Jumat, 28 September 2012

Perayaan 100 Tahun Gereja Katolik di Raha


"Aku hendak mengagungkan Engkau, ya Allahku, dan aku hendak memuji namaMu untuk seterusnya dan  selamanya.” Demikianlah seruan pemazmur. Dan Sto. Paulus pernah berkata kepada umat di Tesalonika: “Aku senantiasa mengucap syukur kepada Allahku karena kamu atas kasih karuniaNya yang dianugerahkanNya kepada kamu dalam Kristus Yesus.”

              Pantaslah bahwa pada hari yang bersejarah dan berbahagia ini, kita bersama-sama mengagungkan dan memuji Tuhan dan mengucap syukur kepadaNya atas kasihkaruniaNya yang besar sehingga kita dapat berkumpul pada hari ini untuk merayakan momen historis ini: 100 tahun kehadiran Gereja Katolik di Raha, Pulau Muna.

Kita berkumpul di sini hari ini bukan secara kebetulan. Saya yakin dan percaya bahwa kita dikumpulkan di sini oleh Tuhan untuk bersyukur kepadaNya, bergembira bersama, dan merenungkan betapa besar kasihsetiaNya yang dianugerahkanNya bukan hanya kepada umat Katolik yang ada di Raha dan sekitarnya melainkan juga kepada kita seluruh umatNya di Gereja Lokal Keuskupan Agung Makassar ini. Karena paroki Raha ini adalah bagian dari seluruh Keuskupan Agung Makassar. Maka marilah sejenak menyimak makna dan arti daripada karya Tuhan di tengah-tengah umatNya di Raha ini.

Saya mau mulai dengan sebuah ceritera yang pernah disampaikan alm. Gerardus La Mboki, seorang pelopor Katolik di Muna, khususnya di Lolibu,  kepada seorang misionaris CICM, P. Jack Catteeuw CICM (masih hidup sekarang)  yang pernah berkarya di sini pada tahun 60’an. Dan ceritera ini ditulis oleh seorang sejarahwan, Dr. Kees de Jong dalam bukunya yang berjudul: “Menjadikan Segala-galanya Baik: Sejarah Gereja Katolik di Pulau Muna 1885 - 1985”. Ceriteranya menarik sekali maka saya mau menyinggungnya sedikit di sini:

Pernah di Kabaena dimakamkan seorang yang “berjubah hitam.” Hal itu diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke-17. Kuburan itu sampai sekarang (waktu itu 1985) menjadi tempat ziarah, tempat keramat. Menurut cerita lain, di antara pusaka-pusaka sakral umat Lolibu ada satu salib, yang juga berasal dari zaman itu (abad ke-17). Menurut ceritera, kemungkinan besar manusia berjubah hitam itu adalah seorang pastor Jesuit atau Agustin. Karena pada waktu itu para pastor Jesuit dan Agustin memakai jubah hitam. Menurut perkiraan P. Jaak Catteeuw, berdasarkan cerita-cerita dari masyarakat waktu itu, bahwa pada pertengahan abad ketujuhbelas telah ada pemeluk-pemeluk agama Katolik di pulau Muna.

Dewasa ini Muna merupakan salah satu kabupaten dari Provinsi Sulawesi Tenggara yang meliputi bagian utara Pulau Buton dan Pulau Muna. Kabupaten Buton terdiri atas bagian selatan Pulau Buton dan Pulau Muna. Pusat tetap pertama Gereja Katolik di daerah ini adalah kota Raha. Sejak awal kota Raha menjadi pusat Gereja Katolik di Sulawesi Tenggara. Karena dari Raha para misionaris melayani umat Katolik di Bau-Bau dan Kendari. Dengan kata lain, sesuai tema Perayaan Ekaristi kita ini dan bacaan I dan II  tadi, Raha merupakan anak sulung yang setia pada Injil. Dalam konteks keluarga, biasanya anak sulung selalu mempunyai tanggung jawab terhadap adik-adiknya, bahkan terhadap orang-tuanya ketika mereka sudah mencapai umur lansia. Dengan demikian, dalam konteks pengembangan Gereja Katolik di seluruh Provinsi Sulawesi Tenggara, Raha sebagai anak sulung mempunyai tanggung-jawab terhadap kota-kota lain di sekitarnya.

Pada tahun 1885 Gereja Katolik di Sulawesi Tenggara mulai dirintis oleh seorang pastor Yesuit dengan menetap di dekat Teluk Kendari. Dalam tahun 1887 sesudah dua tahun, tampaknya usaha itu gagal. Namun demikian, pastor Jesuit itu tidak putus asa. Dia terus membuat perjalanan tugas berkala dari kota Makassar ke Bau-Bau di mana pastor tsb. bertemu dengan sekelompok umat Katolik pada tahun 1908. Pada tahun 1909 untuk pertama kali orang-orang katolik datang ke Raha  dari Timor, Flores dan Pilipina (kebangsaan saya). Pada tahun 1910 baru pertama kali seorang pastor misionaris mengunjungi Raha. Pada tahun 1911 bertambah umat Katolik di Raha dengan beberapa orang yang berasal dari Pilipina. Menurut Buku Permandian di  Raha ada seorang anak yang lahir dari Raha yang pertama kali dipermandikan di kota Raha ini oleh Pastor Yesuit P. J. Onel pada tgl. 12 September 1912. Namanya Salmon (mungkin Salomon), putera dari Bpk. David Salmon Pella dan Ibu Jacoba Moel. Walibaptis dari anak itu adalah Bpk. A. Diaz. Tanggal itulah yang menjadi patokan mengapa kita merayakan 100 Tahun Hadinya Gereja Katolik di Raha pada  hari ini. Bpk. David Salmon Pella adalah seorang pelopor umat Katolik di Raha, organisator dan koordinator umat Katolik di Raha pada zaman itu. Pada tgl. 25 September 1912 diadakan beberapa pembaptisan lagi. Dari sejak tanggal itu Raha dan Bau-Bau secara teratur dikunjungi oleh seorang pastor misionaris. Pada tahun 1914 terdapat di Raha ini 27 umat Katolik yang berasal dari Flores, Kei dan Pilipina. Mereka bekerja di perusahaan kayu.

Ketika pulau Sulawesi, termasuk Sulawesi Tenggara,  menjadi Prefektur Apostolik pada tahun 1919, para misionaris dari Kongregasi MSC, diberi tanggung-jawab atas pengembangan misi di daerah ini. Jadi ada pergantian dari Misionaris Yesuit ke Misionaris Hati Kudus Yesus atau MSC. Karena pada waktu itu Pemerintah Belanda belum mengizinkan Gereja Katolik untuk menetap di Provinsi Sulawesi Tenggara, termasuk Pulau Muna, maka para misionaris, baik para Yesuit maupun MSC,  hanya mengadakan kunjungan singkat. Mgr. Panis MSC berceritera bahwa pada kunjungannya di Raha sekitar tahun 1919, ternyata sudah ada umat Katolik  yang tinggal di kota ini. Mereka berasal dari pelbagai daerah, bahkan negara. Mgr. Panis bertemu dengan umat Katolik di sini yang berasal dari Pilipina, Flores dan Kei. Seorang Pastor MSC, yang bernama Pastor Kapell MSC, dalam kunjungannya di Raha sempat mempermandikan seorang perempuan asal Raha sendiri pada tahun 1922 – kurang lebih 10 tahun sesudah Salmon, anak pertama dibaptis.  Dan selanjutnya pada tahun 1924 hingga 1927 ada 13 penduduk asli Raha yang menjadi anggota Gereja Katolik. Sejak itu banyak orang meminta pelajaran agama Katolik. Akhirnya pada tgl. 15 September 1929 Gereja Katolik diberi izin untuk menetap di Raha. Pastor Spelz, MSC menjadi pastor pertama yang boleh menetap di Raha.

Pada tahun 1937 terjadilah pergantian misionaris. Para misionaris CICM menggantikan para misionaris MSC. Jadi dari Yesuit ke MSC ke CICM. Pada tahun itu Juni 1937 pastor CICM yang pertama menetap di Raha adalah Pastor Jan van den Eerenbeemt, CICM, mantan misionaris dari Cina. Karena beliau tahu Bahasa Mandarin, Pastor Jan dengan gampang bergaul dengan orang-orang Tionghoa di Raha, sampai banyak di antara mereka minta dibaptis. Sesudah beberapa bulan kemudian pada bulan November 1937 datang juga P. Menting CICM, dan pada tahun 1938 Pastor Adrian van den Krabben juga tiba. Sejak tahun 1937 para misionaris CICM mengambil alih misi Katolik dari Yesuit dan MSC. Mereka berkarya bukan hanya di Raha tetapi juga di seluruh bagian selatan Kepulauan Muna (di Lolibu, Lakapera, Labasa, Wale-ale, dan lain-lain). Selain Muna, mereka juga mengunjungi Kepulauan Buton dan Kendari. Mereka mendirikan gereja Katolik baik di pusat maupun di stasi. Mereka juga mendirikan rumah sakit Katolik yang dikelola para Suster JMJ. Banyak orang sakit khususnya anak-anak kecil yang menderita malaria, diare, disentri, dll. disembuhkan Pastor Dr. Clemens Lemmens CICM dan Pastor Melkior Aarts CICM. P. Lemmes dikenal sebagai misionaris bedah; sedangkan P. Aarts dapat julukan dari masyarakat Raha sebagai “Misionaris Suntik.” Karena apa? Dia suka menyuntik orang-orang sakit dan mereka sembuh. Para ibu hamil juga sangat terbantu untuk melahirkan anak dengan baik.  Sekolah-sekolah dan asrama-asrama Katolik dibangun untuk menyiapkan kader-kader Katolik yang dapat memperbaiki kualitas umat Katolik di masa depan.  Kehadiran Gereja Katolik sejak awal misi sungguh sangat membantu masyarakat Raha dan seluruh pulau Muna, Bau-Bau dan Kendari. Akan tetapi, bukan hanya para pastor misionaris,  para awam juga, khususnya para Suster JMJ bersama para mantri dan perawat-perawat awam, penolong atau katekis dan guru-guru agama, seperti  misalnya sebagai contoh: Bpk. David Pella, Bpk. Gerardus La Mboki, Bpk. Joseph Malonda, Bpk. J. Gerungan, Bpk. A. La Rangka, Bpk. Crispinus Laode Faihu, Bpk. Thomas Bolossi, Bpk. Frans Delu (yang hadir di sini), dan lain-lain;   guru-guru sekolah, dan pemimpin-pemimpin umat lainnya – mereka semua bahu-membahu membangun umat Katolik dan masyarakat di Raha, Muna Selatan, Bau-Bau dan Kendari. Perlu saya sebut bahwa para misionaris CICM tidak hanya terlibat dalam bidang kesehatan, sekolah, asrama dan pastoral. Mereka juga terlibat dalam bidang pertanian, seperti P. Michel Mingneau (masih hidup sampai sekarang tetapi sudah tua dan pikun) yang membudayakan kebun menteh di Labasa dan yang memindahkan umat dari Lolibu ke Lakapera dan Labasa pada awal tahun 60’an.

Tentu saja, karya mereka tidak mudah. Waktu Perang Dunia ke-II semua misionaris asing dimasukkan ke kamp tawanan selama 3 ½ tahun sehingga paroki-paroki tidak dapat dilayani para pastor. Akan tetapi, puji Tuhan kaum awam Katolik main peranan penting. Para katekis atau penolong memimpin ibadah pada hari Minggu, mereka mengajar agama, mempersiapkan orang-orang yang mau menikah dan minta dibaptis,  mengajak umat untuk masuk gereja setiap hari minggu; sekolah-sekolah juga tetap eksis karena para guru katolik dengan penuh dedikasi menjalankan tugas mereka dengan baik. Sehingga, bertambahlah jumlah umat Katolik pada waktu itu sekalipun tidak ada para pastor dan Suster. Dengan kata lain, Gereja tetap eksis, sekalipun tanpa pastor. Selain itu,  para misionaris dan umat  mengalami cobaan-cobaan berat dengan adanya gerombolan dan PKI. Namun demikian, Tuhan tetap menyertai umatNya. Tuhan tetap membantu umatNya hingga sekarang. Kesaksian para misionaris dan kaum awam dalam kesetiaannya kepada Tuhan dan semangatnya menuaikan tugas perutusan mereka sangat mempengaruhi beberapa anak muda masuk seminari dan biara. Menurut buku kecil yang berjudul “100 Tahun Karya Gereja Katolik di Sulawesi Tenggara” ada 20 yang jadi imam di antaranya ada 13 imam projo tetapi tinggal 12 saja karena P. Hilarius Manguntu sudah tidak ada lagi; ada 7 biarawan: 2 masuk CICM, 2 MSC, 1 MSF, 1 Xaverian, dan 1 SVD. Ada 2 Frater Diakon, yaitu Frater Cornelis Batlyol dan Frater Hendrik Palimbo yang akan ditahbiskan imam bersama 3 rekannya yang lain minggu depan di Kendari. Ada 2 Frater yang masuk biara: 1 Frater HHK dan 1 Frater CMM. Ada juga 25 Suster di Muna dan Sulawesi Tenggara yang masuk biara: ada 14 yang masuk JMJ tetapi sekarang tinggal 13 saja karena satu telah dipanggil Tuhan ke hadiratnya yaitu Sr. Adeodata JMJ; 11 masuk Tarekat lain seperti 2 ke SPM, 6 CB, 1 KYM, dan 2 Claretian. Bukan main! Luar biasa karya Tuhan!

Apa yang kita rayakan hari ini adalah kesetiaan sejumplah perintis umat Katolik di Raha, di pulau Muna dan seluruh Kevikepan Sultra: kesetiaannya pada misi Gereja, kesetiaannya pada rencana Allah, kesetiannya pada Sabda Tuhan dan pada iman Katolik.

