Sabtu, 18 April 2015

Umat Bertanya, Imam Menjawab

Pertanyaan: Pastor, apa sesungguhnya Perayaan Imlek itu? Bagaimana pandangan Gereja Katolik terhadap Imlek, mengingat baru-baru ini dalam Surat Puasa Bapa Uskup memberikan dispensasi pada Rabu Abu malam yang jatuh bertepatan pada malam imlek?

Jawaban:
  Kata "Imlek" diambil dari Bahasa Hokkien dan hanya diketahui dan digunakan oleh orang Indonesia. Di luar, perayaan ini lebih dikenal dengan nama Chinese New Year untuk orang-orang barat, sedangkan orang Tiongkok menamainya "Guo Nian" atau "Xin Jia" yang berarti lewati bulan atau bulan baru.
  Tahun Baru Imlek juga dikenal sebagai perayaan musim semi (Chun Jie). Zaman dulu, para petani menyambut datangnya musim semi dengan perayaan atas berakhirnya musim dingin dan datangnya waktu untuk menanam padi lagi.
Ada legenda mengenai tradisi perayaan Tahun Baru Imlek, tentu dengan segala macam Variasi Kisahnya. Dulu ada monster bernama Nian, atau tahun () yang datang di akhir musim dingin, memakan hasil panen dan menyerang warga.
  Suatu waktu, seekor singa berhasil mengalahkan monster nian ini, dan monster nian lari ketakutan. Saat nian datang lagi di tahun berikutnya, warga berusaha menakut-nakuti nian dengan membuat kostum singa yang digerak-gerakkan oleh dua orang. Inilah legenda asal mulanya tarian singa, alias Barongsai.
  Selain itu diketemukan juga kalau monster Nian ini takut dengan warna merah dan sensitif dengan keramaian. Maka orang-orang pun mulai memasang lentera dan kertas merah di depan rumah. Untuk membuat suara keras, pertama-tama orang-orang melakukannya dengan cara sederhana seperti memukul alat-alat rumah tangga, lalu mereka mulai menabuh Gong, memasang kembang api, dan akhirnya memasang petasan-petasan.
  Perayaan Imlek memang selalu diramaikan dengan pelbagai pernak dan pernik yang membuat suasana perayaan kian semarak. Keindahan dekorasi yang didominasi oleh nuansa merah, lampion, pohon angpao atau pohon rejeki, pakaian merah, dan yang tak boleh dilewatkan adalah kertas angpao yang berwarna merah mewarnai keceriaan dan suka cita di hari Imlek. Belum lagi hidangan yang lezat di malam Imlek dan pada hari raya Imlek, kue-kue yang begitu nikmat untuk disantap, minuman ringan sampai berat yang menghiasi meja tamu, semua menciptakan nuansa Imlek sebagai sebuah Pesta. Belum lagi tampilnya Barongsai pada penutupan perayaan Imlek yang dikenal dengan nama Cap Go Meh. Namun Imlek lebih dari sekedar sebuah perayaan meriah di tampilan luarnya. Yang lebih penting adalah makna yang terkandung di dalamnya.
  Sesuatu yang sangat indah yang tak dapat diukur hanya dengan tampilan luar perayaan ini adalah kebersamaan segenap anggota keluarga. Perayaan Imlek adalah sebuah perayaan Keluarga. Kebersamaan ini tidak hanya sebatas pada hari H perayaan. Segala persiapan Imlek sudah melibatkan seluruh anggota keluarga. Masih segar di ingatanku bagaimana kami sekeluarga mempersiapkan diri untuk menyambut Imlek dalam keluarga. Mama begitu sibuk menyiapkan kue Imlek, bekerja bahkan sampai larut malam untuk mempersiapkan adonan dan memanggangnya di sebuah oven. Kami, anak-anak juga dilibatkan untuk membantu orang tua dengan menyiapkan bahan adonan kue. Sewaktu kecil tugas saya adalah membantu mama menumbuk kacang, atau mengaduk-aduk adonan selei yang akan menjadi bahan kue selai yang sangat kusukai, dan satu hal lagi yang tak kalah menyenangkannya: mencicipi kue yang „gagal produk“, alias cacat dikit dan tak pantas dimasukkan di toples kue.
  Sebelum tahun baru Imlek, dilakukan Shau Chen, atau membersihkan semua sudut rumah (dan kantor) sampai bersih cling-cling, termasuk membuang barang-barang yang sudah tidak dipakai. Harapannya adalah di Tahun Baru, segala hal yang buruk dan tidak beruntung bisa disingkirkan, sehingga ada tempat untuk hal-hal yang baik dan menyenangkan.
  Yang sepertinya masih berjalan sampai sekarang adalah larangan untuk bersih-bersih rumah di Tahun Baru. Mama bercerita, bahwa semua urusan bersih-bersih rumah harus sudah diselesaikan sebelum jam 12 malam sebelum Tahun Baru. Pada hari H-nya, sama sekali tidak boleh bersih-bersih, bahkan memegang sapu pun tidak boleh, karena dianggap membuang atau menyapu pergi rejeki. Bersih-bersih juga tidak boleh dilakukan di hari kedua. Membersihkan rumah baru boleh dilakukan pada hari ketiga dengan sebuah pemaknaan: orang wajib menyapu untuk membuang sial.
Mungkin terdengar aneh dan lucu, namun demikianlah orang-orang tua mengajarkan kepada anak-anak mereka sebuah kebiasaan yang mewarnai Imlek. Yang tidak kalau menarik adalah segala sesuatu yang bernuansa Baru. Baju Baru, Potong Rambut. Menyambut Tahun Baru, biasanya banyak orang membeli baju baru. Dulu adalah merupakan hal yang sangat istimewa mendapatkan baju baru dan mengenakannya pada hari H perayaan Imlek. Bahagianya berkaca di cermin dan melihat „betapa bagusnya baju yang baru dikenakan.“ Biasanya yang dibeli adalah baju berwarna merah, atau minimal ada nuansa merahnya, karena warna merah melambangkan kemakmuran dan kebahagiaan (good fortune and joy). Yang sebaiknya dihindari adalah warna putih, karena identik dengan kematian.
Malam Imlek adalah sebuah peristiwa yang menyenangkan bagi keluarga. Pada saat itu seluruh keluarga berkumpul untuk mengadakan sembahyang Tutup Tahun yang dilakukan di hari terakhir sebelum Tahun Baru. Tradisi ini dilakukan sebagai wujud bakti dan penghormatan ke keluarga. Yang biasanya dipersiapkan untuk sembahyang ini adalah makanan favorit leluhur, buah-buahan, misalnya pisang raja, beserta kue-kue.
  Malam sebelum Tahun Baru adalah malam wajib untuk berkumpul bagi segenap anggota keluarga. Itu pula sebabnya mengapa Bapa Uskup Agung Makassar, Mgr. Johannes Liku-Ada, Pr. memberikan dispensasi kepada umat yang merayakan Imlek dan terbebas dari kewajiban Pantang dan Puasa, walau Malam Imlek pada Tahun ini jatuh tepat pada Hari Rabu Abu yang menandai awal dari Masa Puasa dalam Gereja Katolik. Gereja Katolik memaklumi betapa pentingnya saat indah berkumpul sebagai satu keluarga bagi umat Katolik yang merayakan Imlek. “Berhubung Tahun Baru Imlek jatuh pada 19 Februari 2015 dan biasanya ada yang sudah mulai perayaan pada malam sebelumnya, maka dengan ini diberikan dispensasi dari kewajiban puasa dan pantang sejak Rabu malam, 18 Februari 2015, bagi umat Katolik yang merayakannya.”(Tertera dalam Peraturan Puasa dan Pantang 2015)
  Acara pastinya adalah makan malam bersama keluarga, yang disebut Tuan Yuan Fan. Apabila sudah menikah, makan malam dilakukan bersama di keluarga lelaki. Ada kebiasaan yang nampak lucu dan rada aneh, yakni pada saat makan malam ini, hidangan dan nasi tidak boleh dimakan sampai habis, harus ada sisa. Ini adalah sebuah ungkapan harapan, supaya tiap tahun rejeki akan selalu berlebih dan tidak berkekurangan.
  Sekarang banyak restoran yang menawarkan paket hiburan dan makan malam untuk merayakan tahun baru Imlek. Karena faktor kenyamanan dan kemudahan, banyak orang yang akhirnya memilih untuk makan di restoran. Fenomena ini tentu dilandasi oleh alasan praktis, namun sebenarnya makna dari perjumpaan sebagai satu keluarga menjadi sedikit sirna. Kehangatan kebersamaan anggota keluarga tentu akan jauh lebih terasa bila segenap keluarga bisa berkumpul di rumah orang tua atau rumah di mana orang tua tinggal (misalnya pada salah satu anak). Momen ini akan menjadi saat di mana anggota keluarga, tua dan muda untuk saling berbagi satu sama lain. Tentu berbagi canda dan tawa serta cerita. Dan bukan tidak mungkin bila ada kesalahpahaman dan ketegangan antara anggota keluarga bisa dipulihkan juga lewat perjumpaan dalam suasana kasih ini. Yang lalu biarlah berlalu, mari memulai sesuatu yang baru di tahun yang baru!
  Hari pertama Imlek adalah waktunya untuk memakai baju baru. Makanan kecil dan angpao juga harus sudah siap, karena orang-orang akan berkunjung ke rumah saudara dan teman. Tradisi ini disebut Pai Nian. Biasanya yang lebih muda akan datang ke rumah yang lebih tua untuk memberikan hormat dan mengucapkan harapan dan selamat di tahun yang baru.
  Cara memberi hormat (pai-pai ) adalah dengan mengepalkan kedua tangan, menggerakkan tangan ke depan dan ke belakang sambil mengucapkan ‘Gong Xi’ yang artinya selamat, kependekan dari ‘Gong Xi Fat Chai’  (Selamat Tahun Baru).
Selain ‘Gong Xi’, berikut beberapa ucapan selamat dan harapan:
Xin Nian Kuai Le : Semoga berbahagia di Tahun Baru
Xin Nian Jin Bu : Semoga semakin maju dan makmur di Tahun Baru
Xin Nian Fa Da Cai : Semoga kaya raya di Tahun Baru
  Zaman sekarang kita bisa melihat segenap keluarga besar ngumpul, bahkan ada yang membuat baju seragam buat anak-anak dan orang tua. Memang kehangatan dan kebersamaan itu sedikit terganggu dengan hadirnya rupa-rupa peralatan elektronik (Gadget) yang lebih menarik perhatian mereka daripada menjalin komunikasi dengan sesama anggota keluarga. Ber-facebook ria, ber-BBM-an ria, ber-Whatsapps-ria, ber-Line ria, bisa mengganggu jembatan komunikasi yang seharusnya terjalin di dalam kebersamaan ini.
  Segala yang kuceritakan ini terjadi sekian belas tahun yang sempat kualami sebelum aku meninggalkan rumah dan meniti panggilan di seminari serta menjadi imam. Karena masa pendidikan dan tugas sebagai imam, termasuk tugas studi lanjut, membuat diriku tak bisa selalu menikmati indahnya perayaan imlek bersama keluarga. Namun yang kusaksikan belakangan ini, perayaan Imlek dan maknanya mengalami kemerosotan. Memang, keluarga masih kumpul dan masih saling mengunjungi. Namun apakah sungguh perjumpaan ini merupakan perjumpaan keluarga adalah sebuah pertanyaan yang perlu direnungkan. Kehadiran si Gadget membuat perjumpaan di dalam keluarga diwarnai oleh kesibukan masing-masing tangan dengan Gadget yang dipegang oleh generasi yang diperhamba oleh Teknologi.

Penutup dan Makna Tahun Baru Imlek
  Tulisan ini bukanlah merupakan pemaparan ilmiah mengenai Imlek, melainkan hanya sebuah tulisan kecil mengenai sesuatu yang kualami dalam kehidupanku sebagai seorang yang lahir dari keluarga yang masih merayakan Imlek. Maka saya juga mohon maaf sebelumnya bila ada informasi yang kurang benar, apalagi cukup amburadul. Bagiku Tahun Baru Imlek adalah waktu yang diluangkan bersama keluarga, untuk merekatkan hubungan keluarga, menunjukkan bakti kepada orang tua, dan juga membagikan rejeki kepada yang lebih muda. Selain itu, makna perayaan tahun baru Imlek adalah harapan. Banyak sekali simbolisme mengenai harapan akan tahun yang lebih baik, meninggalkan segala hal yang buruk dan tidak menyenangkan di tahun ini, untuk menerima rejeki dan kebahagiaan di tahun yang baru.
  Perayaan Imlek di berbagai Gereja Katolik mencerminkan Toleransi dengan keanekaragaman Budaya yang menjadi kekayaan dalam Umat Allah yang disatukan oleh Iman akan Yesus Kristus. Suka cita yang dirayakan oleh umat keturunan Tionghoa atau China juga dirayakan penuh kegembiraan bersama dengan umat yang berbeda suku dan budaya. Misa Imlek merupakan sebuah ungkapan kerinduan umat yang merayakan Imlek untuk merayakan iman dalam keharmonisan dengan budaya. Iman selalu membutuhkan budaya, baik dalam penghayatan maupun dalam pewartaan. Iman tak pernah melayang di udara tanpa bungkus budaya (GS 53). Iman kristiani tidak terikat pada satu budaya tertentu, tetapi bisa diungkapkan dalam semua budaya. Dalam arti itulah, iman kristiani bersifat katolik (Yun: catholicos berarti umum). Agar penghayatan iman bisa sungguh mendalam dan pewartaan iman dapat sungguh menarik dan dimengerti, maka iman perlu dibungkus dengan budaya yang sesuai (GS 58). Dasar teologis hubungan antara iman dan budaya yang sedemikian itu ialah peristiwa Inkarnasi Sang Sabda. Sang Sabda menjadi manusia dalam budaya Yahudi dan mengungkapkan penghayatan iman-Nya melalui bungkus budaya Yahudi. Inilah ajaran resmi Magisterium Gereja. Hanya di sini mesti diberi catatan penting, bahwa tidak semua unsur budaya dapat dijadikan bagian dari perayaan liturgi resmi gereja. Dalam hal ini dibutuhkan pengkajian yang lebih mendalam mengenai unsur-unsur budaya tersebut untuk mendalami makna setiap simbol yang ingin digunakan, apakah sesuai dengan pemahaman iman dalam gereja Katolik. Contohnya, pertunjukan Barongsai dalam gereja kiranya tidak cocok dengan ajaran iman Gereja, karena Barongsai dimaksudkan untuk mengusir kekuatan jahat, atau iblis. Pertunjukan Barongsai di dalam Gereja pada Misa Imlek akan sangat bertentangan dengan iman Gereja bila dijadikan sebuah pertunjukan di dalam Gereja dalam kerangka Perayaan Imlek.
   ‘Xin Nian Kuai Le, Shi Shi Ru Yi’, yang artinya kurang lebih adalah: Happy new year, everything happens as you wish for. Gong Xi Fat Cai – Wan Se Ru Yi, Sen Thi Cien Khang. Semoga senantiasa diberi kesehatan, damai sejahtera dalam rumah tangga dan kesuksesan. Semoga Berkat Tuhan menyertai kita semua di Tahun Baru ini…. Tuhan sebagai sumber dan pangkal segala kesejahteraan menyertai kita. Amin. (Pastor Rusdyn Ugiwan)
Pembaca dapat menyampaikan pertanyaan seputar Gereja Katolik secara tertulis dan disampaikan ke Redaktur Majalah Koinonia melalui e-mail: sekr_kams@yahoo.com

Tidak ada komentar: