Senin, 26 September 2011

Seperempat Abad Tahbisan Imamat


Dua puluh lima tahun yang lalu, tepatnya 3 September 1986, kami berempat (Diakon Victor Patabang, Diakon Herman S. Panggalo dan 2 orang rekan yang lain) waktu itu mendapat tahbisan imamat dari Mgr. Yoseph Tethool, MSC di paroki Santo Paulus, Ge’tengan-Mengkendek, Tana Toraja. Kedua rekan kami seangkatan, ditahbiskan di parokinya masing-masing: Diakon Alex Lethe ditahbiskan di Palopo tanggal 31 Agustus 1986, sedang Diakon Jimmy Sattu ditahbiskan di Messawa, tanggal 7 September 1986. Sebagai imam-imam muda, tentu kami memiliki semangat yang tinggi dan siap diutus ke mana saja dalam rangka pelayanan pastoral.

Tahun berganti tahun, dan kami pun masing-masing, seturut kebijakan keuskupan, melaksanakan karya pastoral dan menjalani hidup imamat dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Saya pada mulanya ditempatkan sebagai pastor bantu di wilayah pelayanan pulau Muna dan Buton. Bersama Pastor Willem Tee Daia, Pr, selaku Pastor Paroki untuk tiga paroki (Raha, Labasa, dan Bau-Bau), kami menjalankan tugas pelayanan. Saya diberi kepercayaan untuk secara khusus melayani paroki Santo Paulus Bau-Bau dengan beberapa stasinya a.l. Pasar Wajo dan Lawele.  Sekali-sekali saya menyeberang ke Muna dan ambil bagian dalam pelayanan di paroki Labasa dan Raha. Sebenarnya saya hanya sebentar saja boleh  menikmati masa-masa bulan madu saya di Sulawesi Tenggara. Pada pertengahan tahun 1987, Bapa Uskup (Mgr. Frans van Roessel, CICM) menugaskan saya di Seminari Santo Petrus Claver Ujung Pandang (waktu itu) menggantikan Pastor John Turing Datang, Pr., yang mendapat tugas belajar ke Roma. Di Seminari Petrus Claver, saya bergabung bersama P. John Liku-Ada’, Pr. (sebagai Rektor), P. Anton B. Sarunggaga, Pr. (sebagai Prefect Kedisiplinan), dan P. Victor Patabang, Pr. (sebagai Ekonom). Beberapa bulan kemudian, P. Anton B. Sarunggaga, Pr. berganti tempat dengan P. Willibrordus Welle, Pr. yang datang dari Palopo.

Selama kurang lebih 7 tahun saya hidup bersama rekan-rekan imam dan para seminaris. Setelah itu saya diperkenankan mencicipi kehidupan paroki, yaitu pada pertengahan tahun 1993, menemani P. Jan van Empel, CICM selama kurang lebih empat belas bulan di paroki Katedral.  Ketika P. Jan van Empel, CICM diganti oleh P. Lucas Paliling, Pr., saya kembali ke Seminari Petrus Claver. Pada bulan Mei 1994, saya berangkat ke Yogyakarta untuk melaksanakan tugas belajar. Saya mencoba betah di Yogya sampai belajar saya dinyatakan tuntas, yaitu Desember 1999. Setelah beristirahat selama sebulan, saya mendapat tugas baru, yaitu kembali ke Seminari Menengah Santo Petrus Claver Makassar. Tugas tersebut saya lakoni hanya sampai pertengahan tahun 1996, karena tugas baru telah menanti: menjadi penanggung jawab utama di SMA Katolik Cenderawasih Makassar.  Amanat itu masih dipercayakan kepada saya hingga hari ini. Mudah-mudahan segera ada pengganti supaya saya bisa menghirup udara baru di tempat yang baru pula.

Lakon-lakon di atas menjadikan saya telah berjalan selama 25 tahun sebagai seorang imam projo Keuskupan Agung Makassar bersama ketiga rekan saya. Sayang sekali dalam perjalanan itu kedua rekan kami tersandung, sehingga tidak dapat lagi berjalan beriringan dengan kami sekarang. Semoga mereka tetap mampu memaknai hidup mereka.
Dengan berjalan selama 25 tahun sebagai imam projo, saya menemukan beberapa hal yang menarik sekaligus menantang. 

Pertama, sebagai imam projo, saya disadarkan bahwa seluruh hidup saya diperuntukkan bagi karya-karya pastoral dan reksa rohani umat di Keuskupan Agung Makassar, senang atau tidak senang. Membandingkan diri dengan rekan-rekan imam religius, saya sadar bahwa saya mendapat tugas perutusan di sini dan hanya di sini, sehingga mau tidak mau, tanggung jawab atas kelangsungan hidup menggereja, dengan sendirinya diletakkan di atas pundak saya. 

Kedua, karena saya di hampir sepanjang karya imamat, menjadi pendamping kaum muda, terlebih lagi calon-calon imam dan pemimpin jemaat masa depan, saya berkesimpulan bahwa pendampingan terhadap mereka itu, perlu, bahkan sangat mendesak untuk dikondisikan sedemikian rupa sehingga setelah 10-20 tahun ke depan, mereka menjalankan perannya dengan lebih baik. Salah satu yang menurut saya mendesak untuk dilakukan sejak dini adalah membangun relasi dan jaringan yang tidak hanya terbatas di antara sesama rekan seiman, melainkan melintasi berbagai batas yang ada. Alangkah menyenangkannya menjalani hidup imamat yang didukung oleh ”teman-teman kelas” yang memiliki berbagai profesi yang dihormati masyarakat atau jabatan-jabatan penting yang menentukan roda kehidupan masyarakat. Untuk persoalan-persoalan yang harus melibatkan para penguasa dan pejabat masyarakat, kiranya urusan tidak akan serumit yang selama ini kita hadapi. Demikian pula dalam hal perolehan informasi tentang perkembangan masyarakat dan rencana-rencana pemerintah ke depan, termasuk bantuan-bantuan yang diperuntukkan bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyat: “teman-teman kelas” akan banyak membantu. 

Ketiga, sejumlah kekuatiran tentang gagalnya pendidikan seminari dalam “mencetak” imam apabila para seminaris terlalu banyak kena “angin-luar” barangkali dapat dikonfrontasikan dengan jumlah imam baru yang dapat ditahbiskan setiap tahun dalam kurun waktu 58 tahun Seminari Menengah St. Petrus Claver berdiri. Kiranya tidaklah benar apabila kegagalan dan keberhasilan itu semata-mata ditentukan oleh situasi dan kondisi, baik menyangkut tempat pesemaian bibit-bibit panggilan, maupun para pekerja di kebun anggur. Tak mungkinlah kita melupakan karya dan peran Roh Kudus sendiri. Artinya, terbuka juga peluang yang besar bagi tercapainya panggilan imamat kepada orang muda yang banyak diterpa angin (termasuk angin jahat) justru karena Roh Kudus tidak berpangku tangan. Ketika para pengambil keputusan memandang bijaksana menutup program KPB (Kelas Persiapan Bawah) di Seminari St. Petrus Claver,  kami menangkap sebuah petunjuk: program KPB telah menekan sangat drastis jumlah peminat ke Seminari Petrus Claver (SPC). Ketika sedikit saja jumlah peminat, bagaimana melakukan seleksi yang ketat? Tidak hanya itu. Calon-calon yang menduduki ranking utama di sekolahnya, berpikir keras untuk masuk SPC, tidak hanya karena SPC hanya mengenal program IPS, melainkan juga karena mereka harus menahan “gengsi” untuk menempati posisi “bawah/rendah” dibandingkan teman-teman angkatannya dari SMP yang sekarang sudah menduduki kelas yang lebih tinggi dari mereka. Maka dengan dihilangkannya program KPB, para seminaris tidak lagi merasa ketinggalan dari teman-teman mereka di SMA lain. Akan semakin “pe-de”-lah kiranya apabila mereka diberi kesempatan untuk memilih program/jurusan, begitu mereka naik ke kelas XI (kelas 2). Namun hal ini sangat berkaitan erat dengan tersedianya sarana/prasarana belajar termasuk para pengajar dan dengan sendirinya, dana yang memadai. Apakah kendala-kendala ini bisa diatasi seandainya para pengambil keputusan berani melirik sebuah alternatif: SPC dan SMA Katolik Cenderawasih bergandengan tangan semakin mesra? Dan bagaimana para pembaca menyikapi ide ini? “Seminari adalah jantung keuskupan!”, begitu sering kita dengar.  Kalau kita sadar akan fungsi dan peranan jantung bagi tubuh, seraya menyadari pula bahwa kita ini adalah anggota-anggota Tubuh Kristus dalam Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar, maka tentu kita akan terpanggil untuk turut menyumbang, apa pun bentuknya, termasuk ide dan saran, bagi kelangsungan kehidupan si “Jantung” itu. Mudah-mudahan, semakin banyak pihak yang memiliki cara pandang yang sama terhadap pendidikan calon-calon imam dan calon-calon pemimpin jemaat, sehingga menjadi rekomendasi yang kuat bagi pimpinan Gereja Lokal dalam mengambil keputusan dan kebijakan yang tepat.
Ad Multos Annos. *** Penulis: P. Herman S. Panggalo Pr

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Romo Herman , selamat merayakan pesta imamatnya. Sorry uacapan selamatnya terlambat. Terima kasih atas teladan yang romo berikan kepada kami sewaktu di seminari (sense of belonging, kepekaan, ketangkasan, ketahanan, ketekunan). semoga selalu sehat dan bahagia.