Jumat, 28 September 2012

HASIL AKHIR DAN REKOMENDASI PKKI X


PERTEMUAN KATEKETIK ANTAR KEUSKUPAN SE-INDONESIA X
Wisma Shalom, Cisarua, Bandung Barat, 10 – 16 September 2012
”KATEKESE DI ERA DIGITAL”
Peran Imam dan Katekis dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital

A. PENGANTAR

PERTEMUAN KATEKETIK ANTAR KEUSKUPAN SE-INDONESIA (PKKI) diselenggarakan Komisi Kateketik KWI setiap tiga atau empat tahun sekali. PKKI diselenggarakan pertama kali pada tahun 1977. PKKI X diselenggarakan di Wisma Shalom, Cisarua, Bandung Barat, pada tanggal 10 – 16 September 2012. PKKI X ini dihadiri wakil-wakil Komisi Kateketik Keuskupan-keuskupan se-Indonesia dan lembaga-lembaga pendidikan kateketik. Hadir pula sebagai undangan khusus perwakilan dari Komisi Seminari KWI, imam-imam wakil setiap regio keuskupan, Sekretaris Eksekutif KWI dan beberapa undangan lainnya. Pada saat pembukaan, hadir wakil dari Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kementerian Agama RI.

B. Tema
PKKI sebagai pertemuan kateketik tingkat nasional selalu mengangkat tema yang aktual dalam karya katekese Gereja Indonesia. PKKI X ini mengangkat tema: “KATEKESE DI ERA DIGITAL: Peran Imam dan Katekis Dalam Karya Katekese Gereja Katolik Indonesia di Era Digital”. Tema ini dicetuskan dalam Rapat Pengurus Lengkap Komkat KWI pada tanggal 5-7 Mei 2011 berdasarkan kesadaran bahwa saat ini Gereja Indonesia menghadapi situasi zaman baru, yaitu era digital. Situasi ini memengaruhi pola pikir, cara hidup dan pola relasi umat beriman, yang tentu saja juga melibatkan karya Katekese.
Penanggung jawab utama karya katekese adalah Uskup. Dalam menjalankan karya katekese, Uskup dibantu oleh para Imam yang adalah penanggung jawab karya katekese di wilayah pastoral yang dipercayakan kepadanya dan para Katekis sebagai mitra kerja dalam penyelenggaraan karya katekese di wilayah pastoral tersebut.
Tujuan diangkatnya tema tersebut dalam PKKI X adalah agar para pelaku katekese, baik imam maupun katekis, menyadari berkembangnya sarana komunikasi digital dan pengaruhnya dalam budaya kehidupan masyarakat sehari-hari. Kesadaran tersebut diharapkan membawa pada gagasan, pemikiran serta     perencanaan katekese yang tepat guna dalam menjawab kebutuhan Gereja Indonesia di era digital sekarang ini.

C. Proses PERTEMUAN
PKKI X dibuka dengan Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Mgr. John Liku Ada’, Ketua Komkat KWI. Dalam homilinya, beliau mengingatkan peserta PKKI X akan tema yang diangkat dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2010, yaitu Gereja yang diutus untuk mewartakan Kabar Gembira Yesus Kristus dalam konteks Indonesia. Mengisahkan kabar gembira Yesus Kristus salah satunya ditempuh dengan ber-katekese. Karya katekese merupakan tugas utama dan pertama dari para Uskup (CD 12). PO art. 4 mengatakan: “…para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan  Injil Allah kepada semua orang…”. Karena itulah, subtema PKKI X adalah peran Imam dan katekis dalam karya katekese di era digital. Situasi zaman sekarang memberi tantangan tersendiri bagi Gereja dalam melaksanakan tugas mewarta. Era digital membawa situasi berbeda yang harus ditanggapi sehingga Gereja tetap bisa berkatekese dengan baik.
Dalam sambutan yang dibacakan oleh wakilnya, Dirjen Bimas Katolik Kementrian Agama RI mengharapkan agar PKKI X membicarakan pula hal-hal yang mengancam iman umat dewasa ini, terutama generasi muda dan merumuskan solusi bagi problem tersebut. Beliau juga mengharapkan agar PKKI X merancang program atau kegiatan yang dapat dilaksanakan dalam kerja sama dengan Bimas Katolik Kementrian Agama RI.
Setelah mengevaluasi pelaksanaan hasil PKKI IX, kami mulai mengolah tema PKKI X dengan bertolak dari penyadaran pengalaman nyata penggunaan teknologi digital untuk kegiatan pembinaan iman di masing-masing Keuskupan. Selanjutnya, pemahaman era digital didalami bersama Bpk. Idi Subandy Ibrahim (pakar media); sedangkan penggunaannya dalam karya pastoral Gereja didalami bersama Bpk. Matias Haryadi dan Bpk. G. Abdi Susanto (pengelola website sesawinet), RP. Ant. Suhud, SX (praktisi pengguna sarana digital untuk karya pastoral), serta RP. Y. Iswarahadi, SJ (direktur Studio Audio Visual Pusat Kateketik Yogyakarta). Penggunaan media digital dalam karya pastoral Gereja ini diterangi oleh ajaran Paus Yohanes Paulus II dan Paus Benediktus XVI yang disampaikan oleh RP. C.B. Putranto, SJ (direktur Pusat Kateketik Yogyakarta). Proses pengolahan tema PKKI X kami lanjutkan dengan diskusi kelompok mengenai tantangan era digital bagi kehidupan Gereja. Refleksi ini kemudian dibantu dengan belajar dari media film “Artificial Intelligence” yang didalami dengan tulisan Ibu Yap Fu Lan (dosen kateketik Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya). Kemudian kami pun berdiskusi untuk menyusun profil katekese di era digital serta peran imam dan katekis dalam katekese di era digital.
Melepaskan diri dari ketegangan diskusi, kami berekreasi bersama ke sekitar wilayah Bandung. Rekreasi yang edukatif kami alami ketika mengunjungi Saung Angklung Udjo, sebuah Sanggar Seni yang melestarikan seni budaya tradisional Sunda lewat kesenian angklung. Kemudian, kami pun belajar mewarta lewat dunia film dengan menonton film “Soegija”.
Proses kami lanjutkan dengan merumuskan tindak lanjut PKKI X di masing-masing Regio dan rekomendasi bagi karya katekese Gereja Katolik Indonesia di era digital.

D. PENGALAMAN PENGGUNAAN SARANA DIGITAL DALAM KARYA KATEKESE DI INDONESIA
Berdasarkan pengalaman peserta PKKI X di masing-masing Keuskupan, disadari bahwa orang zaman sekarang tidak lepas dari teknologi digital. Teknologi digital sungguh dirasakan menjadi sarana yang memberi berbagai kemudahan, terutama dalam dunia komunikasi, memperlancar pekerjaan, dan memperpendek jarak. Disadari pula bahwa teknologi digital sungguh mengubah perilaku.
Beberapa Keuskupan telah mulai memanfaatkan media digital untuk karya pewartaan. Beberapa cara yang ditempuh adalah renungan lewat SMS dan BBM, radio streaming, dan HP Keuskupan.
Dari sharing pengalaman penggunaan sarana digital di setiap Keuskupan Indonesia, kami mulai mengenali salah satu karakter khas manusia di zaman digital, yaitu multitask (bisa melakukan banyak hal dalam waktu yang bersamaan) namun ingatannya pendek. Orang-orang zaman sekarang memerlukan pertolongan untuk tetap sampai pada kemendalaman. Umat perlu didampingi agar sadar media digital: memilih dan memilah dalam menggunakan kekuatan teknologi digital secara tepat guna. Disadari pula bahwa di tengah era digital, ada banyak informasi yang terbuka, termasuk juga informasi dalam hal iman. Orang perlu dibantu agar bisa membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak. Karena itu, perlu pusat data untuk katekese yang mudah diakses untuk umat.

E. KARAKTERISTIK Era Digital
Era digital adalah situasi baru yang ditandai oleh maraknya penggunaan berbagai sarana teknologi digital sehingga jarak waktu dan tempat semakin kecil. Situasi baru yang tidak bisa dihindari ini mengubah karakteristik budaya, perilaku dan cara berkomunikasi manusia. Corak mencolok dari era digital adalah ‘global’, mendunia, orang yang hidup dalam sebuah desa besar, di mana sekat-sekat yang memisahkan kapling-kapling individual teritorial seperti diruntuhkan. Dalam era digital, orang mendapati dirinya di tengah seluruh dunia. Berikut beberapa karakteristik dari era digital yang kami temukan dalam diskusi.

1. Informasi yang berlimpah
Dunia komunikasi digital lewat internet membuka gudang informasi yang tadinya tidak terjangkau oleh banyak orang. Sekarang, tiba-tiba orang dihadapkan pada melimpahnya informasi. Informasi itu tidak hanya berupa tulisan, tetapi juga berupa gambar, animasi, video dan produk auditif. Orang berhadapan dengan tersedianya informasi melimpah yang muncul mengenai segala segi dari suatu topik. Di sini, informasi bisa bersumber dari siapa saja dan tanpa filter. Dalam situasi ini, ada nuansa egaliter namun otoritas juga bisa menjadi kabur. Oleh karenanya, teramat pentinglah untuk jeli melihat kredibilitas sumber informasi beserta segala latar belakangnya.

2. Relasi yang langsung namun bercorak sepintas dan dangkal
Internet juga membuka kemungkinan yang amat luas untuk menjalin relasi dengan orang-orang yang barangkali belum pernah dijumpai secara fisik. Relasi ini ditandai oleh kontak-kontak virtual, entah berupa e-mail, status dalam facebook atau twitter beserta komentar dan tanggapannya. Tanpa harus bertemu muka, orang bisa berelasi secara langsung, tetapi relasi ini juga bercorak sepintas dan dangkal. Kontak ini bersifat interaktif karena bisa saling menanggapi dari tempat yang jauh. Yang jauh menjadi dekat, namun bisa juga yang dekat malah menjadi jauh. Di satu pihak, dengan sarana digital orang bisa berkomunikasi secara real time dengan orang yang jauh jaraknya. Di lain pihak, kadang terjadi pula bahwa beberapa keluarga menjadi dangkal relasinya karena masing-masing anggota keluarga asyik dengan dunia virtualnya. Hal yang sama juga melanda orang muda. Era digital membentuk karakteristik orang muda yang patut diakui kekuatan positifnya namun juga perlu diwaspadai dampak negatifnya.

3. Corak pengetahuan yang didapat: cepat namun tidak mendalam
Penampilan atau permukaan menggantikan kedalaman, kecepatan menggantikan refleksi yang mendalam. Internet menyajikan beribu fakta namun sedikit sekali bicara tentang nilai. Generasi yang sejak kecil biasa bergaul dengan internet akan mengalami pembentukan pengetahuannya sebagai rangkaian perjumpaan secara audio-visual yang diperoleh dengan cepat, dan tidak lagi lewat proses penalaran. Dengan hadirnya ‘mesin pencari’ seperti Google dan Yahoo, internet menjadi wadah tanya jawab tentang segala macam persoalan. Karena jawaban ada bermacam-macam dan itu pun diberikan secara cepat, orang tidak berkesempatan atau kurang menyediakan waktu untuk masuk lebih dalam; banyaknya informasi menjadi lebih penting daripada kedalamannya. Pola pikirnya pun cenderung melompat-lompat.

4. Bahasa baru untuk berkomunikasi
Di dalam era digital, bahasa yang paling menyentuh adalah bahasa audio-visual yang lebih menyapa emosi. Karena menggunakan bahasa gambar yang menyentuh, penyampaian unsur-unsur emosional menjadi lebih kaya. Dalam dunia komunikasi virtual terciptalah macam-macam kosakata baru yang belum ada dalam bahasa bakunya, seolah-olah tidak ada wewenang linguistik yang mengatur pembakuannya.

5. Manusia yang cenderung semakin tidak manusiawi
Dalam pola-pola relasi dan cara berkomunikasi di era digital, manusia cenderung memperlakukan dirinya dan orang lain bukan sebagai manusia melainkan sebagai benda ataupun robot. Manusia juga kehilangan salah satu inti hidupnya, yaitu keheningan.
Karakteristik era digital di atas menimbulkan tantangan-tantangan bagi cara orang berkomunikasi: komitmen, ketulusan, keterlibatan dan kesetiaan. Komunikasi lewat media digital berlangsung tanpa perjumpaan fisik orang-orang yang terlibat. Ini berarti bahwa orang hanya mengandalkan apa yang didengar, ditulis atau ditampilkan di atas sarana digital. Selebihnya, orang tidak bisa langsung tahu apakah yang didengar, ditulis atau ditampilkan itu sejujurnya merupakan kebenaran atau tidak; apakah partner komunikasi lewat sarana digital tersebut bisa diandalkan komitmen maupun keterlibatannya, apalagi kesetiaannya. Era digital juga membangun komunitas-komunitas virtual dari kalangan publik yang memanfaatkan media digital. Komunitas-komunitas virtual ini mempunyai karakteristik yang berbeda dengan komunitas-komunitas riil.

F. Refleksi teologis
Dalam rangka mengkomunikasikan diri-Nya, Allah senantiasa menjumpai dan menyapa manusia sepanjang zaman. Sapaan Allah itu berpuncak dan terjadi secara penuh dalam diri Yesus Kristus: “Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada” (Ibr 1:1-2). Maka peristiwa inkarnasi, sabda yang menjadi manusia, sejatinya merupakan peristiwa Allah yang sudi menjumpai manusia dengan segala situasi hidupnya. Allah memakai bahasa dan cara manusiawi untuk menyampaikan sabda-Nya, “Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” (Flp 2:6-7)
Saat ini, Allah menjumpai manusia di dalam Gereja, kumpulan orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus Kristus. Karena itu, umat beriman pun senantiasa saling menyapa dan menjumpai untuk mewujudkan perjumpaan dengan Allah. Cara hidup jemaat perdana menyatakan hal ini, “Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai dengan keperluan masing-masing. Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan” (Kis 2:44-47). Maka, perjumpaan merupakan ciri khas hidup meng-Gereja.
Cara Allah dan cara hidup Gereja perdana patut menjadi cara Gereja masa kini dalam berkatekese, yaitu adanya perjumpaan dengan peserta katekese. Dengan berjumpa, peserta katekese bisa saling meneguhkan, mendoakan dan bahkan juga berbagi.
Di era digital sekarang ini, banyak orang mengalami sapaan, sentuhan dan perjumpaaan dengan Tuhan baik melalui dunia riil maupun dunia virtual. Yang dimaksud dengan dunia virtual adalah perjumpaan-perjumpaan yang difasilitasi oleh sarana-sarana digital, misal HP, BB, CD, video, animasi, website, blog, maupun jejaring sosial internet, misal BBM, Mailist, Twitter, Facebook, Multiply, MySpace. Kehadiran, keberadaan dan berbagai kemudahan perjumpaan yang ditawarkan sarana-sarana teknologi digital yang ada sekarang ini diharapkan bisa semakin memudahkan dan menolong banyak orang berjumpa dengan Tuhan dan sesama.
Gereja terus mengajak umat beriman untuk tidak takut memanfaatkan sarana-sarana digital, misalnya internet: “Tinggal di belakang akibat ketakutan akan teknologi atau oleh suatu sebab lain merupakan sikap yang tidak dapat diterima, mengingat begitu banyaknya kemungkinan positif yang terkandung dalam internet” (Komisi Kepausan untuk Komunikasi Sosial, 2002). Hal ini ditegaskan kembali oleh Paus Benediktus XVI dalam seruannya pada Hari Komunikasi Sedunia yang ke-44 tahun 2010: “Dunia komunikasi digital, dengan segala kemampuannya untuk berekspresi nyaris tanpa batas, membuat kita lebih menghargai seruan Paulus: ‘Celakalah aku bila aku tidak mewartakan Injil!’ [1Kor 9:16]”. Karena itu Gereja menerima dengan gembira dan memandang budaya digital sebagai anugerah Allah sehingga mau memanfaatkan dan menjadikannya sebagai medan perjumpaan dengan Allah.
Paus tidak hanya menyerukan kepada umat beriman untuk memanfaatkan sarana digital bagi pewartaan Injil, tetapi juga menjadikan sarana-sarana tersebut untuk menjalin perjumpaan antara warta Injil dengan budaya yang tercipta di era digital ini. Dalam ensikliknya Redemptoris Missio, 1990, Paus Yohanes Paulus II menyatakan: “…Tidak cukuplah untuk memanfaatkan media guna menyebarkan warta kristiani dan ajaran-ajaran otentik Gereja. Diperlukan pula integrasi antara warta tersebut dengan ‘budaya baru’ yang tercipta dari komunikasi modern.” (RM 37). Gereja berdialog dengan budaya digital dengan tetap menawarkan nilai-nilai Injili dan kemanusiaan.

G. Profil Katekese Di Era Digital
Katekese merupakan komunikasi iman, baik pengetahuan maupun pengalaman iman, untuk meneguhkan, menghayati dan mengembangkan iman sampai terbentuk perilaku beriman yang dewasa dan mampu menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Di era digital, proses katekese mengintegrasikan budaya digital dan dapat menggunakan teknologi digital atau wahana virtual sebagai sarana untuk berkatekese. Tanpa meninggalkan ciri-ciri katekese sebagaimana telah dirumuskan mulai PKKI II dan seterusnya, katekese di era digital perlu lebih berciri interaktif, informatif, inklusif dan dialogal.
Katekese di era digital perlu mengembangkan pola inkarnatoris yang mulai dengan perjumpaan penuh penghargaan terhadap budaya yang sedang berkembang dan kemudian mengakrabkan diri dengan ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom dari budaya tersebut. Ungkapan-ungkapan dan idiom-idiom di era digital ditandai oleh kelimpahan, keterjangkauan, dan bersifat langsung. Kelimpahan berarti sangat banyaknya informasi yang masuk dan bisa diakses. Keterjangkauan berarti mudah dijangkaunya berbagai informasi yang dibutuhkan. Bersifat langsung berarti informasi dapat diperoleh tanpa melalui perantara, cukup dengan browsing melalui sarana digital.
Era digital memunculkan cara pewartaan baru, misalnya 'katekese online'. Katekese online bisa dilakukan dengan memanfaatkan media jejaring sosial, Skype, atau media teleconference lainnya.
Dalam era digital terbentuk komunitas-komunitas virtual, misalnya: komunitas milis, komunitas jejaring sosial, komunitas sms, komunitas BBM. Komunitas ini menjadi ajang berkatekese. Dalam komunitas ini, terjadi proses saling berbagi informasi bahkan saling meneguhkan dalam hal kehidupan beriman. Katekese bagi kelompok ini membantu mereka untuk menjalani proses pertobatan yang berdampak pada sikap mereka terhadap masyarakat dan bermuara pada tindakan nyata. Dengan demikian, dinamika otentik dari komunitas virtual ini akan mengantarnya pada suatu bentuk perjumpaan riil.
Dampak era digital paling terasa dalam relasi dalam unit terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Dan yang paling cepat menyerap budaya digital adalah orang muda. Maka pembinaan pada mereka ini semakin mendesak bagi katekese. Dengan demikian, katekese di era digital harus memberi perhatian dan pengakuan pada keluarga dan orang muda.
Mengingat bahwa di era digital manusia cenderung memperlakukan dirinya maupun orang lain sebagai robot, maka katekese harus menekankan dimensi keutuhan manusia sebagai makhluk spiritual. Paus Benediktus XVI menunjukkan dua jalan untuk menghidupkan dimensi spiritual, yaitu dengan terlibat sebagai pribadi dan masuk ke dalam keheningan (bdk. Pesan Paus Benediktus pada Hari Komunikasi Sedunia 2011 dan 2012). Maka katekese harus membantu orang ke arah tersebut.

H. Peran IMAM DAN Katekis
Dalam katekese di era digital, selain tetap mempertahankan peran konvensionalnya dalam karya katekese, imam dan katekis harus berani masuk juga ke dunia digital dan mewarnainya. Imam dan Katekis diharapkan menguasai media, bahasa dan cara berkomunikasi di era digital; tidak hanya menjadi pengguna sarana digital, khususnya internet, namun juga memberi kontribusi dan inspirasi visioner. Imam dan Katekis diharapkan bisa menjadi moderator komunitas virtual dan bisa menggerakkan umat beriman di komunitas virtual untuk sampai pada perjumpaan yang nyata. Imam dan katekis pun harus bisa menjadi teladan dalam hidup beriman di era digital.
Kami menggarisbawahi beberapa peran khas Imam dan Katekis dalam karya katekese di era digital sebagai berikut.

1. Peran Imam
a. Ambil bagian dalam tugas Uskup untuk menjaga tradisi iman dan nilai moral Kristiani.
b. Penanggungjawab pertama katekese di wilayah/ruang lingkup pastoral yang dipercayakan kepadanya.
c. Pendamping para katekis dalam pelaksanaan karya katekese di era digital
d.  Katekisnya para katekis.

2. Peran Katekis
a. Fasilitator, dinamisator, animator, komunikator yang mengantar peserta katekese pada perjumpaan dengan Allah.
b. Teman seperjalanan bagi semua orang untuk menemukan Allah.
c.  Mitra kerja para imam dalam karya katekese di era digital.

I. Rekomendasi
1. KWI diharapkan agar:
a. Menerbitkan pedoman penggunaan media digital dalam karya katekese.
b. Menetapkan bulan Katekese sebagai tindak lanjut Hari Studi para Uskup KWI 2011.

2. Komkat KWI diharapkan agar:
a. Mensosialisasikan hasil PKKI X secepat mungkin.
b. Mengevaluasi secara berkala implementasi hasil PKKI X.
c. Mengembangkan katekese di era digital beserta wahananya: pedoman pelaksanaan  katekese di era digital, website, bank data.
d. Memfasilitasi pelatihan bagi  para imam dan katekis  untuk menggunakan alat-alat digital bagi pengembangan iman umat.
e. Menyediakan dan mengirimkan bahan-bahan (modul) katekese digital dalam bentuk cetak dan audio visual.
f. Bekerjasama dengan Direktorat Jendral Bimas Katolik Kemenag RI dalam pengembangan katekese berbasis media.
g. Mengusulkan kepada KWI untuk menetapkan bulan Katekese.

3. Para Uskup di Keuskupannya diharapkan agar:
a. Mendukung implementasi hasil-hasil PKKI X.
b. Mendorong para imam dan katekis dalam kegiatan katekese di era digital.
c. Mendukung diadakannya pertemuan Komkat Regio secara berkala.
d. Memperhatikan dan memberdayakan secara optimal para katekis yang ada.
e. Mengangkat Katekis-katekis full time sesuai dengan kebutuhan.

4. Komkat Regio diharapkan agar:
a. Mengevaluasi secara berkala implementasi hasil PKKI X di masing-masing keuskupan.
b. Mengadakan pertemuan Komkat Regio secara berkala.
c. Menyelenggarakan lokakarya untuk merumuskan tema-tema tertentu dalam katekese di era digital, khususnya katekese digital yang menyapa keluarga dan orang muda.
d. Bekerjasama dengan Bimas Katolik di wilayahnya dalam pengembangan katekese berbasis media.

5. Komkat Keuskupan diharapkan agar:
a. Mensosialisasikan dan mengimplementasikan hasil PKKI X di tingkat keuskupan.
b. Mengevaluasi secara berkala implementasi hasil PKKI X.
c. Menyusun modul katekese di era digital, khususnya katekese digital yang menyapa keluarga dan orang muda.
d. Membuat pelatihan penggunaan alat-alat digital dalam rangka berkatekese di era digital.
e. Bekerjasama dengan komisi-komisi lain dalam pengembangan karya katekese di era digital.
f. Bekerjasama dengan Bimas Katolik di wilayahnya dalam pengembangan katekese berbasis media.

6. Lembaga Kateketik dan Pendidikan Teologi diharapkan agar:
a. Memasukkan katekese di era digital dalam Kurikulum Pendidikan.
b. Memasukkan katekese digital dalam Kurikulum Pendidikan.

7. Direktorat Jenderal Bimas Katolik Kementrian Agama RI diharapkan agar:
a. Ambil bagian dalam implementasi hasil PKKI X.
b. Mengangkat guru agama dan tenaga penyuluh (katekis) berdasarkan rekomendasi pastor paroki dari tempat yang bersangkutan.
c. Mengangkat tenaga penyuluh (katekis) untuk ditempatkan di paroki yang membutuhkan.
d. Menyiapkan sarana-sarana digital untuk kegiatan katekese.

J. Penutup dan UCAPAN Terima kasih
Demikianlah hasil akhir dan rekomendasi PKKI X. Semoga pokok-pokok pemikiran yang terangkum di sini memberikan arah pengembangan karya katekese di era digital.
Terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang terlibat dalam dan mendukung terlaksananya PKKI X.
Jangan takut! Teruslah memberitakan firman dan jangan diam!” (Kis 18:9)

Wisma Shalom, Cisarua, Bandung Barat,
16 September 2012
Seluruh Peserta PKKI X

Tidak ada komentar: