Sabtu, 25 Februari 2012

Dubes Vatikan Diundang Hadiri Yubileum

Umat Katolik Sulsel akan merayakan Yubileum atau Perayaan 75 Tahun terbentuknya Keuskupan Agung Makassar. Sejumlah pastor diundang hadir dalam puncak yubileum di Celebes Convention Centre Makassar, 2 Juni mendatang.

Rencana yubileum itu disampaikan Uskup Agung Makassar, Mgr. John Liku-Ada' saat jumpa pers di Aula Keuskupan Agung Makassar, Jalan Kajaolalido, Senin, 20 Februari. Menurut John Liku, perayaan yubileum ini sebagai momen refleksi sejarah bagi umat Katolik yang ada dalam lingkup Keuskupan Agung Makassar.

Ketua Steering Commite kegiatan tersebut, Pastor Paulus Tongli, menambahkan pada puncak perayaan, tanggal 2 Juni nanti, akan diadakan Misa Agung bersama Duta Besar Vatikan dan dilanjutkan dengan acara ramah tamah bersama para undangan lainnya.

Selain dubes, undangan lainnya adalah para uskup se-Indonesia dan mantan misionaris yang pernah andil dalam sejarah penyebarluasan Katolik di Indonesia.

Sebagai bagaian dari rangkaian acara perayaan Yubileum 75 Tahun Keuskupan Agung Makassar, akan digelar pula Sidang Sinode 27 sampai 31 Mei mendatang. (fajar.co.id)

Senin, 20 Februari 2012

SURAT PUASA 2012: PANGGILAN HIDUP DAN TANGGUNG JAWAB

         Kepada para Pastor, Biarawan-Biarawati dan segenap Umat Katolik Keuskupan Agung Makassar, salam sejahtera dalam Kristus Yesus, Tuhan kita, “gambar Allah yang tidak kelihatan” (Kol. 1:15). Hari Rabu Abu tahun ini, sebagai awal Masa Prapaskah, jatuh pada tanggal 22 Februari. Setelah 5 tahun sebelumnya (2007-2011) menggeluti tema “Pemberdayaan Kesejatian Hidup”, dalam 5 tahun ke depan (2012-2016) gerakan APP Nasional mengangkat tema “Mewujudkan Hidup Sejahtera”. Sub-tema pertama pada tahun 2012 ini berkisar pada “PANGGILAN HIDUP DAN TANGGUNG JAWAB”. Mengingat latar belakang situasi masyarakat kita dewasa ini, kita yakin sub-tema ini amatlah penting dan urgen untuk dijadikan pusat permenungan. Salah satu ciri pokok carut-marutnya masyarakat kita dewasa ini adalah gejala merosotnya rasa tanggung jawab dalam kehidupan.

01. (Manusia: Diciptakan menurut Citra Allah
          Kitab Kejadian (Kej.) menyajikan dua kisah penciptaan yang berbeda, khususnya berkenaan dengan penciptaan manusia. Dalam Kej. 1:1-2:4a, Allah menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya, lewat Sabda-Nya, dalam enam hari dan pada hari ke-7 Ia beristirahat. Sedangkan dalam Kej. 2:4b-3:24, bagaikan seorang tukang periuk, Allah “membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya” (1:7) serta “membentuk dari tanah segala binatang hutan dan segala burung di udara” (2:19). Menurut para ahli Kitab Suci, jelaslah kedua kisah itu bersumber dari tradisi yang berbeda, dan dari zaman yang berbeda pula. Kej. 2:4b-3:24 bersumber dari tradisi Y (Yahwis) dari sekitar abad ke-10 seb. M. Sedangkan Kej. 1:1-2:4a sumbernya adalah tradisi P (Priester Codex/Tradisi Imam) dari zaman sesudah pembuangan (akhir abad ke-6 seb. M.). Jadi tradisi Y lebih tua lebih dari empat abad dibanding tradisi P. Oleh karena itu sebaiknya kita mulai mempelajari makna penciptaan manusia itu dengan bertitiktolak dari Kej. 2:4b-24.  

          Manusia pertama itu dinamakan Adam (Kej. 5:1). Sesungguhnya Kitab Kejadian berbicara tidak sekedar mengenai sejarah seorang individu, melainkan mengenai sejarah umat manusia secara keseluruhan. Itu nyata dari nama Adam, yang berarti manusia. Bagi alam pikiran Semit, nenek moyang sebuah ras atau bangsa membawa dalam dirinya kolektivitas “dari semua orang yang telah diturunkannya”. Semua keturunannya sungguh-sungguh diungkapkan dalam dia; mereka tergabung dalam dia (bdk. “corporate personality”). Menurut Kej. 2, manusia tampil dalam Adam dengan tiga relasi hakiki: hubungannya (a) dengan Allah, (b) dengan alam, dan (c) dengan sesamanya.

(a) Manusia dan Penciptanya: Menurut paham filsafat Yunani kuno (paham gnosis), manusia adalah dewa yang terjatuh ke dalam materi, dan yang berusaha mengingat-ingat dunia surgawi. Menurut Kitab Kejadian Adam tidaklah demikian. Dia adalah makhluk bebas dengan hubungan tetap dan mendasar dengan Allah. Inilah yang ditunjukkan dengan asal-usulnya. Walaupun berasal dari debu tanah, ia tidak terbatas padanya. Keberadaannya tergantung pada nafas kehidupan yang dihembuskan Allah ke dalam dia. Dengan demikian dia menjadi jiwa yang hidup, yaitu seorang pribadi dan sekaligus tergantung pada Allah. Maka agama (hubungan kergantungan pada Allah) bukanlah suatu tambahan pada keberadaan kodratnya sebagai manusia. Sejak awal itu sudah merupakan bagian dari penciptaannya sendiri. Sia-sialah berbicara mengenai manusia tanpa hubungannya dengan Allah.

  Pada nafas, yang membentuk manusia hidup, Allah menggabungkan Sabda-Nya. Dan sabda pertama ini mengambil bentuk larangan: “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati” (Kej. 2:16-17). Dalam perjalanan keberadaannya manusia terus terikat pada Allah Penciptanya dengan ketaatan pada kehendak-Nya. Bagi manusia perintah ini tampak sebagai sebuah larangan, suatu pembatasan. Namun, sesungguhnya ini perlu untuk pemenuhannya. Ini membuat manusia mengerti bahwa dia bukanlah Allah, bahwa dia tergantung pada Allah yang memberi dia kehidupan: nafas ini yang menjiwai dia tanpa dia menyadarinya.

  Demikianlah, manusia dipersatukan pada Pencipta dengan hubungan ketergantungan vital dan mendasar, yang harus diungkapkan oleh kebebasannya dalam bentuk ketaatan. Hukum yang tertulis dalam hati manusia ini adalah suara batin. Melalui hati nurani inilah Allah yang hidup berbicara dengan makhluk-Nya.

  (b) Manusia dan Lingkungannya (Alam Semesta): Allah menempatkan manusia dalam sebuah taman yang baik dan indah (Kej. 2:8-9), untuk “mengusahakan dan memelihara taman itu” (2:15), sebagai pramugara atau khalifah-Nya. Ia menghendaki Adam menjalankan kontrol atas binatang-binatang dengan memberi mereka nama (2:19-20; bdk. 1:28-29). Dengan itu Allah menyatakan bahwa alam tidaklah untuk di-ilahi-kan, melainkan dikuasai dan dikendalikan. Tugas mengolah bumi tidak mengikut sesudah tugas ketaatan kepada Allah, melainkan terus-menerus merujuk kembali padanya. Artinya, manusia tidak boleh mengolah bumi secara semena-mena saja, melainkan menurut kehendak Allah. Kisah penciptaan pertama (Kej. 1:1-2:4a) menampilkan hal ini dengan caranya sendiri: hari ketujuh, hari istirahat, menandai batas pekerjaan manusia, karena pekerjaan yang dilakukan manusia dengan tangannya harus mencerminkan pekerjaan Sang Pencipta.  

            (c) Manusia dan Sesamanya dalam Masyarakat: Akhirnya, manusia adalah makhluk sosial berdasarkan kodratnya; ciri sosial bukanlah suatu kebajikan tambahan dari luar. Ini terungkapkan dalam istilah tubuh/daging. Menurut  alam pikiran Semit, manusia bukan hanya bertubuh, melainkan lebih-lebih adalah tubuh/daging. Tubuh/daging adalah manusia seutuhnya sejauh dalam wujud lahiriah, jasmani, duniawi. Daging/tubuh bukan ‘materi’ atau ‘bahan’ yang oleh unsur jiwa dijadikan diri manusia, sebagaimana pemahaman filsafat Yunani. Orang Semit menggunakan kata ‘tubuh/daging’ dalam arti sama dengan ‘jiwa’, yaitu dalam arti: pribadi (lih. mis. Mzm. 63:2; 84:3; Kis. 2:26) manusia serta ikatan-ikatannya (lih. mis. Roma. 11:14; Ibr. 12:9). Tanda pengenalan orang-orang yang terikat perkawinan bukanlah bahwa mereka sejiwa melainkan bahwa mereka sedaging/setubuh (Kej. 2:29; Mat. 19:5); pribadi manusia adalah insan yang sedalam-dalamnya ditentukan cirinya oleh daging/tubuh. Perbedaan hakiki pria-wanita merupakan sekaligus tipe dan sumber kehidupan dalam masyarakat, yang dibangun tidak atas dasar paksaan melainkan atas dasar cinta. Allah melihat relasi pria-wanita ini sebagai saling membantu satu sama lain. Dan sambil mengenal ungkapan dirinya dalam perempuan yang diberikan Allah kepadanya, pria siap mengambil risiko keluar dari dirinya sendiri, yang melandaskan cinta. Setiap pertemuan seseorang dengan sesamanya memiliki idealnya dalam relasi pertama ini. Sedemikian benarnya hal ini, bahwa Allah sendiri akan mengungkapkan perjanjian yang dibuat-Nya dengan umat-Nya dengan menggunakan gambaran suatu perkawinan (lih. mis. Yes. 54:5-7; Yer. 2:2; Yeh. 16:6-14).

          “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu” (Kej. 2:25). Makna ungkapan ini ialah bahwa hubungan sosial masih bersih dari bayang-bayang, karena persekutuan dengan Allah masih penuh bercahaya dengan kemuliaan. Dengan begitu, manusia tidak takut kepada Allah, dia berada dalam kedamaian dengan-Nya, dan berjalan-jalan sebagai seorang sahabat di dalam taman. Dia berada dalam keadaan dialog tak berselubung dengan pendampingnya, dengan hewan-hewan dan dengan seluruh ciptaan.

          (d) Menurut Gambar Allah: Kisah penciptaan tradisi imami (Kej. 1:1-2:4a) melanjutkan kisah Yahwis di atas dengan memperlihatkan bahwa penciptaan manusia adalah mahkota alam semesta dan dengan menunjuk pada maksud yang dimiliki Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita... Beranakcuculah ...Taklukkanlah bumi dan berkuasalah atas segala binatang” (Kej. 1:26-28). Diciptakan menurut citra Allah, manusia dapat masuk ke dalam dialog dengan Allah. Dia bukanlah Allah, tetapi hidup bergantung pada Allah dalam suatu relasi bagai antara anak dan bapanya (bdk. Kej. 5:3). Tetapi terdapat perbedaan ini, bahwa gambar tidak dapat berdiri sendiri tanpa tergantung pada dia yang harus dicerminkannya. Inilah arti dari kata nafas dalam kisah penciptaan. Manusia menjalankan perannya sebagai gambar dalam dua kegiatan utama: sebagai citra kebapaan ilahi, dia harus bertambah banyak dan memenuhi bumi; sebagai gambar kekuasaan ilahi, dia harus menaklukkan bumi. Manusia adalah tuan atas bumi; dia adalah “kehadiran” Allah di bumi.
    
02.(Citra Allah yang Dirusak oleh Dosa)            
          Kisah kejatuhan manusia (Kej. 3) intinya ialah bahwa manusia tidak tunduk kepada Allah; ia melepaskan ketergantungannya pada Allah, dan mau menjadi allah sendiri. Sebagai akibatnya, cita-cita asli penciptanya ditunggangbalikkan:

(a) Perpecahan dalam Keluarga Manusia: Hal pertama yang ditemukan Adam, si pendosa, ialah bahwa ia telanjang (3:7.11). Apa yang sampai saat itu hanya disimbolkan, menjadi pemisahan. Ketika ditanya Allah, Adam mempersalahkan isterinya dan dengan demikian menjauhkan diri daripadanya (3:12). Allah kemudian memberitahu mereka bahwa kesatuannya telah rusak; relasi mereka akan dikuasai oleh kekuatan insting, oleh iri hati dan dominasi; dan buah cinta mereka hanya akan diberikan kepada mereka dengan sangat kesakitan waktu melahirkan (3:16). Bab-bab selanjutnya Kitab Kejadian memperlihatkan betapa pemisahan pasutri pertama ini berpengaruh pada segala ikatan sosial; antara Kain dan Habel, orang bersaudara yang bermusuhan (Kej. 4), dan di kalangan penduduk Babel yang tak lagi saling mengerti satu sama lain (Kej. 11:1-9). Sejarah agama merupakan sebuah jaringan perpecahan, silih bergantinya perang antar suku dan bangsa, antara kelompok dalam bangsa sendiri, antar yang kaya dan yang miskin ...

(b) Alam Bermusuhan dengan Manusia: Akibat dosa Adam, untuk selanjutnya tanah menjadi terkutuk. Manusia akan memperoleh makanannya tidak lagi sebagai buah spontan bumi, melainkan sebagai hasil jerih payah dengan berpeluh (Kej. 3:17-19). Ciptaan lalu ditaklukkan kepada kesia-siaan (Rom. 8:20): ganti tunduk dengan rela, ia memberontak melawan manusia.

(c) Manusia Diserahkan kepada Kematian: “Engkau adalah debu, dan akan kembali menjadi debu” (Kej. 3:19). Ganti menerima kehidupan ilahi sebagai anugerah, Adam mau membuang hidupnya dan menjadi seorang allah dengan makan buah pohon terlarang. Melalui ketidaktaatan ini manusia menghancurkan sumber hidupnya. Kematian yang seharusnya hanya merupakan pengalihan begitu saja kepada Allah, kini tidak lagi berupa gejala kodrati semata. Kini menjadi fatal, menandakan penghukuman, kematian abadi. Ini juga ditandai dengan pengusiran dari taman Eden. Dengan menolak hukum batin, yang merupakan kehadiran Allah dalam dirinya, manusia diserahkan kepada dirinya sendiri, kepada otonominya yang salah. Sejarah mencatat kegagalan-kegagalan berulang kali dari orang-orang yang menyangka dapat menyamai Allah dan kemudian hanya berjumpa dengan kematian.

(d) Keterpecahan Suara Hati: Kenyataannya Hukum menunjukkan jalan ke keselamatan. Tetapi Hukum sendiri tidak dapat memberi keselamatan. Dengan demikian Hukum menciptakan dalam manusia suatu keterpecahan yang pada waktu yang satu dan sama mematikan dan menyelamatkan. Adam yang dipersatukan dalam persekutuan dengan Pencipta lari dari dirinya sendiri ketika dia lari dari Allah. Dia bersembunyi dari Dia yang memanggil dia (Kej. 3:10). Ketakutan ini, yang merupakan karikatur ketakutan sungguh-sungguh akan Allah, mudah menjalar. Ia menunjuk pada keterpecahan hati nurani.

Hanya orang yang sungguh utuh secara batiniah dapat mengendalikan dan menguasai keterpecahan mendalam ini. Paulus, yang diterangi oleh Roh, telah menyatakan ini. Dalam surat kepada umat di Roma, ia menjelaskan, “Aku” yang diserahkan kepada kuasa dosa, dan yang ada tanpa Roh yang tidak bisa tidak dibutuhkannya. Bagai seorang yang terpenggal kepalanya tetapi masih hidup, dia sadar akan kekalutannya: “Aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, melainkan apa yang aku benci” (Rom. 7:14-15).

03. (Dipulihkan dan Disempurnakan dalam         Kristus)
          Sebagai pendosa, Adam (baca: manusia) tidak dapat sepenuhnya menjadi sekali lagi apa adanya seperti pada awal mula: “menurut gambar Allah”. Tetapi dia ditirukan baru “menurut gambar Kristus”: tidak semata-mata sebagai Sabda, tetapi sebagai yang tersalib, penakluk kematian. Nilai-nilai yang terlihat dalam bab 2 Kitab Kejadian akan ditemukan lagi, kini dialihkan pada pribadi Kristus.

          (a) Ketaatan Iman kepada Yesus Kristus: Tidak lagi kepada Allah secara langsung manusia harus mengalamatkan ketaatannya dan penyembahannya, tidak terhadap Hukum yang diberikan karena belas kasihan terhadap manusia pendosa, melainkan kepada Dia yang telah datang mengambil rupa manusia (Rom. 10:5-13). Apa yang harus dilakukan hanyalah percaya kepada Dia yang telah diutus Allah (Yoh. 6:29). Karena “satu-satunya pengantara antara Allah dan manusia ialah manusia Yesus Kristus” (1 Tim. 2:5). Hanya ada satu Bapa yang kepada-Nya orang-orang beriman diantar agar mereka dapat memiliki hidup dalam kelimpahan dan untuk selamanya melalui Putera.

          (b) Keunggulan Kristus: Jika Yesus memberikan hidup Bapa, itu karena Dia adalah “awal, yang sulung diantara orang-orang mati... Allah berkenan tinggal di dalam Dia dengan segala kepenuhan, dan untuk memperdamaikan oleh Dia kepada Dia segala sesuatu melalui darah salib” (Kol. 1:18 dsl.). Pemisahan-pemisahan yang mempengaruhi umat manusia berdosa tidak diabaikan, tetapi itu semua selanjutnya diatasi dan ditempatkan dalam hubungan dengan ciptaan baru, menurut dimensi baru, berada dalam Kristus: “Tidak ada lagi orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28). Perbedaan antara pria dan wanita telah menjadi konflik; perceraian suami dan isteri menjalar ke perpecahan sosial dan rasial. Ketika menemukan kembali keutuhannya dalam Kristus, manusia dapat menguasai situasi manusiawi; kebebasan atau perhambaan, perkawinan atau keperawanan (1. Kor. 7), masing-masing mempunyai makna dan nilainya dalam Kristus Yesus.

          Kekacauan bahasa-bahasa yang melambangkan pemisahan dan perpecahan manusia diatasi oleh bahasa Roh yang diberikan secara pasti oleh Kristus. Belas kasih ini mengungkapkan diri melalui beragam kharisma untuk kemuliaan Bapa.  

          (c) Manusia Baru: Manusia baru itu adalah pertama-tama Kristus secara pribadi (Ef. 2:15), tetapi juga setiap orang yang percaya dalam Tuhan Yesus. Keberadaannya tidak lagi tunduk kepada daging. Itu adalah kemenangan berkelanjutan oleh roh atas daging (Gal. 5:16-25; Rom. 8:5-13). Dipersatukan dengan Dia yang mengambil “tubuh jasmani” (Kol. 1:22), dan mengambil bagian dalam baptisan ke dalam kematian Kristus (Rom. 6:5 dsl.), tubuh orang Kristiani mati terhadap dosa (Rom. 8:10). Tubuhnya yang hina akan menjadi tubuh yang mulia (Flp. 3:21), “tubuh rohani” (1 Kor. 15:44). Pemahamannya diperbaharui dan diubah (Rom. 12:2; Ef. 4:23); ia tahu bagaimana menilai (Rom. 14:5) dalam terang Roh. Bukankah dia memiliki pikiran Kristus (1 Kor. 2:16)? Jika manusia tidak lagi makhluk fana belaka, karena iman telah menanam dalam hatinya bibit keabadian, dia masih harus terus-menerus mati terhadap “manusia lama” dalam kesatuan dengan Yesus Kristus yang sekali mati untuk semua orang. Hidupnya adalah hidup yang baru. Demikianlah karena bagi kita tak ada selubung yang menutupi wajah, kita semua bagai dalam cermin memantulkan kemuliaan Tuhan. Kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar. Demikianlah pengaruh Tuhan yang adalah Roh (2 Kor. 3:18). Manusia baru harus selalu bertumbuh dengan membiarkan dirinya dikuasai oleh gambar unik, yaitu Kristus. Melalui gambar manusia lama yang rusak muncullah gambar manusia baru yang semakin baik dan mulia, Yesus Kristus Tuhan kita. Dengan cara ini manusia “dijadikan lagi menurut gambar Penciptanya” (Kol. 3:9 dsl.).

          (d) Ciptaan, yang kendati takluk kepada kesia-siaan dan sampai hari ini sama-sama mengeluh dan sama-sama merasa sakit bersalin, masih memiliki pengharapan akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan, untuk masuk ke dalam kemerdekaan kemuliaan anak-anak Allah. Jika, karena dosa, pekerjaan tetap merupakan beban, ia telah diberi nilai baru dengan pengharapan akan diubah ke dalam kemuliaan akhir (Rom. 8:18-30). Dan ketika musuh terakhir, yaitu maut, dihancurkan, Putera akan menyerahkan kembali kerajaan-Nya kepada Allah Bapa dan dengan demikian Allah menjadi semua di dalam semua (1 Kor. 15:24-28).    
         
04. (Tanggung jawab Kristiani)
          Kitab Suci menampilkan kisah kegagalan manusia melaksanakan tanggungjawabnya seturut jati dirinya yang asli, sebagai citra atau gambar Allah. Ia gagal menjalankan kewajibannya sebagai citra Allah dalam tiga dimensi dasarnya: tanggung jawab terhadap Allah, Penciptanya, tanggung jawab terhadap sesamanya; dan tanggung jawab terhadap alam semesta. Dan dengan itu mulailah sejarah kemalangan manusia. Tetapi Allah tidak pernah meninggalkan manusia sama sekali. Akhirnya Dia mengutus Putera-Nya yang Tunggal untuk memulihkan dan menyempurnakan citra Allah yang telah dirusak oleh dosa: Yesus Kristus, Dialah Adam baru, gambar Allah yang sempurna. Sebagai orang-orang yang beriman kepada Yesus Kristus, manusia Kristiani harus bertanggungjawab berdasarkan dan berpolakan Yesus Kristus.

          (a) Dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang” (Rom. 5:12): Kisah dosa Adam (Kej. 3) diceritakan sebagai jawaban terhadap pertanyaan mendasar ini: siapa bertanggungjawab atas kematian dan fakta kehidupan manusia yang penuh kesulitan? Paulus memberi jawaban ini: yang bertanggungjawab bukan Allah, melainkan tindakan manusia yang memberi kendali bebas kepada kekuatan dosa supra manusiawi. Tindakan ini sebagiannya tetapi secara riil bertanggungjawab atas kehadiran kejahatan di dunia.

          Tetapi jawaban ini mengejutkan. Bagi agama-agama besar di luar Israel kejahatan itu seusia dewa-dewi. Kejahatan itu bersumber dari dewa-dewi dan menjalar kepada manusia. Maka baik manusia maupun dewa-dewi bertanggungjawab dan sekaligus tidak bertanggungjawab. Mereka semua adalah apa adanya, campuran dengan kadar berbeda kebaikan dan kejahatan. Di lain pihak, ketika Kitab Suci menyatakan bahwa Allah itu baik, bahwa penciptaan itu baik, dan bahwa kejahatan muncul sesudah penciptaan, ia meletakkan tanggung jawab atas kejahatan pada kebebasan (manusia) tercipta.

          Tanggung jawab ini melampaui takaran manusiawi. Kisah Kitab Suci menyadari hal ini ketika ia berbicara mengenai dosa si Penggoda. Tetapi Kitab Suci juga tahu bahwa dalam kondisi berdosa, juga kalau terlalu dibebani oleh tanggungjawabnya, manusia tidak dapat sama sekali mengelak dari tanggung jawab. Dalam halaman-halaman Kitab Suci setiap pendosa dapat melihat nasib buruk akibat dosa-dosanya, yang dia sendiri tidak kehendaki. Dan sekaligus juga dia dapat melihat gambaran tepat kesalahan-kesalahannya, suatu campur baur antara kelemahan (bdk. daging) dan kejahatan. Di sana juga dia dapat menyaksikan porsi tanggungjawabnya atas keburukan di dunia ini.

          (b) Justru oleh Hukum Taurat aku telah mengenal dosa itu apa” (Rom. 7:7): Bagi orang Yahudi hukum Taurat adalah ‘pendidik’ yang diberikan oleh Allah (Gal. 3:24). Ia menciptakan di Israel rasa tanggung jawab yang mendalam. Ketika ia menegaskan: “engkau harus buat ini ... engkau tidak boleh buat itu...”, ia membawa setiap orang Yahudi berhadap-hadapan dengan tanggungjawabnya, dan menunjukkan padanya bahwa ia berada dalam posisi menerima tanggung jawab itu. Dengan memberi ruang bagi situasi-situasi yang berbeda-beda dan pengaruh tujuan-tujuan, hukum Taurat mempertajam suara hatinya. Dengan menunjukkan bahwa Allah menghendaki yang baik dan menghukum yang jahat, ia memberi nilai tertentu pada tindakan-tindakannya. Dan dengan menggabungkan hukum Taurat dengan Perjanjian, ia membawa seluruh kehidupan ke dalam pilihan berpihak pada Allah atau melawan Allah.

          (c) “Ketahuilah apa yang telah kaulakukan” (Yer. 2:23): Para nabi diutus untuk menyampaikan secara konkrit apa yang dimaklumkan hukum Taurat secara umum kepada sejumlah penguasa yang lalai atau kepada rakyat yang kecewa karena kenyataan tidak sesuai dengan harapan mereka; juga untuk menyadarkan mereka atas tanggungjawabnya. Hampir selalu, mulai dari Samuel dan Nathan (1 Sam 3:13 dsl.; 2 Sam. 12:10 dsl.) sampai pada pewaris terakhir Yesaya (Yes. 59:8 dsl.), pada waktu-waktu kemalangan, baik yang sudah sedang berlangsung maupun yang masih diperkirakan, para nabi tampil ke depan: “karena kamu telah berbuat kejahatan sedemikian, kemalangan sedemikian telah menimpa kamu pula ...”. Setiap bencana nasional menjadi suatu kesempatan bagi mereka untuk meneliti secara lebih cermat tanggung jawab bangsa.

          Malapetaka paling besar, yaitu pembuangan, adalah sebuah penemuan menentukan bagi Yehezkiel. Israel telah hancur karena ia telah gagal dalam tanggungjawabnya, tetapi segala sesuatunya tetap mungkin bagi setiap individu Israel. Terserah kepada masing-masing untuk menerima tanggungjawabnya dan untuk memilih antara hidup atau mati: “Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya” (Yeh. 18:20).

          (d) “Aku telah berdosa terhadap Engkau” (Mzm. 51:6): Pengakuan akan dosa, dalam bentuknya yang terdapat di Kitab Suci, yang menggemakan hukum Taurat dan nabi-nabi, merupakan tanda pengakuan tanggung jawab. Ia tidak mencoba menyusun daftar kesalahan-kesalahan atau menyebutkan satu demi satu jumlah maksimum dosa-dosa, demi untuk meyakinkan tak ada yang dihilangkan. Ia mengedepankan keadilan Allah dan ketidakadilan manusia berhadap-hadapan (Yes. 59:9-14; Dan. 3:27-31; Mzm. 51:6). Ini demikian bukan saja agar hukuman yang diterima dapat diakui sebagai selayaknya, melainkan, dari sudut pandang yang lebih dalam, agar beban kesalahan tinggal pada si pendosa dan agar dapat dibuktikan Allah tidak bersalah: “padaMulah, ya Tuhan, keadilan, pada kami rasa malu” (Dan. 9:7; Bar. 1:15). Dan dengan demikian doa penyesalan menemukan lagi intuisi jelas pada kisah asli: Allah itu baik dan pendosalah yang bertanggungjawab atas kejahatan.

          Persoalannya, orang-orang dewasa ini tampaknya tak mudah lagi merasa bersalah. Dan itu pertanda kematian suara hati!

          (e) Berdasarkan dan Berpolakan Yesus Kristus: Perintah Yesus, “Haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna” (Mat. 5:48) kiranya merupakan konsekwensi seharusnya dari ajaran tentang manusia sebagai gambar Allah (lih. 1 Kor. 11:7; Yak. 3:9). Tetapi gambar Allah yang sempurna ialah Yesus Kristus. Maka manusia, sebagai gambar yang tak sempurna dan berdosa, membutuhkan gambar sempurna Kristus untuk memperoleh kembali dan menyempurnakan jatidiri aslinya. Setelah memaknai rupa Adam duniawi, apa yang dia harus buat sekarang ialah memakai rupa Adam surgawi (bdk. 1 Kor. 15:49). Antara kedua “rupa” ini, yang disatukan dalam rencana ilahi yang satu dan sama (bdk. Rom. 8:29; Ef. 1:3-14), terdapat mata rantai tersembunyi, retakan yang disebabkan oleh dosa dan kemajuan dinamis. Dinamisme ini dapat dilihat juga dan terutama pada orang Kristiani: dari sekarang dan seterusnya dia telah dipersatukan dengan Kristus (Rom. 6:3-6; Kol. 3:10) dan dengan demikian dia menjadi anak Allah (1 Yoh. 3:2). Lalu, di bawah tindakan Allah, ia diubah dari kemuliaan ke kemuliaan dalam rupa Putera, yang sulung dari banyak saudara (2 Kor. 3:18; Rom. 8:29). Tujuan dari proses pemuliaan ini ialah kebangkitan, yang memperkenankan orang Kristiani memakai sekali untuk selamanya gambar Adam surgawi (1 Kor. 15:49) dan “akan mengubah tubuh kita yang hina ini, sehingga serupa dengan tubuh-Nya yang mulia” (Flp. 3:21).

          Itulah pada prinsipnya panggilan hidup Kristiani: menemukan jatidiri aslinya dalam Yesus Kristus, yang sebagai Adam baru adalah gambaran Allah yang sempurna. Sedemikian itu maka manusia Kristiani harus mewujudkan dan menghayati hidupnya secara bertanggungjawab menurut pola Yesus Kristus. Bagaimanakah Yesus Kristus mengaktualisasikan diri dalam tiga dimensi dasar sebagai Gambar Allah: hubungan-Nya dengan Allah, Bapa-Nya, hubungan-Nya dengan sesama (manusia lain), dan hubungan-Nya dengan alam semesta?           

          Yesus memasrahkan diri seutuhnya kepada Allah, Bapa-Nya. Kedekatan Yesus dengan Bapa sudah mulai tampak ketika Ia masih remaja. Ketika pada usia 12 tahun Ia tertinggal di Bait Allah dan kemudian diketemukan kembali di sana oleh orang tua-Nya, Ia berkata: “Tidakkah kamu tahu bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?” (Luk. 2:49). Dalam hidup-Nya di depan umum, di tengah kesibukan-Nya yang luar biasa dalam mewartakan kerajaan Allah, pada malam hari atau pagi-pagi buta, demikian kita baca dalam Injil, Ia mengundurkan diri ke tempat sunyi di puncak bukit atau di bawah rerindang pohon-pohon Zaitun. Untuk apa? Untuk berdoa, berkomunikasi dengan Bapa. Ia menegaskan: “Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya” (Yoh. 4:34). Di taman Getsemani, menjelang Dia ditangkap, Ia mengungkapkan kepasrahan total itu dalam bentuk doa: “Bapa, jikalau Engkau mau, ambillah cawan ini daripadaKu; tetapi bukanlah kehendakKu, melainkan kehendakMulah yang terjadi” (Luk. 22:42). Dan sebelum menghembuskan nafas terakhir di atas salib, Ia berseru: “Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawaKu” (Luk. 23:46).

          Menyangkut hubungan-Nya dengan sesama dapat dirumuskan secara singkat, bahwa Dia adalah seorang untuk orang lain. Hati-Nya mudah tergerak melihat penderitaan orang lain. Ia menyembuhkan orang yang sakit, baik jasmani maupun rohani (menyembuhkan orang yang kerasukan roh jahat). Ia memberi makan kepada orang yang lapar. Ia mendobrak pengkotak-kotakan sosial, dekat dengan mereka yang dipinggirkan dalam masyarakat, seperti para pemungut cukai dan para pelacur. Ia merombak tradisi bangsa-Nya dengan menerima kaum perempuan menjadi pengikut-Nya (lih. mis. Luk. 8:1-3). Ia mengajarkan untuk mengasihi tidak hanya sahabat, melainkan juga musuh kita dan berdoa untuk mereka yang menganiaya kita (Mat. 5:44). Ia menegaskan: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Dan itulah yang Dia buat sampai titik akhir di atas salib.

          Tentang hubungan-Nya dengan kosmos (alam semesta), Injil Yohanes (khususnya prolog: 1:1-18) dan surat-surat Paulus (khususnya Kol. 1:13-2:15; Rom. 8:18-25; Flp. 2:5-11; dan Ef. 1:9-10.22-23) menampilkan paham bahwa dalam Kristus alam dipersonalisasikan. Dalam Perjanjian Lama, Allah pada umumnya dipahami sebagai transenden secara mutlak dan dunia sebagai tidak-ilahi. De-divinisasi alam semesta ini merupakan premis dasar, atau prasyarat utama, untuk teknologi dan kemajuan politik dan sosial. Namun, pada dirinya sendiri de-divinisasi cenderung membawa ke de-personalisasi. Ketika alam semesta di-de divinisasi-kan, ada tendensi untuk men-depersonalisasi-kannya. Kecenderungan ini diatasi dalam Perjanjian Baru. Dalam teologi Yohanes dan Paulus, transendensi Allah tetap ditekankan, namun sekarang Dia juga dipahami sebagai imamanen pada dunia dalam Yesus, dan dunia dimengerti secara personalistik, sebagai yang dipersonalisasikan dalam Kristus. Personalisasi dunia dalam Yesus Kristus ini khususnya nampak dalam tulisan-tulisan Paulus. Paulus menampilkan relasi organis antara Kristus dan seluruh alam semesta. Ia mengajarkan paham yang sama yang ditemukan dalam injil Yohanes, yaitu bahwa segala sesuatu diciptakan dan ada dalam Kristus. Namun sudut pandang dan teologi Yohanes dan Paulus tidak sama. Yohanes menjelaskan pemenuhan progresif kosmos melalui jawaban iman manusia kepada Sabda Allah. Teologi Yohanes dikembangkan dalam kerangka metafor besar sabda, dialog dan relasi antar pribadi (melalui) bahasa, kata-kata yang diucapkan dan yang terhadapnya seseorang menjawab. Paulus, di pihak lain, mengajukan pemenuhan progresif kosmos melalui inkorporasi segala sesuatu ke dalam Kristus. Teologinya tentang Kristus dan dunia dibahas dalam kerangka relasi dengan Kristus dari segala sesuatu yang ada. Demikianlah, ajaran personalisasi alam dalam Kristus menjadi landasan kuat bagi tanggung jawab manusia Kristiani terhadap pemeliharaan lingkungan hidup (ekologi). Manusia Kristiani tidak boleh memperlakukan alam bagai tambang yang boleh dikuras habis, melainkan sebagai sebuah taman yang harus dirawat, dipelihara.

          Agar manusia Kristiani dapat semakin menemukan dan mewujudkan jatidiri aslinya dalam Yesus Kristus, maka ia harus semakin lebih mengenal siapa Yesus Kristus itu. Dan satu-satunya sumber asli yang kita miliki mengenai Yesus Kristus ialah Kitab Suci. Maka tak ada jalan lain untuk dapat lebih mengenal Yesus Kristus selain membaca, membaca dan membaca lagi Kitab Suci, khususnya Perjanjian Baru! Memang harus diakui membaca Kitab Suci itu tidak mudah. Untuk membantu umat, telah diupayakan mengadakan kursus-kursus Kitab Suci di pelbagai tempat dalam wilayah Keuskupan kita. Tetapi konon kursus-kursus atau pertemuan-pertemuan semacam itu sangat minim pesertanya. Itu sungguh memprihatinkan!

          Selanjutnya, selain Kitab Suci, Gereja Katolik juga mengakui sumber kedua: tradisi. Sepanjang usianya yang sudah lebih 2000 tahun, pada setiap zaman “Gereja selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam terang Injil” (GS,4). Upaya besar terakhir dalam hal ini yang dilaksanakan Gereja ialah melalui Konsili Vatikan II, yang menghasilkan 16 dokumen resmi (4 konstitusi, 9 dekrit, dan 3 deklarasi). Sebagai hasil resmi upaya Gereja untuk mengaktualisasikan pesan-pesan Injil Yesus Kristus dalam dunia dewasa ini, hasil-hasil ini perlu diketahui oleh segenap anggota Gereja. Maka di satu dua tempat telah dimulai kursus teologi, khususnya teologi tentang Gereja (eklesiologi). Tetapi konon nasibnya sama dengan kursus Kitab Suci: peminatnya sangat kurang.

05. (Dalam Konteks Sinode Diosesan 2012)
          Sementara itu waktu pelaksanaan Sinode Diosesan kita, yang diselenggarakan dalam rangka yubileum 75 tahun Gereja lokal KAMS dan 75 tahun CICM berkarya di Indonesia, semakin mendekat: 27-31 Mei 2012. Momen bersejarah, HUT ke-75 itu, ingin dijadikan kairos, mau dibuat lebih bermakna, dengan mengadakan Sinode Diosesan. Tema yang dipilih: “Ia (Yesus Kristus) menjadikan segala-galanya baik” (Mrk. 7:37). Misi ini harus dilanjutkan oleh Gereja lokal KAMS dalam ke-3 dimensi dasar yang sudah diuraikan di atas (hubungan dengan Tuhan, dengan sesama/masyarakat, dan dengan alam/lingkungan) dalam konteks “tanda-tanda zaman” Sulselrabar kini, sambil memandang ke depan. Kita berharap, melalui Sinode Diosesan, yubileum 75 tahun membawa visi dan semangat baru bagi Gereja lokal KAMS untuk berlayar lebih mantap ke depan. Tuhan memberkati!

Makassar, Medio Februari 2012
+ John Liku-Ada’ 
Uskup Agung Makassar

PERATURAN PUASA DAN PANTANG:

1.      Masa Prapaskah mulai pada HARI RABU ABU tanggal 22 Februari 2012 dan berjalan sampai Pesta Paskah tanggal 8 April 2012.

2.      Seluruh Masa Prapaskah adalah waktu bertapa. Karena itu diharapkan dari masing-masing agar selama Masa Prapaskah dengan kesadaran dan kerelaan melakukan pekerjaan amal dan tapa menurut pilihan masing-masing, selain yang diwajibkan di bawah ini.

3.      Secara khusus diminta perhatian untuk AKSI PUASA PEMBANGUNAN (APP), yang dimaksudkan mengumpulkan dana, yang diperoleh dari usaha-usaha penghematan / berpantang. Dana itu diperuntukkan karya-karya sosial, termasuk usaha-usaha pengembangan Komunitas Basis dan pemberdayaan lingkungan. Baiklah disampaikan di sini bahwa dibandingkan dengan Keuskupan-Keuskupan lain, Keuskupan kita hasil APP-nya termasuk kecil. Kita harapkan dari tahun ke tahun ada peningkatan.

4.      Di samping itu selama Masa Prapaskah kita wajib berpuasa dan berpantang menurut peraturan berikut:
a.           Pada Hari Rabu Abu dan Jumat Agung ada kewajiban berpuasa dan berpantang.
b.           Pada hari-hari Jumat Biasa dalam Masa Prapaskah hanya ada kewajiban berpantang.
c.           Berpuasa berarti mengurangi makan, sehingga hanya satu kali saja boleh makan kenyang dalam sehari.
Kewajiban untuk berpuasa ini berlaku bagi mereka yang berumur antara 18 sampai 60 tahun.
d.           Berpantang berarti mengurangi makanan mewah sesuai dengan penilaian daerah masing-masing, misalnya berpantang dari daging.
Secara perorangan dapat pula menentukan wujud berpantang menurut keadaan masing-masing, misalnya berpantang dari berjajan makanan khusus, dari minuman keras, dari rokok, dll.
Kewajiban berpantang berlaku bagi mereka yang berusia 14 tahun ke atas.

5.      Mereka yang mendapat makanan dari dapur umum, atau yang hidup di tengah keluarga yang seluruhnya belum Katolik, bebas dari wajib pantang, tetapi tidak bebas dari wajib puasa.

6.      Kewajiban Paskah, yaitu kewajiban untuk menyambut komuni (dan kalau perlu sebelumnya mengaku dosa) dapat dipenuhi dari Hari Rabu Abu tanggal 22 Februari 2012 sampai Hari Raya Tritunggal Mahakudus, 3 Juni 2012.


††††††††