Demikianlah sejarah singkat yang saya paparkan kepada kita sebagai bahan renungan dan kenangan pada masa lampau. Namun, saya rasa berbicara tentang masa lampau saja tidak cukup. Maka, saya mengajak kita semua untuk melihat ke masa depan. Setelah kita merayakan 100 tahun Gereja Katolik di Raha dan di pulau Muna, kita mau kemana? Quo Vadis Gereja Katolik di Raha, pulau Muna dan Kevikepan Sultra?

Sebagai umat Katolik, kawanan kecil dan tersebar di Raha, pulau Muna, dan Kevikepan Sultra, anda dipanggil untuk melanjutkan apa yang telah diperjuangkan para perintis Gereja Katolik di Raha dan di pulau Muna ini. Para misionaris asing sudah tidak ada lagi. Para misionaris CICM telah meninggalkan pulau Muna dan Kevikepan Sultra sejak tahun 1985. Mereka boleh pergi, akan tetapi semangat misi tetap tinggal di sini: tetap setia pada Injil. Dewasa ini para imam projo yang melanjutkan pengembanga iman di daerah ini. Bersama umat, mereka ditantang untuk menjawab tanda-tanda zaman. Maka sesuai tema kita, mari kita berjuang sebagai “anak sulung” dalam iman untuk tetap setia pada Injil dan menyebarluaskan Injil kepada orang-orang lain. Sebagai anak sulung, anda mempunyai tanggung-jawab terhadap “adik-adik” anda di kepulauan Buton, Muna dan seluruh Kevikepan. Anda dipanggil Tuhan untuk melaksanakan perintahNya untuk mewartakan Injil kepada orang-orang lain dan untuk menjadi saksi-saksi Kristus di tengah-tengah perubahan yang sedang terjadi di sekitar kita di mana masyarakat semakin materialistis, konsumeristis, hedonistis, pluralistis – masyarakat di mana anak-anak muda semakin tidak tertarik lagi untuk menjawab panggilan Tuhan. Maka sangat perlu re-evangelisasi di seluruh Raha ini, bahkan di seluruh pulau Muna dan Kevikepan. Re-evangelisasi ini menjadi salah satu perhatian dan prioritas Keuskupan kita mulai sekarang dan tahun-tahun mendatang, berkat hasil Sinode Diosesan II pada bulan Mei yang lalu. Re-evangelisasi yang saya maksudkan adaah pewartaan Injil kepada umat dan masyarakat lewat esaksian hidup dan dialog dengan agama-agama lain. Re-evangelisasi yang saya maksudkan pula adalah pembentukan kader-kader baik di sekolah-sekolah Katolik, asarama katolik maupun di bidang pastoral khususnya di bidang katekese supaya kelak mereka menjadi pemimpin-pemimpin Gereja baik di Raha maupun di mana saja mereka nanti pergi.  Re-evangelisasi sangat penting dan dibutuhkan dewasa ini. Hendaklah anda mengambil inspirasi dan semangat dari pelindung paroki anda yaitu Sto. Yohanis Pembaptis. Dialah yang memperkenalkan Kirstus kepada bangsa Israel. Dialah yang berseru-seru “bertobatlah, sebab Kerajaan Allah sudah dekat.” Dialah yang berani menegur Raja Herodes karena telah berzinah. Dialah yang membaptis Yesus dan mempersembahkan hidup dan nyawanya demi Kristus dan kebenaran. Hendaklah anda seperti Yohanes Pembaptis yang setia akan imannya kepada Tuhan sampai mati.

Mari kita berdoa supaya benih iman yang telah ditanam ke dalam hati anda oleh para misionaris dan para katekis, guru agama, dan pemimpin-pemimpin umat di waktu lama dikembangkan terus menerus supaya lebih banyak lagi orang dapat mengenal Kristus. Kita juga berdoa bagi masa depan paroki Raha dan paroki-paroki lain di Kevikepan ini agar berkembang dalam iman, harapan dan kasih kepada Tuhan dan sesama. Masa depan Gereja Katolik di paroki Raha, pulau Muna dan Kevikepan ini ada di tangan anda sekarang! Maka, marilah kita berdoa supaya semangat misi tetap menyala di dalam hati anda dan kita semua yang hadir di sini untuk merayakan 100 Tahun Kehadiran dan Karya Gereja Katolik di Raha dan di seluruh Kevikepan ini. Kita ingat kata-kata dari Yesus: “Jangan takut! Aku menyertaimu sampai di akhir zaman.” Itu janji Tuhan kepada kita. Maka, marilah kita menyongsong masa depan dengan penuh iman akan Tuhan kita Yesus Kristus. Mari kita mohon perlindungan dan bantuan Bunda Maria, Bunda Yesus dan Bunda kita. Semoga Bunda Maria selalu menyertai kita anak-anakNya untuk selalu setia pada PuteraNya Yesus Kristus.

Proficiat! Tuhan memberkati kita semua.


12 September 2012
Sumber: homili Vikjen di Raha, Pulau Muna

Tidak ada komentar: