Sabtu, 12 Oktober 2013

Pertemuan Tenaga Pembina Persiapan Perkawinan Kevikepan Sulbar

Para Narasumber Pelatihan Persiapan Perkawinan
Bimas Katolik Kanwil Kemenag Sulbar bekerja sama dengan Kevikepan Sulawesi Barat mengadakan pertemuan dengan para pembina persiapan perkawinan di Hotel Mamuju Beach, 17-19 Juli. Pertemuan ini diikuti oleh 30 orang peserta dari masing-masing paroki dalam wilayah Kevikepan Sulbar. Narasumber dalam pertemuan ini dari Komisi Keluarga Keuskupan Agung Makassar (KAMS) sebanyak lima orang.

Misa pembukaan dipimpin oleh Vikep Sulbar, P. Martinus Pasomba, Pr dan P. Ignatius CICM. Dalam khotbahnya, Vikep mengharapkan agar para peserta sungguh-sungguh mengikuti pertemuan dengan baik. Vikep juga berharap agar apa yang diterima dalam pertemuan ini dapat dipraktekkan dalam paroki masing-masing. Menjadi pelayan dan teladan dalam keluarga dan masyarakat yang punya komitmen seperti tema yang diangkat, “Melalui Pembinaan Tenaga Pembina Keluarga Katolik Bahagia Sejahtera, Kita Tingkatkan Komitmen Pembangunan Keluarga Katolik Sulbar”.

P. Ignatius yang tampil pertama membahas mengenai perkawinan dalam pandangan Katolik. Ia mengutip KHK 1055 §1. Dengan perjanjian nikah pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri, serta kelahiran dan pendidikan anak, oleh Kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat Sakramen (Ef 5: 22-33). Sedangkan menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah “Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Menurut GS art. 48 hakikat perkawianan adalah persekutuan seluruh hidup antara seorang pria dan wanita yang berdasarkan pada perjanjian cinta kasih menuju kepada kebahagiaan bersama. Sementarai tujuan perkawinan adalah membangun bersama cinta kasih menuju kebahagiaan dan kesejahteraan bersama, Kelahiran dan pendidikan anak,  Pemenuhan kebutuhan seksual. Ciri perkawinan Katolik Monogami (Kej 1:26-30), 2:18-25, Tak terceraikan (Mt 5:31-32; 19:1-12. Mrk 10: 6-9, Terbuka bagi keturunan.

Oleh karena itu, tugas suami-isteri dalam keluarga yang diikat oleh perkawinan adalah membangun keluarga penuh cinta kasih. Orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak terutama berkaitan dengan pendidikan nilai-nilai dasar (kejujuran, kesopanan, ketulusan, kebersihan, kerapian, kesabaran, solidaritas, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap- sesama manusia/orang lain dan pengampunan); Nilai-nilai religius (Cinta akan Tuhan dan alam ciptaanNya, kebiasaan berdoa, membaca, merenungkan Sabda Tuhan, menghadiri Ekaristi, penerimaan skramen pengampunan, bersyukur kepada Tuhan, serta pasrah keadaan kehendakNya);  Menyambut dan Mencintai Kehidupan;

Dari kodratnya perkawinan terarah pada kelahiran anak, artinya suami-istri dipanggil oleh Sang Pencipta untuk ikut ambil bagian dalam penerusan generasi baru. Hidup manusia itu luhur dan bernilai terlepas dari kenyataan apakah dia itu cacat, sakit atau tua. Martabatnya harus tetap dipelihara dan dilindungi; Ikut membangun masyarakat. Keluarga Kristiani ikut membangun masyarakat dengan membentuk pribadi-pribadi yang mampu bertindak jujur, adil, bertanggung jawab, yang memiliki semangat berkorban, kesetiakawanan, solidaritas, berke-Tuhan-an dan berperi-kemanusiaan; Ikut membangun Gereja. (Mt 19:5); Secara kualitas yakni meningkatkan mutu iman keluarga dan secara kuantitas: menambah jumlah anggota Gereja.

Pasutri Siprianus Bawan-Maria Mira memberikan kesaksian hidup dalam menjalani rumah tangga yang sudah lama. Menurutnya, “riak gelombang pasti ada, namun itu tidak menjadi hambatan dalam perkawinan kami karena saling memahami karakter pasangan”. Lebih lanjut menurutnya, “tampil berdua dalam memberi kesaksian itu perlu karena itu menunjukkan secara tidak langsung relasi suami-isteri. Jadi tanpa berbicara pun orang lain sudah bisa menilai hubungan pasutri itu”.

Sipri juga memperlihatkan sebuah film mengenai proses terjadinya manusia sejak bertemunya sperma dengan sel telur hingga menjadi manusia dan lahir ke dunia. Ini memperlihatkan bahwa proses penciptaan manusia di luar kekuatan manusia itu sendiri. Dari sekitar 120 juta sperma berjuang menuju sel telur hanya satu yang bisa sampai dan hidup akhirnya lahir sebagai seorang manusia. Itu berarti kita ini adalah pilihan, the winner. Maka harus disadari bahwa kita adalah yang terbaik.

Maka konsekuensinya, agar anak tidak stess dalam kandungan, kedua orang tuanya harus menjalani hidup perkawinan dengan baik, agar dapat hidup bahagia sejahtera, yang pasti juga akan berpengaruh pada keturunannya. Sipri yang sudah lama menjalani hidup perkawinan, juga memaparkan situasi keluarga zaman ini, sebut saja, perceraian, hidup bersama tanpa ikatan nikah, hadirnya anak-anak yang tidak dikehendaki, dst.

Namun harus diingat bahwa keluarga merupakan rencana Allah sejak awal mula. (Kej 1:27-28, 2:18-24). Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan dengan fungsinya masing-masing, maka itu manusia dimampukan bertambah banyak dan berlipat ganda.

Keluarga ini terbentuk lewat lembaga perkawinan. Karena perkawinan merupakan kebersamaan seluruh hidup. Pasangan suami-isteri menjadi bagian integral dari seluruh hidup. Selain itu, perkawinan merupakan persekutuan hidup yang didasar-jiwai cinta kasih.

Setiap orang menghendaki lahir-batinnya sejahtera yang indikatornya tercukupinya sandang-pangan-papan yang memadai. Lewat perkawinan ini lahirlah anak-anak yang sehat jasmani rohani dan dapat mengenyam pendidikan. Itulah tujuan perkawinan.

Setiap pasutri sejatinya dipanggil untuk merasul keluar dari dirinya dan menjadi pelayan bagi orang lain. Itu artinya mencontoh pelayanan yang diberikan oleh Yesus sendiri misalnya, pembasuhan kaki (Yoh 13:14). Pelayanan yang tulus kepada setiap orang. Pelayanan kristiani itu tidak hanya apa yang dilakukan, tetapi siapakah atau sebagai apakah kita sewaktu kita melakukannya. Intinya pada “menjadi hamba” lebih daripada melakukan pelayanan.

Sebagai suami-isteri, diharapkan agar bersikap dewasa dalam hidupnya. Kedewasaan itu ditandai dengan bertindak bijaksana dan mau melakukan apa yang diperoleh dan diketahui untuk dirinya juga, relasi yang harmonis dengan Tuhan dan sesama, setia satu sama lain pada komitmen, bekerja di atas berbagai hambatan dan kekurangan di dalam hidup sebagai seorang kristiani, mau melayani tanpa diakui, dihargai, dan tanpa diganjar.

Sebagai kesimpulan dari materi yang disampaikan Sipri, ia mengutip Yoh 12:24-26 tentang biji gandum. Ia mengatakan bahwa setiap kehidupan kita serupa dengan biji gandum. Agar dapat berbuah lebat, kita harus jatuh ke tanah dan mati. Kita mati terhadap kesenangan diri pribadi. Sebagai titipan untuk pasutri bahwa jangan segan-segan memuji pasangan, mendengarkan pasangan, tidak boleh memotong pembicaraan pasangan, mengampuni dan rela diampuni.

Komunikasi suami-isteri bisa verbal bisa non-verbal melalui gesture tubuh. Komunikasi sangat perlu dalam hidup berumah tangga karena melalui komunikasi kita saling memahami dan mengerti maksud dan tujuan yang ingin kita sampaikan.

Dalam hal komunikasi ini, Ign. Artian D. Wijaya sebagai salah satu narasumber, pertama-tama ia memperlihatkan sebuah gambar untuk ditafsirkan. Para peserta mencoba memberikan interpretasi sesuai apa yang mereka pahami. Diperlihatkan bahwa bahasa komunikasi itu sangat kompleks dan tidak ada yang persis sama. Oleh sebab itu diperlukan pengertian satu sama lain. Suami-isteri berbeda sejak awal karena jenis kelamin, emosi, fisik, kepribadian, seksual, perlu dipahami dengan baik.

Sifat dasar wanita dikenal dengan Venus karena pandai mengatur rumah, Mat 22:36-40, 1Kor 6:19-20. Sementara pria dikenal dengan Mars, pandai memecahkan masalah. Dalam hal fisik pria dan wanita berbeda, 1Kor 6:19-20. Seksualitas pria dan wanita jelas berbeda, Mat 5:27-28.  Sementara dalam hal kepribadian, ada beberapa sifat yang dimiliki oleh pria dan wanita, plegmatis, koleris, melankolis, sanguinis.

Iwan Gunawan sebagai pemateri terakhir menjelaskan mengenai arah pastoral KAMS dari hasil Sinode 2012. Tujuan dari Komisi Keluarga adalah mewujudkan keluarga sebagai gereja rumah tangga (ecclesia domestica) yang berpola keluarga kudus Nazaret, tempat nilai-nilai manusiawi, iman dan tradisi Katolik disemaikan.

Strategi komisi keluarga adalah membangun relasi saling mencintai dan komunikasi yang saling terbuka dan saling percaya dalam keluarga, membangun hidup rohani keluarga dengan menciptakan kebiasaan doa dan membaca Kitab Suci bersama, mengasah kepekaan untuk saling melayani dalam keluarga dan kepedulian sosial terhadap lingkungan terdekat, menguatkan identitas Katolik agar tidak mudah terpengaruh dan dapat memberi kesaksian iman dalam masyarakat.

Dari pertemuan ini para rakel (rasul keluarga, red.) haruslah kudus; sebab mereka adalah pelayan-pelayan Allah yang Mahakudus: “Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” Para rakel hendaknya siap memberikan nyawa mereka bagi jiwa-jiwa, sebab mereka adalah pelayan-pelayan Yesus Kristus, yang seperti dikatakan-Nya Sendiri, datang untuk wafat bagi kita semua yang adalah domba-domba-Nya: “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya.” Akhirnya, para rakel haruslah bekerja segenap jiwa raga demi menyalakan api kasih ilahi yang kudus dalam diri semua orang, dalam keluarga-keluarga; sebab mereka adalah pelayan-pelayan Inkarnasi Sabda, yang telah datang ke dalam dunia untuk maksud itu: “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!” *** Penulis: Anton Ranteallo

Tidak ada komentar: