Selasa, 17 Juli 2012

Character Building and Personality Plus

Itulah judul kegiatan yang dihelat STIKPAR Toraja dalam kerja sama dengan IKAR-STIKPAR FRENZ dari Jakarta. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 23-24 Maret 2012 di kompleks pastoran Tamba’narang. Mau tahu serunya?
“Angin Timur… angin Barat….!” begitu terdengar suara Mas Sriyono, seorang fasilitator. Peserta pun menggerakkan badan berlawanan dengan arah angin yang diucapkan sang fasilitator. Itulah ice breaking mengawali program Character Building and Personality Plus. Tempik sorak dan tawa ria para peserta terdengar. Halaman gereja stasi Tamba’narang jadi riuh seketika. Dengan balutan seragam training STIKPAR Toraja, para peserta mengikuti setiap instruksi fasilitator.
Pagi itu, sinar mentari merekah di ufuk timur. Hangatnya menyelimuti raga para peserta. Langit cerah dan udara segar pegunungan amat terasa. Hijau rerimbunan pohon di sekitar pastoran Tamba’narang menebar rona kesegaran. Embun di daun rerumputan terkoyak karena disentuh kaki para peserta yang bersepatu kets. Pagi itu begitu seru.
Dengan dukungan alam nan bersahabat, program Character Building and Personality Plus dimulai. Fasilitator yang adalah anggota IKAR-STIKPAR Frenz dari Jakarta dan rekan-rekannya full of spirit sehingga memicu semangat para peserta. Pak Rony Tulak menambah keakraban peserta dengan fasilitator. Gemuruh suara peserta terdengar lagi saat ia mulai memperkenalkan masing-masing fasilitator. “Ya, itu mantan pacar saya. Dulu dia yang ngejar-ngejar saya!” Spontan peserta berteriak riuh. Tepuk tangan pun bersambut. Tidak mau kalah, sang istri menimpali, “Nobody trust you!” sekali lagi peserta bertepuk tangan.

Fasilitator dari Jakarta
Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 23-24 Maret 2012 itu diikuti dengan penuh antusias oleh seluruh peserta. Tercatat ada 87 peserta, 83 mahasiswa, 2 staf (tenaga kependidikan) dan 2 dosen (tenaga pengajar) STIKPAR Toraja. Sedangkan fasilitator dari Jakarta berjumlah 13 orang (Rony Tulak, Mika Andin, Barto Tangdibali, Victor Ada’, Wens Panggalo, Daniel Tampang, Paul Tanditasik, Yaya Sunarya, Sriyono, Wiwid, Lince, Jery, Ratna, Helmi). Ada catatan historis, yakni 3 fasilitator (Yaya, Sriyono dan Wiwid) muslim. Namun hati mereka tulus untuk berbagi dengan STIKPAR Toraja. Ini sebuah persaudaraan tulus. Kemudian dari STIKPAR Toraja ada fasilitator lokal yang berjumlah 3 orang, yakni Antonius, Pastor Sem dan Pastor Made.
Sedikit tentang IKAR-STIKPAR FRENZ. Komunitas IKAR-STIKPAR FRENZ merupakan beberapa profesional dan pengusaha muda Toraja asal Jakarta yang mempunyai komitmen untuk “berbuat” sesuatu bagi pengembangan dan kemajuan Toraja, khususnya kontribusi konkret bagi kemajuan Gereja Katolik di Toraja. Salah satu entry point-nya adalah STIKPAR Toraja. Mengapa? STIKPAR Toraja adalah satu-satunya lembaga pendidikan tinggi yang fokus di bidang kateketik dan pastoral di wilayah KAMS. STIKPAR Toraja mendidik dan mempersiapkan tenaga-tenaga katekis dan pelayan pastoral yang akan berkarya di tengah umat dan masyarakat. Oleh karena itu, mereka perlu dibekali berbagai macam ilmu dan keterampilan. Salah satunya adalah soft-skill dalam bentuk pengembangan kepribadian sehingga lepas dari mental block (hambatan mental) seperti sikap minder, inferior, malu dan merasa serba tidak mampu. Dengan mengikuti program tersebut, mereka diharapkan semakin berkembang, lepas dari ‘kerangkeng pembatasan diri’, dewasa dan akhirnya mempunyai kepribadian yang unggul (personality plus).

Games, Outbond, Film dan Art Performance
Program itu dilaksanakan dengan pola outbond dan games. Outbond dan games membuka arena lepas bebas bagi setiap peserta untuk mengekspresikan diri. Tidak ada lagi “topeng” atau kamuflase. Setiap peserta mendapat kesempatan emas tersebut. Setiap peserta berbicara, berkomunikasi, bekerja sama dan mengambil keputusan atas ‘kasus’ yang dihadapi kelompoknya.
Dinamika kegiatan itu disajikan dalam sejumlah bentuk outbond. Tahap pertama, fasilitator melakukan ice breaking (arah angin, simpul naga, tupai kebakaran, hitungan 1 2, 3), pembagian grup dengan nama binatang (anjing, gajah, bebek, kerbau), dilanjutkan dengan pillow in the wind, bola pingpong masuk celana, karpet Aladin dan bambu bolong.  Setelah itu break dan peserta bisa menikmati teh atau kopi Toraja serta sepotong penganan.
Sesudah rehat, peserta dipandu untuk berkumpul di aula untuk menyimak sebuah film berjudul “Men of Honor”. Film tersebut amat inspiratif dan match dengan seluruh kegiatan outdoor yang baru saja dilakukan peserta. Maka setelah episode pertama diputar, peserta diberikan kesempatan untuk berbagi refleksi dan inspirasi dari film tersebut. Peserta begitu antusias mengacungkan tangan ketika diberikan kesempatan ber-sharing. “Jangan menjadi seperti saya (tokoh: ayah, seorang petani kulit hitam). Kamu harus bersekolah!” begitu pesan seorang ayah terhadap anaknya dalam film tersebut. Pesan sang ayah itu menginspirasi salah seorang peserta. Ia pun berkata, “Saya terkesan dengan perkataan sang Bapak dalam film tadi. Saya berjuang untuk terus bersekolah. Dari delapan bersaudara, baru saya yang duduk di bangku perguruan tinggi.” Itu sepenggal sharing salah seorang peserta.
Setelah episode kedua diputar, peserta pun diberikan kesempatan untuk sharing lagi. Ada seorang peserta terinspirasi dengan perkataan salah seorang tokoh dalam film itu, “Pria yang kunikahi tidak pernah menyerah pada apapun!” Begitu pernyataan sang istri ketika menyaksikan sang suami berhasil dalam tes kenaikan pangkat.
Aktor utama film “Men of Honor” adalah seorang pria, anggota Marinir Amerika Serikat. Dalam keadaan cacat (kaki diamputasi), ia berjuang keras untuk membela kehormatan korpsnya. Dengan kaki cacat, ia mampu memperagakan alat selam terbaru seberat 290 pon dan harus berjalan 10 langkah. Sebuah keputusan penuh risiko. Demi kehormatan, ia berjuang dan sukses. Nama sang marinir tersebut adalah Carl Bashear. Para peserta menimba inspirasi untuk meraih sukses; kelemahan dan keterbatasan bukan hambatan. “Kalau orang cacat saja bisa sukses dalam hidupnya, apalagi kita yang sehat dan normal. Percaya, kita bisa sukses.” Itulah refleksi yang mereka petik.
Kemampuan fasilitator pun sangat mumpuni (handal). Mereka sanggup membakar semangat dan motivasi seluruh peserta. Meskipun mereka berasal dari berbagai macam latar belakang profesi (tenaga profesional BPPT, profesional di bidang penerbitan, pengembangan batik Toraja, tenaga profesional perusahaan susu, tenaga profesional agen asuransi, dan sejumlah bidang lain), tetapi mereka kompak dan mampu menebar motivasi. Sebuah tim fasilitator yang patut diacungi jempol.
 Dengan atmosfer yang diciptakan oleh para fasilitator, animo peserta sangat tinggi untuk mengikuti setiap kegiatan. Setelah menikmati makan siang, kegiatan dilanjutkan lagi. Fasilitator telah menyiapkan tiga tantangan, yakni barongsai, penyapu ranjau dan radio aktif.
Enam kelompok yakni kelompok merah, hijau, orange, biru, hitam dan kuning mulai beraksi. Semua melebur. Tidak ada lagi jarak antara mahasiswa, staf dan dosen. Semua terlibat aktif dan beraktivitas di bawah terik matahari. Keringat bercucuran. Panas terik matahari tidak menyurutkan semangat mereka. Mereka berjibaku, saling menopang dan bahu-membahu mengatasi setiap tantangan yang harus diatasi. Ada kelompok yang berhasil mengatasi tantangan karena komunikasi yang baik, langkah-langkah kerja terorganisir dan strategi yang jitu serta mempunyai seorang leader. Ada pula kelompok yang berkutat dengan perdebatan atau strateginya yang mleset. Akhirnya mereka gagal dan pencapaiannya rendah.
Setelah semua kelompok menyelesaikan misi untuk mengatasi setiap tantangan, semua berkumpul di halaman gereja stasi Tamba’narang. Mereka mengikuti integrated games. Fasilitator memberikan instruksi. Mereka masing-masing mendapat sepotong kain. Dengan kain itu, mereka diminta menutup mata. Setelah mata tertutup, mereka diberikan seutas tali. “Buat formasi bujur sangkar!” begitu bunyi instruksi fasilitator. Mereka pun bergerak. Karena tanpa penglihatan, mereka bergerak ke sana ke mari tanpa bentuk yang jelas. Setelah semua menyatakan siap, maka masing-masing melepaskan tali dan meletakkannya di tanah. Setelah itu mereka diminta membuka mata. Tak satu pun kelompok yang berhasil membuat formasi bujur sangkar. Ternyata tanpa komunikasi yang jelas dan hanya mengandalkan intuisi, tak ada yang jadi.
Integrated games pun berakhir. Lalu peserta bergegas ke tempat minum. Teh dan kopi pun disruput disertai sepotong pisang rebus. Nikmat dan lahap! Kemudian peserta melakukan MCK dan bersiap mengikuti ibadat Jalan Salib. Setelah itu, dengan waktu yang amat singkat, mereka menyiapkan satu tampilan acara untuk acara yang bertajuk “Art Performance”.
 Setelah “mengisi kampung tengah” (makan), mereka bersiap tampil di seputar api unggun yang menerangi halaman aula Tamba’narang. “Luar biasa!” begitu kesan salah seorang juri. “Kalian bisa menampilkan sesuatu yang menarik dan unik dengan persiapan yang amat singkat,” demikian ujarnya lebih lanjut.
Patut diapresiasi penampilan setiap kelompok. Ada yang mendapat bagian untuk menampilkan tarian, lawak, puisi, drama, musik dan lagu, serta pantomim. Masing-masing kelompok menampilkan suguhan yang terbaik. Namanya kompetisi, harus ada yang tampil sebagai pemenang. Seusai kontes, tim juri mendaulat Kelompok Gajah sebagai pemenang. Tepuk tangan dan gemuruh celotehan pun membahana. Acara hari pertama pun ditutup dengan refleksi “api” yang dibawakan oleh Mika Andin. Para peserta diajak terus-menerus menyulut api “kehidupan” itu agar selalu berkobar.

Manusia Unggul
Keesokan harinya, para peserta bangun jam 6.00 WITA. Hari baru dibuka dengan jogging. Ada senam samurai, ada senam bebas dan ada poco-poco. Pada lima belas menit terakhir, pecinta bola masih mendapat kesempatan beradu skill untuk menggiring si kulit bundar. Gol pun tercipta pada menit ke-7. Gol berbalas gol. Hasil imbang untuk kedua tim yang berlaga pagi itu. Paling membanggakan, keringat pun bercucuran dan tubuh para pemain tampak bugar.
Bermodal tubuh bugar, peserta segera mandi lalu sarapan. Kegiatan indoor sudah menanti. Kegiatan dimulai dengan ice breaking yang dipandu oleh Victor Ada’. Asyik! Semua lepas. Semua menyanyi dan berjoged. “Tiru, tiru, tiru kan saya,” begitu isi nyanyiannya. Semua kompak meniru gerak-gerik salah seorang figur sentral yang ekspresif di tengah lingkaran peserta. Setiap kali, figur sentral tersebut menunjuk peserta lain. Gerak dan lagu makin seruuuu…!
Kemudian fasilitator menyajikan materi dengan topik “Aku manusia unggul” dan “Aku insan luar biasa”. Seperti hari pertama, hari kedua pun peserta tetap antusias. Daniel Tampang dan Paul bergantian memberikan sharing dan materi yang menghipnotis peserta. Semua pro-aktif dan tampak serius mengikuti setiap bagian yang diuraikan fasilitator.
Pada penghujung kegiatan ini, tampil seorang pemuda gagah. Dialah Mika Andin. Ia mengajak peserta untuk berdiri dalam formasi melingkar. Ia memberikan refleksi yang intinya: jadi manusia sukses dengan campur tangan Tuhan. “Jangan bawa rencanamu ke hadapan Tuhan, lalu minta Tuhan tanda-tangani. Tetapi minta Tuhan menerangi pikiranmu untuk merencanakan sesuatu sehingga rencana itu menjadi rencana Tuhan bagimu.”
Tampak peserta menyimak dengan baik. Ada momen hening untuk meresapkan butir-butir refleksi tersebut. Setelah itu, ada pengumuman dari STIKPAR FRENZ untuk dua peserta unggulan, satu putra dan satu putri. Dengan lima kriteria (leadership, sikap proaktif-inisiatif, kemampuan berkomunikasi, team-work dan kontribusi bagi kelompok), fasilitator STIKPAR FRENZ menjatuhkan pilihan pada Maya Bida (wakil putri) dan Yohanis Rimma’ (wakil putra).
Kedua peserta tersebut mendapat apresiasi dalam bentuk beasiswa satu semester (semester ganjil Tahun Akademik 2012/2013) dari STIKPAR FRENZ. Setelah penyerahan beasiswa secara simbolik, lalu dilanjutkan dengan ungkapan terima kasih dari STIKPAR Toraja. Kegiatan ini ditutup dengan doa serta foto bersama. Bravo, STIKPAR Toraja!*** Penulis: P. I Made Markus Suma, Pr., Pengajar STIKPAR Toraja.

Tidak ada komentar: