Rabu, 09 September 2015

PEMBERKATAN STASI SANTO NICOLAUS LANGDA


Gedung Gereja (baru) stasi Santo Nicolaus Langda ini dirancang-bangun pada tahun 1996 oleh seorang anak dari pasangan guru Hendrik Tulak (+) dengan Ester Pala’langan (+) yang menyerahkan R-B itu kepada Bapak Uskup Agung Makassar pada Maret 1998, dan disetujui dibangun dengan sebuah surat rekomendasi dari P3-KAMS tertanggal 31 Agustus 2001 yang biaya sebesar Rp 922.000.000,-. Maka peletakan batu pertama bangunan gereja dilaksanakan dalam misa kenangan oleh P. Albert Tangkin, Pr, dan mulai pekerjaan   pembangunan gedung pada 23 Agustus 2001. Dana yang tersedia waktu itu sebesar Rp 60 juta dari umat stasi Langda dan Rp 209 juta dari Propaganda Fide / KAMS.

Setelah 14 tahun kurang 3 bulan dan 2 minggu lamanya dibangun sebagai “Bangunan tumbuh” gereja ini diresmikan secara adat dalam ritus Gerejawi melalui upacara 3 hari (Ditallung Alloi) dengan semarak-meriah dan kudus, dihadiri oleh umat dari berbagai agama dan masyarakat berbagai lapisan di Toraja dan luar Toraja.

Hari pertama: Pada 30 Juni 2015 diadakan Acara Ma’palimbong atau Ma’ta’da atau Ma’balapampang. Ritus adat mengenang dan menghadirkan bantuan persekutuan dari (Roh) orang-orang yang telah mendahului kita (gereja yang kudus) untuk bersatu dengan kita yang masih hidup (gereja yang sedang mengembara) dan juga mendoakan mereka yang lain (gereja yang menanti/menderita). Hari ini ditandai dengan meminta dan memberi maaf dan saling mengampuni di antara kita, lalu kemudian mohon ampun kepada Tuhan. Pada sore hari sebelum matahari terbenam upacara ditutup dengan misa oleh Bapak Vikep dengan Pastor Paroki dan Pastor Petrus Bine’ Saramae Pr, lalu diakhiri dengan santap malam bersama sebagai tanda kebersamaan di antara umat stasi Langda.

Hari kedua: Pada 1 Juli 2015 diadakan acara Ma’tarampak, ritus simbolik adat, sebagai tanda dimasukinya tahap akhir penyelesaian bangunan yaitu pemasangan atap pertama (lapisan atap dasar). Acara fisik adalah “Mangrampun Bai” yaitu mempersiapkan hewan kurban berupa babi dan ayam serta bahan makanan lainnya untuk dibagikan kepada lapisan masyarakat dan semua orang yang datang pada waktu itu. Pada hari itu juga diadakan penerimaan Krisma kepada anak-anak calon Krisma oleh Bapak Uskup Agung KAMS. Setelah selesai misa dilanjutkan dengan santap siang bersama dengan umat dan Bapak Uskup.
Pada sore hari acara diteruskan dengan ritus adat perangkai/penyambung kepada acara esok hari sebagai acara puncak (disebut Ma’patarru), yaitu Ma’pabendan Bate. Ma’pabendan Bate (Pelalan Masero Langngan Puang Matua) sebagai penegakkan hubungan yang kokoh dengan Allah sang Penguasa dan Pencipta serta Pemilik segala-galanya. Di sinilah tanda/simbol pengakuan orang Toraja bahwa Allah adalah asal dan tempat kembalinya segala sesuatu di jagat raya ini baik yang kasat mata maupun yang tidak nampak, karena itu kepadaNyalah satu-satunya tempat kita       menyembah dan berpasrah. Kontruksi Bate di sini diilhami oleh perjalanan hidup manusia dalam menjunjung ajaran Gereja. Perintah Tuhan berpuncak pada penebusanNya oleh Kristus Yesus yang dikenang dalam Parayaan Ekaristi.


Hari ketiga: Pada 2 Juli 2015 diadakan acara puncak yaitu “Ma’tau Kamban” yakni ritus adat pekerjaan agung/besar oleh orang banyak, menyimbolkan pekerjaan mengatapi secara menyeluruh oleh banyak orang dan seluruh lapisan masyarakat. Pada dini hari diadakan acara “Massomba Tedong” oleh Pastor John Manta’, Pr: doa dan penyertaan untuk  menguduskan darah daging dan roh kerbau muda sebagai “Bai Pua” (diibaratkan seekor babi besar) karena itu ketika disembelih tidak dengan cara ditebas atau digorok lehernya tetapi ditombak.
Pada jam 09.00 wita tepat telah dimulai misa syukur yang dipimpin oleh Bapak Uskup sebagai selebran utama dan didampingi oleh Pastor Vikep Toraja (Pastor Natan Runtung, Pr) dan Pastor Agustinus Sem Porak, Pr dan juga 16 pastor konselebran. Misa berlangsung sangat hikmat dan dihadiri begitu banyak umat yang datang dari 13 stasi dalam wilayah paroki Kristus Raja Nonongan, juga turut hadir dalam misa ini umat Paroki Sto. Paulus Ge’tengan yang diwakili oleh umat stasi Ge’tengan.
Setelah selesai perayaan Ekaristi dilanjutkan dengan perarakan Lettoan yang diusung oleh umat dari masing-masing stasi dan umat dari gereja tetangga dalam wilayah stasi Langda. Perarakan Lettoan ini merupakan ungkapan syukur umat stasi Langda bersama masyarakat Lembang Langda.
  Sebagai penutup rangkaian acara pada hari itu diadakan jamuan kasih bersama   dengan semua tamu undangan dan umat serta masyarakat yang hadir dalam acara pemberkatan Gereja stasi Santo Nicolaus Langda. Mereka membagi bekal yang dibawa masing-masing dari stasi dan juga bekal yang disiapkan oleh tuan rumah yaitu umat stasi Langda sebagai tuan rumah yang baik dan ramah.

Hari keempat (penutup): 3 Agustus 2013 diadakan acara “Ma’bubung, Mantanan Sendana”: Ritus simbolik adat selesainya tahap akhir suatu pekerjaan mendirikan bangunan yaitu memasang penutup atap  (bubungan). Pada saat itu diadakan ritus menanam stek pohon cendana yang bergetah merah (ma’lite rara tau) sebagai simbol kehidupan lestari manusia yang bersatu dengan bumi tempat segala tumbuhan dan  tanaman berdiri-bernafas. Pohon cendana ini ditanam di sebelah Timur yang menyimbolkan harapan ke depan dari suatu awal kehidupan.
Itulah rangkaian acara yang kami laksanakan untuk memeriahkan acara pemberkatan Gedung Gereja Stasi Santo Nicolaus Langda yang sudah lama kami rindukan dan kami dambakan dalam kehidupan menggereja.*** (Penulis: J. Yulianus Tulak, Direksi Pembangunan Gereja Stasi Langda)

Tidak ada komentar: