between two lovers” saya ada dalam persimpangan jalan: perkawinan atau selibat/membiara. Suatu saat pikiran saya melayang dan memimpikan bahwa saya bekerja sebagai seorang pilot helikopter yang melayani pengeboran minyak lepas pantai dengan gaji selangit. Saya akan kumpulkan uang hasil keringat itu untuk membantu keluarga dan adik saya yang jumlahnya lima orang. Setelah itu saya akan keluar dari pekerjaan dan masuk seminari.


Saya benar-benar ingin mewujudkan impian itu. Saya mengundurkan diri dari pekerjaan dan mengikuti test masuk penerbang. Puji Tuhan ternyata saya bisa lolos tes masuk. Saatnya tiba bahwa saya harus menginjakkan kaki lagi di Akademi Penerbangan Curug sebagai taruna Penerbang angkatan ke-17 pada tahun 1981. Saya mulai berlatih bagaimana caranya menerbangkan pesawat. Dengan seorang instruktur duduk di samping, saya akan melakukan manuver-manuver pesawat misalnya bagaimana membuat pesawat seolah-olah mesinnya gagal, pesawat akan jatuh, bagaimana cara mengatasinya. Kami sempat main-main juga seperti misalnya pesawat menukik dan seolah-olah akan menyambar kumpulan orang yang sedang main bola voli di lapangan. Kami akan tertawa melihat pemain berhamburan ke luar lapangan. Di asrama sebagai taruna Penerbang tetap saja hidup saya kurang tenteram. Saya tidak bisa berkonsentrasi dalam belajar karena dorongan keinginan untuk masuk seminari yang begitu kuat. Saya menerima posisi ketua Taruna beragama Katolik dengan banyak membuat kegiatan rohani Katolik untuk menenangkan gejolak hati ini. Hal ini membawa dampak pula pada latihan-latihan terbang saya. Sampai pada suatu momen dimana pada saat tes kelulusan terbang, saya dinyatakan gagal sebagai penerbang karena waktu mendarat pesawat yang saya kendalikan melompat-lompat di landasan, tidak mulus mendaratnya. Seandainya ada penumpang pasti penumpangnya mabuk semuanya. Anehnya hal ini tidak membuat saya bersedih. Tetapi malah berpikir kalau saya langsung masuk seminari setelah gagal ujian terbang, nantinya apa kata orang. Orang bisa saja mengatakan bahwa saya masuk seminari karena pelarian dari kegagalan saya. Hal itu tidak saya inginkan. Oleh karena itu saya kembali bekerja sebagai teknisi pesawat terbang. Saya mendapatkan tempat bekerja yang baru dan menduduki posisi sebagai Manager Teknik Pesawat. Itu karena saya mempunyai lisensi perawatan yang cukup lengkap dan pengalaman di GIA.


Babak hidup baru lagi saya harus lalui. Karena kapasitas saya di tempat kerja, saya banyak berhubungan dengan pejabat-pejabat militer dan polisi dari empat angkatan yang berkaitan dengan pesawat. Itu karena kami merawat pesawat mereka serta menyuplai sparepartnya dan alat-alat lainnya. Saya mulai memahami lika-likunya bisnis dengan cara “Indonesia” yang senang menggunakan pelicin-pelicin. Pelicinnya bukan hanya berupa uang dan fasilitas lain, tetapi kadang-kadang ada yang meminta “ayam kampung” maksudnya gadis kampung yang masih lugu. Hal ini seringkali menggugat hati nurani saya, sehingga membuat saya semakin ingin segera masuk seminari. Untuk mendukung panggilan saya, pagi hari saya bekerja di kantor, malam hari saya kuliah mengambil “applied theology” untuk awam, psikologi abnormal dll di STF (Sekolah Tinggi Filsafat) Driyarkara, Jakarta.


Sementara itu saya sudah lebih dari tiga tahun pacaran. Suatu sore saya mengatakan kepada pacar saya bahwa sudah saatnya saya harus meninggalkan semuanya dan masuk seminari. Reaksinya terhadap kata-kata saya, ia mengatakan: “Kalau itu kamu lakukan, saya akan bunuh diri.” Saya hanya bisa diam, tetapi dalam hati saya mengatakan bahwa niat untuk bunuh diri itu pasti tidak akan dilakukannya. Saya membaca dalam majalah Hidup sebuah iklan “Beranikah engkau bermimpi... dan beranikah engkau mewujudkan impianmu? Mengubah wajah dunia menjadi wajah Yesus?” Iklan ini menantang saya. Saya catat alamat pemasang iklan itu. Sepulang dari kantor saya mendatangi alamat yang terpampang di iklan tersebut yaitu Gereja Kristus Salvator, Jl. KS Tubun 128 Slipi, Jakarta. Setibanya di pastoran saya disambut seorang pastor yang tinggi dan kepalanya botak, halus dan licin. Beliau memperkenalkan diri sebagai pastor paroki dan namanya Pastor Theo Heurkens, CICM. Ternyata oleh konfrater lain ia sering disebut “Ensiklopedi berjalan” karena ia bisa mengingat banyak hal pengetahuan. Setelah lebih dari satu jam berbicara dengan beliau, beliau mengatakan: “Kamu diterima masuk pra-novisiat CICM. Tetapi tunggu sampai ada penerimaan baru.” Untuk itu saya masih harus menunggu sekitar enam bulan sambil saya tetap kuliah malam di STF. Pulang dari interview saya naik sepeda motor ke rumah kontrakan saya di Kemayoran. Sampai di perempatan Jl. Gunung Sahari dan Jl.Pintu Air pandangan saya menjadi gelap karena ingat kata-kata pacar saya: “saya akan bunuh diri.” Yang saya ingat adalah bahwa saya mendengar suara “Ciiiiiiittt” ternyata itu adalah suara mikrolet yang datang dari arah Ancol yang direm karena menghindari saya. Saya tersadar setelah saya terbaring di trotoar dengan motor tergeletak di samping saya. Karena melamun dan pandangan menjadi gelap, menyebabkan saya mendapat kecelakaan walaupun tidak ada luka-luka ditubuh saya. Terima kasih Tuhan, Engkau selamatkan saya. Mulai waktu saya dikatakan diterima sebagai calon pra-novis CICM, saya perlu membujuk pacar saya supaya dia melepaskan saya tanpa harus gantung diri. Thanks be to God, bahwa pada akhirnya saya boleh berangkat untuk masuk di pra-novisiat CICM. Saya mengambil cek gaji terakhir dan saya serahkan kepada ibu saya untuk keperluan keluarga. Hari itu, 14 Juni 1984, pukul 05:00 pagi lewat bandara Kemayoran saya melambaikan tangan kepada 4 orang yang ada di bawah pesawat, ibu saya, adik, teman serumah dan pacar saya. Mereka semua meneteskan airmata yang mengiringi keberangkatan saya menuju ke Makassar untuk memulai babak hidup baru dalam panggilan Allah.


Sepuluh tahun sejak benih panggilan itu ditanamkan, melalui peristiwa yang sangat sederhana, benih itu mendapatkan ujian dalam kehidupan yang nyata. Goncangan, badai yang melanda kehidupan ternyata semakin memantapkan tumbuhnya benih itu. Nyanyian “Torn between two lovers” mendapatkan jawaban yang pasti yaitu berjalan pada “the less travelled road” dalam hidup panggilan. Jalan hidup itu mengikuti jejak seorang yang bernama Yesus, yang kurang populer di mata dunia. Pesawat Merpati mengantar saya menginjakkan langkah kaki pertama pada panggilan yang dimulai di kota Ujung Pandang.


Mempertanyakan hakikat panggilan dan Jawaban Tuhan

Hari-hari di pra-novisiat dan novisiat di Makassar saya lalui dengan banyak kegembiraan bersama sesama frater. Menyesuaikan diri dengan teman seangkatan tidaklah sulit karena beberapa teman seangkatan juga masuk pra-novisiat setelah beberapa tahun bekerja di luar; ada yang sebagai karyawan rumah sakit, ada yang pekerja badan sosial. Puncak kegembiraan sebagai frater novis adalah saat diperkenankan mengucapkan kaul pertama pada 6 Februari 1986. Misa syukur kaul pertama diadakan di Katedral Hati Yesus yang Mahakudus, Makassar, di tempat saya merayakan 25 tahun hidup membiara. Tanggal 6 Februari 1986 menjadi tonggak sejarah panggilan hidup membiara saya. Mulai saat inilah hidup saya menjadi sangat berbeda dengan kehidupan saya sebelumnya. Hidup yang mempunyai dinamika yang sangat menarik karena “adventure” saya bersama Yesus dalam keluarga CICM, yang membawa saya menerobos hutan, mendaki gunung, menyeberang sungai dan menuruni lembah di ujung utara pulau Luzon, Pilipina.


Setelah ditahbiskan pada 9 Mei 1992, saya menerima perutusan untuk bekerja sebagai misionaris di Lubuagan Catholic Mission. Sebuah pusat misi yang terletak di Propinsi Kalinga-Apayao, Filipina Utara. Misi itu sudah ditinggalkan untuk beberapa waktu, tidak ada yang melayani karena sudah tiga pastor CICM yang ditugaskan di situ dibunuh, dan terakhir pastor projo yang menjadi rektor pun diancam akan dibunuh dan diusir. Saya mau menerima misi itu dengan keyakinan bahwa, kalau saya ditugaskan ditempat itu artinya bahwa Tuhan sendiri yang mengutus saya dan Tuhan akan melindungi saya dari pengalaman seperti yang diterima pastor-pastor sebelum saya. Puji Tuhan, saya bisa dengan bahagia bekerja di misi itu sampai saat saya dipanggil pulang ke Indonesia.


Tahun pertama di misi baruku, terjadi cobaan yang besar yang membuatku bertanya-tanya tentang panggilanku. Saat itu Lubuagan sedang mengalami banyak perang antar-suku. Sudah 17 tahun Lubuagan dalam keadaan perang dengan suku Cagaluan. Sudah banyak korban berjatuhan, mati. Kalau satu suku berhasil memenggal satu kepala musuhnya, mereka akan berpesta, memotong babi, kerbau. Pada malam hari mereka akan makan, minum arak, menari dan menyanyi mengelilingi kepala musuhnya sebagai pesta kemenangan.


Pada tahun 1993, muncul musuh baru bagi Lubuagan. Awalnya seorang guru dari suku Balatok ditembak oleh beberapa orang dari Suku Lubuagan. Walaupun orang itu selamat tetapi balas dendam tidak bisa dihindari. Seorang suku Lubuagan kena bacok pisau parang oleh musuhnya dari suku Balatok. Kejadian ini menyulut kemarahan suku Lubuagan dan mereka menutup jalan utama menuju desa Balatok. Akibatnya umat suku Balatok mengalami kesulitan dengan pasokan bahan pokok makanan. Untuk mengangkut bahan makanan mereka harus mendaki dan menuruni banyak gunung karena jalan transportasi ditutup oleh musuh. Dalam setiap kotbah di Gereja saya selalu memohon supaya suku Lubuagan tidak menutup jalan karena membuat umat Balatok kelaparan. Suara saya tidak didengar karena saya masih muda dan belum punya kumis yang membuat orang tampak lebih berwibawa. Saya panggil pemimpin-pemimpin suku yang ada di Lubuagan untuk menyelesaikan konflik itu tetapi tidak digubris juga. Akhirnya apa yang selalu saya katakan dalam kotbah menjadi kenyatan bahwa suku Balatok benar-benar marah dan mereka membantai 6 orang dari suku Lubuagan. Dalam beberapa minggu suasana desa benar-benar dalam kesedihan yang luar biasa, karena mereka itu sudah dibunuh masih dirusak lagi tubuh mereka. Suasana perang setiap hari meliputi kedua suku. Dalam keadaan seperti ini saya bertanya-tanya, menggugat Tuhan. Tuhan mengapa Engkau tinggal diam saja? Mengapa Engkau mengutus saya ke tempat ini kalau hanya untuk menyaksikan perang antar-saudara? Mengapa Engkau mengutus aku kemari kalau Engkau tidak memakaiku untuk misiMu? Saya hanya bisa menggugat Tuhan dan menangis. Suatu saat hati saya merasakan kedamaian luar biasa. Dalam doa ada sebersit inspirasi untuk membuat sebuah doa bagi perdamaian. Benar, saya menulis doa yang judulnya “Crusade Prayer for Peace” atau doa bagi perdamaian. Doa itu kami cetak dan disebarkan ke semua desa-desa, mission station untuk didoakan bersama setelah doa rumah tangga, doa lingkungan, atau sesudah misa. Ternyata inilah jawaban Tuhan bagi semua pertanyaan saya kepadaNya. Semua umat berdoa bersama dengan doa yang sama. Ternyata luar biasa karya Tuhan. Ia memulihkan semua luka-luka anak-anakNya. Lubuagan dipulihkan dan ada rekonsiliasi dengan semua musuhnya. Termasuk musuh yang sudah 17 tahun berseteru. Rekonsiliasi bagi mereka adalah “Bodong” artinya perjanjian damai dan upacara bodong dihadiri oleh semua Suku yang bermusuhan. Mereka akan memotong kerbau, babi dan berpesta. Pada malam hari mereka akan menari dan menyanyi bersama semalam suntuk. Kegembiraan bagi semua orang. Selama saya bertugas di tempat misi itu tidak ada lagi musuh. Saya baru tahu jawaban Tuhan, bahwa Tuhan menghendaki saya untuk mengajak umat berdoa, dan bukan dengan cara lain yang Tuhan kehendaki untuk mendamaikan mereka.


Untuk pertama kali saya menunjungi desa Mabongtot untuk misa, pembaptisan dan perkawinan. Desa itu terletak di sebelah gunung. Untuk mencapai tempat itu saya dan teman-teman harus melewati kebun kopi yang luas, hutan, kemudian menuruni lembah dimana tidak ada jalan kecuali jalan kerbau. Di kiri-kanan hanya ada tanaman ilalang yang tingginya melebihi tinggi badan saya. Sampai di dasar lembah ada sebuah sungai yang lebar dan dalam serta tidak ada jembatan. Untuk menyeberang kami dibantu oleh pemuda-pemuda setempat dengan menggunakan ban dalam truk yang besar. Biasanya kalau saya mengunjungi desa-desa ditemani oleh katekis, guru dan suster. Kami semua harus melepaskan baju dan celana, tinggal celana dalam atau celana pendek yang dikenakan. Demikian juga dengan katekis yang wanita dan suster melakukan hal yang sama. Kami bungkus pakaian dan barang-barang dengan plastik agar tidak basah. Kemudian kami diminta berbaring tiarap pada ban tersebut, dan pemuda-pemuda akan menarik ban itu sambil berenang sampai di seberang. Sampai seberang kami harus mendaki bukit berbatuan lagi.


Mabongtot adalah desa dengan 100 keluarga. Rumah mereka sangat sederhana, atap dari daun kelapa, atau ilalang, dinding dari seng bekas, kardus atau anyaman bambu. Bentuk rumahnya umumnya rumah panggung, di bawah lantai ada kambing atau ayam peliharaan. Luas rumah umumnya kecil 2x2 meter persegi. Di situlah seluruh keluarga tidur, memasak makanan untuk keluarga, menerima tamu. Saat saya dan teman-teman menginap di rumah katekis setempat dengan keluarganya, kami semua tidur bersama di lantai rumah sempit itu tanpa bantal dan selimut. Kebiasaan setelah bangun pagi adalah buang air besar. Pagi itu saya merasa perlu buang air besar, saya bertanya kepada pemilik rumah: “Pak, di mana WC-nya?” tanpa menjawab ia beridiri dan mengambil sebuah buku tulis. Ia sobek selembar dan diberikan kepada saya. “Pastor ini untuk bersih-bersih.” Katanya. Saya lihat ternyata lembaran kertas itu berisi catatan seminar kitab suci yang saya berikan beberapa waktu sebelumnya. Ia mengatakan: “Pastor ke belakang sana, di sana ada kebun kopi.” Ternyata memang mereka tidak mengenal WC, karena apa yang keluar dari manusia itu yang menjadi makanan babi peliharaan mereka. Saya pun ke kebun kopi dan di bawah pohon saya jongkok untuk melepaskan kotoran. Saya kaget, tiba-tiba ada beberapa babi yang mengelilingi saya dengan mata melotot seperti mau menyerang. Saya mengambil batu-batu di sekeliling saya untuk menjauhkan mereka dari saya. Selesai membersihkan diri dengan kertas tulis itu, saya berdiri dan... alamak... babi-babi itu berlarian hampir menerjang saya, memperebutkan kotoran saya. Mereka santap dengan lahap semua kotoran saya sebagai sarapan pagi yang enak. Ya, ternyata kotoran saya pun bisa menjadi berkat bagi babi peliharaan mereka.


Kami makan siang di rumah umat yang berbeda setiap harinya. Kalau pastor akan makan siang di sebuah keluarga, keluarga tidak akan menyembelih babi kalau pastornya belum tiba di rumah keluarga itu. Begitu pastor tiba, mereka akan tangkap babi yang berkeliaran di sekitar rumah mereka, dan disembelih. Pastornya harus mendengar teriakan babi yang dipotong, dan kalau bisa melihat darahnya yang mengalir dari leher babi. Dengan demikian peristiwa itu akan membawa berkat berkelimpahan bagi keluarga. Kehadiran pastor disambut dengan darah yang mengucur dari binatang babi yang masih hidup sebagai lambang kehidupan. Pastor datang membawa berkat bagi kehidupan mereka walaupun hanya sekedar hadir di keluarga itu. Oleh karena itu, walupun keluarga itu tidak mempunyai babi peliharaan, mereka akan usahakan sampai dapat.


Setelah tiga hari berada di desa itu kami pulang melalui jalan yang sama. Pendakian yang tajam, membuat saya letih, dan saya beristirahat di bawah sebuah pohon besar di hutan, sementara teman-teman perjalanan saya sudah tidak kelihatan lagi karena cepatnya mereka berjalan. Saya duduk ditemani sopir paroki yang selalu menemani saya ke manapun saya pergi. Pakaian saya kumuh oleh lumpus, kulit tergores daun-daun ilalang. Saat itu hari sudah mulai sore, dan di hutan cahaya mulai gelap. Sementara saya duduk di bawah pohon, benak saya bertanya-tanya, “apakah yang saya lakukan ini? Untuk apakah semua ini? Dulu saya hidup di Jakarta sebagai Manager Teknik; duduk di ruangan bagus ber-AC, ada telepon, ada peralatan kantor, ada sekretaris. Butuh apa saja tinggal bilang kepada sekretaris. Dan sekarang? Saya sendirian di tengah hutan dengan pakaian kotor, hanya dengan seorang sopir, tanpa sekretaris... Apa sebenarnya yang saya cari? Inikah yang namanya panggilan sebagai seorang misionaris? Hati saya menggugat situasi saya. Saat hati tidak bertanya-tanya lagi, ada keheningan, tidak ada jawaban Tuhan atas semua pertanyaan itu dalam bentuk suara yang bisa didengar oleh telinga; tetapi apa yang terjadi, ada perasaan damai mengalir di dalam hati, perasaan yang begitu indah yang membuat semua pertanyaan itu tidak relevan lagi. Seolah-olah ada seorang Bapa yang begitu mengasihi saya dan membisikkan ke dalam telinga hati saya: “Engkaulah anak yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan...” Suara inilah yang telah membuat siapa saya ini. Suara inilah yang memberiku kekuatan untuk bangkit dan melangkah lagi menyelesaikan perjalanan; menyelesaikan peziarahan hidup bersama Dia yang mengutus. Suara inilah yang dulu memanggilku menyelesaikan Novisiatku dan berani mengatakan “Yes Lord, dengan hidup membiara. Yes Lord, dengan hidup sebagai seorang misionaris”. Seperti hiasan dinding yang ada dalam setiap rumah orang Filipina yang bertuliskan “I Love you... that’s enough... Jesus.” Demikian pula Yesus mengatakan hal yang sama kepadaku setiap saat saya mempertanyakan hakekat panggilan hidup membiaraku. Semua karena cinta... karena cintaNya.


Terimakasihku...

Sudah 25 tahun Tuhan mengajakku ber-adventure bersamaNya, sudah 25 tahun saya jatuh bangun dalam perjalanan hidup membiara ini. Seringkali banyak bertanya tentang hakekat panggilan hidup seperti ini; seringkali saya menggugat mengapa saya yang Tuhan panggil untuk melakukan sesuatu yang kadang tidak kusukai atau mengutus aku tempat yang tidak pernah ada dalam benak saya; seringkali saya bertanya mengapa Tuhan membisu, tidak mengindahkan pertanyaan saya. Tetapi ternyata Dia selalu ada untuk saya. Dalam kebimbangan, saat kujatuh, dalam kelemahan saya, ternyata di sana ada Tuhan yang selalu menjawab pertanyaan saya walaupun kadang saya merasa jawaban itu terlambat. Dalam kelemahan saya, ternyata Tuhan menatang saya. Seperti ayat pegangan saya saat saya ditahbiskan imam: “Aku tahu, dalam segala sesuatu Allah bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang Ia kasihi (Rm 8:28).” Dan Dia akan selalu membisikkan kata-kata indahNya: “Engkaulah anak yang Kukasihi, kepadamulah Aku berkenan (Mk 1:11).”


Aku berterima kasih kepadaMu ya Tuhan atas kehadiranMu dalam hidupku. Aku berterima kasih kepada Bapa Uskup Agung John Liku-Ada’ gembalaku di Keuskupan Agung Makassar ini. Aku berterima kasih kepada keluargaku, kepada keluarga besarku CICM terutama propinsi Indonesia di bawah bimbingan P. Antonius H. Prasetyo, CICM. Semua pastor-pastor dan umat sekalian yang dikasihi Tuhan, yang selalu mendukung saya. Tuhan memberkati! Amin. *** Penulis: P. Ignatius Sudaryanto cicm

Tidak ada komentar: