Rabu, 06 Januari 2016

KELUARGA KATOLIK: SUKACITA INJIL SIDANG AGUNG GEREJA KATOLIK INDONESIA IV

Langit cerah mengiringi keberangkatan Rombongan utusan Keuskupan Agung Makassar menuju ke Jakarta, dan selanjutnya ke Bogor untuk mengikuti Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) IV yang berlangsung pada tanggal 2 – 6 November 2015. Rombongan Peserta SAGKI utusan KAMS itu terdiri dari Bapak Uskup Agung Makassar, Mgr. Dr. Johannes Liku-Ada´, R.D. Samson Bureni (Vikep Sulbar), R.D. Andreas Rusdyn Ugiwan (Ketua Komisi Keluarga KAMS), Beatris Palamba (Wakil dari kevikepan Makassar), Albert Koswara (Wakil dari Marriage Encounter), Ernes Sentosa (Sekretaris Komisi Keluarga dan Wakil Pria Sejati Katolik), Edy Charlie (Wakil dari Couple for Christ (CFC-Makassar)), Robby Holiwono (Wakil dari CHOICE), Deddy Atmakusuma (Wakil dari komunitas FIDEI), Paulus Pabubung (Wakil dari kevikepan Luwu), Nelly Markiones (Wakil dari Kevikepan Sultra). Setelah menginap semalam di Wisma Samadi (Klender), pada 02 November 2015 seluruh peserta bertolak menuju ke tempat pelaksanaan SAGKI di Via Renata, Cimacan, Bogor.
  Setelah menempuh perjalanan yang panjang dan menyenangkan, kami pun tiba di VIA RENATA. Kedatangan setiap rombongan disambut dengan hangat oleh panitia dan sekaligus langsung menuju ke meja Panitia untuk menyelesaikan Registrasi di bagian kedatangan. Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia IV mengambil Tema: Keluarga Katolik, Sukacita Injil. Sebagaimana yang dituliskan oleh Mgr. Ignatius Suharyo dalam kata sambutannya sebagai Ketua Presidium KWI, tema ini dibahas karena peranan keluarga sangat penting bagi kehidupan Gereja dan masyarakat. Keluarga adalah sel utama dan pertama bagi Gereja dan masyarakat. Sel utama itu saat ini hidup di tengah-tengah kehidupan yang diwarnai oleh individualisme, konsumerisme, dan sekularisme, sehingga banyak keluarga menghadapi dan mengalami tantangan besar dalam melaksanakan tugasnya. Ditambah lagi masalah lingkungan hidup dan keadaan ekonomi seringkali menyusahkan hidup keluarga.
  SAGKI IV ini menjadi tanggapan nyata Gereja Katolik Indonesia terhadap ajakan Bapa Suci dalam memberikan perhatian dan dukungan bagi keluarga-keluarga katolik Indonesia. Dalam dua tahun terakhir ini Gereja memberikan perhatian yang besar kepada keluarga. Perhatian itu ditunjukkan dengan 2 sinode para uskup. Pertama, sinode Luar Biasa yang diadakan dalam bulan Oktober 2014 dan kedua, Sinode biasa pada tanggal 4-25 Oktober 2015.

Misa Pembukaan SAKGI 2015                       
  SAGKI 2015 dibuka dengan Misa Meriah yang dipimpin oleh Ketua Presidium KWI, Mgr. Ignatius Suharyo. SAGKI diikuti oleh 569 peserta yang terdiri dari uskup, imam, biarawan-biarawati, perwakilan umat dari 37 keuskupan, perwakilan keuskupan TNI, dan kelompok kategorial.
  SAGKI IV 2015 ini dibuka secara resmi pula dengan pemukulan gong sebanyak 5 kali oleh menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin. Beliau memuji cara persiapan perkawinan berupa kursus yang dilakukan Gereja Katolik Indonesia, yang dikatakannya dapat menjadi inspirasi untuk ditiru oleh agama-agama lain di Indonesia. Agama Katolik punya pengalaman panjang bagaimana membina penyiapan keluarga yang baik. Sehingga keluarga Katolik sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat, akan membuat masyarakat menjadi lebih baik.
  Hari kedua SAGKI IV (03 November 215) ditandai dengan Sharing Keluarga yang sekaligus menjadi Peneguhan Nilai Hidup Berkeluarga. Sharing hari kedua ini menampilkan Pasutri drg. Conny dan Vincent, bersama anak mereka Vanya yang berasal dari Keuskupan Agung Makassar. Dalam sharing mereka terungkap nilai-nilai kesetiaan dan kekuatan cinta sebagai suami dan isteri juga di dalam situasi yang tidak mudah, karena mereka sempat mengalami hidup terpisah karena tuntutan pekerjaan. „Dalam masa terpuruk, satu-satunya „harta“ yang saya rasakan waktu itu adalah keluarga. Saya tetap merasakan suka cita, karena punya keluarga,“ demikian ungkap Vincent dalam sharingnya.
  Keluarga Fransiskus Saragih dan Nurti br. Manurung dari Medan, bersama dua anak laki-laki mereka yang menjadi imam, Pastor Ivan Adelbert, OFMCap dan Romo Fernandus, Pr. dalam sharing mereka terungkap betapa penting disiplin yang diajarkan kepada anak-anak mereka sejak kecil, yang telah turut membentuk kepribadian mereka dikemudian hari. „Sejak kecil kami sudah membiasakan keempat anak laki-laki kami melakukan hal-hal kecil sederhana secara bersama-sama. Kami makan bersama di atas tikar, berdoa bersama, ke gereja juga selalu bersama.“ Didikan yang penuh cinta dalam keluarga telah turut menaburkan benih panggilan di hati anak-anak keluarga yang sederhana namun bahagia ini.
  Keluarga dr. Hugo dan Merlinda dari Keuskupan Banjarmasin, dalam sharingnya mengutarakan suka-duka dari kehidupan mereka berdua yang memutuskan untuk pindah dari kota besar dan mengalami hidup dan bekerja di tengah-tengah masyarakat yang sederhana. Namun suka cita Injil mereka rasakan dalam kehidupan yang jauh dari kemewahan itu, dan kebahagiaan mereka terbesar adalah berbagi dengan sesama melalui pelayanan sebagai dokter. Dalam segala keterbatasan dan dalam kesederhanaan hidup, mereka mengalami bahwa mereka menjadi kaya bukan karena harta yang melimpah, melainkan karena kehadiran dan bantuan mereka serta kesiapsediaan mereka untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang sederhana di pedalaman dapat memberikan arti bagi sesama.
  Setelah sharing keluarga, para peserta yang terbagi dalam 17 kelompok masuk dalam diskusi dan sharing kelompok. Setelah itu apa yang disharingkan dan didiskusikan dalam setiap kelompok ditampilkan dalam sidang Pleno. Dan seluruh rangkaian sidang ditutup dengan Perayaan Ekaristi.
  Sidang hari ketiga dilanjutkan dengan Testimoni Keluarga: Maria Loretha, Maria Imin, M. Ari Anggorowati, dan Pasutri Antonius Sanitioso dan Irene Laksmi Anggraini. Dalam Sharingnya, Maria Loretha yang juga dikenal sebagai Ibu Sorgum karena upayanya untuk mengembangkan benih Sorgum sebagai bahan makanan pokok. Dalam sharingnya, ibu Loretha mengatakan: „kata ´revolusi´ tidak perlu dimaknai secara politis praktis. Namun bagi Maria Loretha, revolusi tetaplah merangkum makna sebagai perubahan radikal menyeluruh dalam hal tertentu. „kali ini revolusi pangan harus terjadi pertama-tama di ruang makan keluarga.“
  Maria Imin, seorang wanita yang tinggal di Lale, Beamese, Manggarai, Flores, hidup dari berkebun dan membuat tenunan. Kalau saja dalam hidupnya ada opsi lain, maka takkan pernah Maria Imin memperbolehkan suaminya pergi meninggalkan dia dan ketiga anaknya untuk mencari makan di negeri jiran Malaysia. Nyatanya opsi lain itu tidak ada dan karenanya ia harus melakukan pilihan sangat berat: suaminya merantau ke Malaysia untuk mencari makan. Dua tahap sudah dijalani suaminya, yakni kurun waktu 2013 hingga Oktober 2015 ini.
  Sosok ketiga yang membagikan pengalamannya adalah M. Ari Anggorowati. Perkawinannya akhirnya kandas dan kemudian memilih bercerai secara sipil melalui proses peradilan untuk kehidupan masa depan yang lebih baik. „Jujur saja, pilihan ini tidak mudah dan sangat berat, menguras energi batin dan membuat kondisi finansial juga morat-marit,“ tutur beliau. Ketegaran dan ketabahannya nampak dalam upayanya untuk membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Ia pernah berkata pada dirinya sendiri: „Jika saya gagal mendidik dan membesarkan anak-anak, lebih baik saya masuk neraka saja.“ Kehadiran anak-anak dan support yang diberikan oleh buah hatinya menjadi kekuatan yang luar biasa di tengah badai kehidupan yang harus ia jalani. Status hidup sebagai janda memang sangat tidak menyenangkan dan ia banyak mengalami tekanan karena pola pandang masyarakat yang picik, memandang status janda sebagai sesuatu yang negatif. Bahkan tekanan tersebut juga sering kali muncul dalam lingkungan gereja, di mana ia ingin terlibat untuk melayani.
  Kesaksian hidup selanjutnya adalah testimoni keluarga Antonius Sanitioso (Toos), pilot senior tes penerbangan, dan Irene Laksmi Anggraini, ibu rumah tangga. Mereka mengutarakan bahwa setelah 40 tahun hidup merenda kasih dalam hidup perkawinan dan membina rumah tangga, sebagai pasangan suami isteri kawin campur beda agama. Kebahagiaannya itu makin lengkap, setelah isterinya dalam beberapa tahun ini mengikuti jalan iman suaminya dengan memberanikan diri dibaptis secara katolik. Namun, jalan panjang meretas bahagia sepanjang 40 tahun menikah bukan datang seperti hujan kemarin sore. Semua harus melewati lika-liku yang panjang. Namun dengan kesabaran dan ketekunan dalam doa serta kesetiaan dalam pengharapan semua menjadi indah pada waktunya.
  Hari Ketiga SAGKI diwarnai juga dengan malam keakraban. Beberapa keuskupan diminta untuk menyumbangkan acara dalam malam keakraban ini. Suasana semakin meriah dengan kehadiran beberapa artis yang diundang khusus untuk memeriahkan suasana. Tidak kalah meriahnya penampilan dari beberapa Uskup di atas panggung hiburan, misalnya Mgr. Agustinus Agus yang membuat suasana semakin hidup dengan nyanyian dan pantun.

Oleh-oleh dari Sinode Para Uskup di Roma
  Pada Sidang Pleno Hari Keempat SAGKI 2015 Mgr. Ignatius Suharyo membagikan Oleh-Oleh dari Sinode Para Uskup di Roma. Pada Sinode Uskup di bulan Oktober 2015, Gereja Katolik Indonesia diwakili oleh dua uskup: Mgr. Ignatius Suharyo selaku Ketua KWI dan Mgr. Fransiskus Kopong Kung dari Diosis Larantuka, Flores, NTT dalam kapasitasnya sebagai Ketua Komisi Keluarga KWI. Menjelang sinode, terdapat begitu banyak tulisan yang dibuat oleh berbagai pihak mengenai tema keluarga. Ada pihak-pihak yang sengaja membuat pertemuan dan mencoba mempengaruhi para peserta Sinode dengan mempublikasikan keprihatinan dan harapan mereka. Salah satu tulisan yang bagus datang dari Konferensi Uskup Jerman dimana mereka bicara tentang upaya bisa “Membantu pasangan bercerai yang kemudian menikah kembali melalui jalan-jalan yang bertanggung jawab secara teologis dan pastoral”. Sementara itu, para Uskup Afrika membuat publikasi dengan judul menantang: “Afrika, Tanahair Kristus yang Baru”.
  Mgr. Suharyo mengungkapkan bahwa suasana awal sinode diwarnai dengan penuh kecurigaan. Secara diam-diam para peserta Sinode saling membatin, Uskup ini ada di pihak siapa? Anggota sinode sebanyak 270 dan hanya mereka yang punya hak suara. Pendengar dan undangan boleh bicara, tetapi tidak punya hak suara. Pada waktu pembukaan Sinode, salah satu Uskup berkomentar tentang kegelisahan yang terasa di awal Sinode: “Bau setan sudah masuk ke ruang ini.”  Begitulah contoh suara-suara sumbang yang terjadi menjelang Sinode.
Banyak lobi terjadi di luar forum sinode. Banyak pula muncul undangan-undangan dari dua kelompok berseberangan: konservatif dan moderat. Karena daftar peserta Sinode dipublikasikan sebelum Sinode dimulai, Mgr. Suharyo mengemukakan bahwa akun emailnya dipenuhi oleh email dari berbagai kelompok kepentingan yang bermaksud melobinya.
  Namun, lagi-lagi berkat bimbingan Roh Kudus, semua berakhir sangat bagus. Hal itu tampak pada hasil akhir, dari 94 pernyataan, semua diterima mutlak. “Semua hasil dipublikasikan demi transparansi, termasuk pemungutan suaranya,” demikian ungkap Mgr. Suharyo mengutip pernyataan Paus Fransiskus.
Mgr. Suharyo juga menjelaskan bahwa pembahasan sempat alot selain karena topik juga karena masalah penerjemahan. Dokumen asli ditulis dalam bahasa Italia dan kemudian baru diterjemahkan ke bahasa-bahasa lainnya. Mengenai bahasa ‘tinggi’ yang biasanya ditemui dalam dokumen Gereja, Mgr. Suharyo mengatakan sempat ada usulan agar dokumen Gereja dibuat dalam dua versi: versi mudah dan versi asli.
  Hasil Sinode 2015 secara umum dibagi menjadi tiga bagian.
Bagian Pertama: Gereja Mendengarkan Keluarga
  Jatidiri manusia selalu berubah. Istilah yang digunakan oleh Mgr. Suharyo adalah: dari tradisi menuju opsi. Tradisi sangat besar mempengaruhi cara pikir orang pada zaman dulu. Orangtua katolik, maka saya pun juga (harus) katolik. Sekarang, tradisi mulia zaman lampau itu sudah luntur. Lalu ada masalah yang dulu tidak ada di zaman sebelumnya. Kini, ribuan pengungsi telah membanjiri Eropa; sedangkan keluarga-keluarga di Eropa malah tidak punya banyak anak.
  Limabelas juta orang non kristiani kini menjadi penduduk di Jerman. Jerman juga telah menerima limpahan banyak pengungsi untuk kemudian tinggal di Jerman; juga menerima banyak pengungsi dari Afrika. Kita tidak tahu, 10 tahun lagi Jerman akan menjadi seperti apa.
Keprihatinan lain: terjadinya campur tangan negara. Masalah pasangan hidup sejenis kemudian dilegalisir oleh berbagai negara dan legalisasi adopsi bagi pasangan-pasangan seperti ini. Di Amerika dan Eropa, pasangan hidup sejenis sudah menjadi gejala yang sangat luas. Ini semua menjadi tantangan besar. Penelitian Sinode 2014 atas pemahaman umat tentang perkawinan gerejani sangat rendah. Contoh lokal: Mengapa perkawinan katolik disebut sakramen? Itu karena diberkati oleh Pastor. Itu jawaban seorang ibu guru yang minta surat ke seorang pastor.
Bagian Kedua: Keluarga dalam Rencana Allah
  Bagian ini berisi uraian tentang kerahiman Allah. Ini berkaitan dengan kesan banyak orang yang telah dipinggirkan oleh Gereja tanpa alasan jelas. Termasuk pertanyaan mendasar yang kini kian mengemuka soal komuni: apakah keluarga-keluarga ‘pecah’ masih tetap boleh menerima komuni?
  Gereja berangkat dari kerahiman Allah, maka Gereja tanpa henti harus selalu mendampingi anak-anak Yesus dengan penuh cinta kasih. “Saya akan bicara dengan para pastor KAJ berkaitan dengan pengumuman di gereja sebelum komuni. Antara lain imbauan tidak boleh menerima komuni bagi mereka yang perkawinannya bermasalah,” kata Mgr. Suharyo.
Bagian Ketiga: Perutusan Keluarga
  Ini berisi imbauan agar Gereja memiliki suara hati yang jernih di hadapan Allah. Juga punya integritas dan kejujuran. Gereja juga telah merampingkan proses anulasi. “Jangan dimengerti secara salah sebagai upaya meresmikan perceraian,” tandas Mgr. Suharyo.
Pokok-pokok masalah ini tengah digodok serius oleh para ahli Hukum Gereja. Pokok pembahasan mereka sekitar usaha keras pihak Gereja yang melakukan ‘perampingan’ prosedur anulasi perkawinan. “Jadi, ini ada indikasi sangat jelas bahwa Paus Fransiskus ingin membantu saudara-saudara kita yang sedang menghadapi kesulitan dalam perkawinan mereka,” Mgr. Suharyo. „Ini soal logika penerimaan, bukan logika peminggiran atau pengucilan. Sebuah langkah yang sangat berani diambil oleh Tahta Suci,“ demikian penegasan Mgr. Suharyo.
  Kecenderungan Gereja Katolik saat ini bukanlah untuk melemahkan iman. Yang terjadi malah sebaliknya: Gereja ingin mengungkapkan kasih dalam hal-hal ini. Pada bagian ini, Mgr. Suharyo juga menyampaikan agar umat katolik semakin rajin membaca dokumen-dokumen resmi Gereja yang kini dikoleksi oleh KWI (Dokpen KWI) dalam format digital yang bisa diakses oleh semua orang. Dokumen-dokumen itu sangat bagus dan diolah dari berbagai macam sumber terpercaya.
  Mgr. Suharyo sangat bisa merasakan adanya semacam “tegangan” antara suara hati versus aturan-aturan hukum yang kaku. Antara kerahiman Allah dan keadilan hukum. Antara kebenaran dan pengampunan. Itu karena, tambahnya, tidak ada keadilan yang berdiri sendiri. Juga, tidak ada kebenaran yang berdiri sendiri.
Mengutip Misericordiae Vultus, Paus mengatakan: “Gereja menyerupakan sikapnya dengan sikap Yesus yang dengan kasih tanpa batas, memberikan diri untuk semua, tanpa kecuali”. “Hari Sabat adalah untuk manusia, bukan manusia untuk Hari Sabat. Gereja bukan museum, tetapi sumber air yang hidup. Gereja adalah ibu yang lemah lembut sekaligus sebagai guru yang menerangkan semuanya dengan dengan jelas. Pengarahan Paus sangat jelas, walau perlu penjabaran lebih luas,” demikian penjabaran Mgr. Suharyo kepada peserta SAGKI.
  Mgr. Suharyo menggarisbawahi perlunya pendampingan khusus bagi keluarga-keluarga yang mengalami kesulitan. Sudah pasti, mereka itu berada dalam kondisi tidak normal. “Itulah yang harus diberi perhatian khusus; jadi, jangan sampai malah ada pengucilan bagi keluarga-keluarga bermasalah ini. Bagi keluarga-keluarga katolik, seharusnya tidak ada jalan buntu,” ungkap Mgr. Suharyo.
  Pada akhir pemaparannya, Mgr. Suharyo menyimpulkan bahwa sekarang ini, keadaannya sudah berbeda, juga tradisi pernikahan berbeda, maka tidak ada pedoman yang kemudian bisa disebut berlaku umum. Pedoman-pedoman itu perlu diadaptasi dalam konteks budaya yang berbeda-beda. “Fokusnya adalah apa yang harus kita lakukan agar perkawinan dan hidup bekeluarga katolik sungguh menjadi jalan menuju kesempurnaan kasih dan kepenuhan hidup kristiani,” tandas Uskup Agung Keuskupan Jakarta ini.
  Selain Mgr. Ignatius Suharyo, tampil pula Rm. P Yan Olla MSF. Beliau menguraikan bagaimana Gereja Perdana mulai terbentuk sejak Pentakosta. Berawal dari kumpul-kumpul di keluarga hingga kemudian terstruktur punya „organisasi“ namun pertama-tama Gereja tetaplah hadir di lingkup keluarga-keluarga. Mereka yang percaya berkumpul di rumah-rumah, bertekun dalam persekutuan, berdoa. Santo Paulus melihat Gereja terutama bukan sebagai bangunan fisik, tetapi orang-orang kristiani yang berkumpul dalam persekutuan dan dihayati dalam kegembiraan. Semakin lama terjadilah pemisahan antara yang profan dan sakral sehingga terjadi sekularisasi keluarga. Keluarga menjadi tempat yang profan. Beliau menekankan perlunya pertobatan pastoral para pengambil keputusan berkaitan dengan pelayanan keluarga-keluarga. Sebuah pertanyaan kritis yang patut direnungkan pula adalah: apakah pastoral gereja telah menampakkan wajah Allah yang berbelas kasih dan membawa kegembiraan kepada mereka yang berada di pinggiran kemanusiaan, berbau domba, atau telah menjadi „pabean“ yang mengontrol rahmat Allah?
  Prof. Irwanto sebagai ahli di bidang Psikologi memaparkan bagaimana keluarga senantiasa bergumul dalam transisi dan krisis. Persoalan keluarga di Indonesia begitu kompleks sehingga tak mungkinlah bicara keluarga hanya sebagai satu entitas „mandiri“ yang bisa dianggap mewakili semua wajah keluarga Indonesia. Kasus perceraian paling banyak terjadi pada pasangan yang menikah kurun waktu tiga tahun pertama, atau, 30 tahun sesudah nikah, ketika anak-anak sudah beranjak menjadi dewasa. Konflik yang dulu ditahan karena ada anak, kini menyeruak ke permukaan.
  Keluarga sebagai kawanan yang melakukan perjalanan panjang, terjal, sering tidak punya waktu atau tidak berani untuk berhenti. Seharusnya ada 2-3 tangan yang membantu mereka: „ayo berhenti sebentar, saya bantu kalian. Namun, di dunia saat ini, keluarga hanya fokus pada diri sendiri. Gereja Katolik sudah didesain beragam, tetapi institusi Gereja tidak bisa menjawab diversitas yang ada.“
  Pada penghujung hari keempat SAGKI 2015 para peserta berkumpul untuk bersama-sama mendengarkan dan mengkritisi perumusan hasil akhir SAGKI IV. Perumusan Hasil SAGKI IV 2015 ini dibacakan pada Seremoni Penutupan yang diadakan setelah Perayaan Ekaristi Penutupan yang dipimpin oleh Mgr. Mgr. Leo Laba Ladjar OFM sebagai Selebran Utama.
  Para utusan Keuskupan Agung Makassar sungguh merasa bahagia dan bangga boleh menjadi wakil dari KAMS, dan turut terlibat aktif selama SAGKI 2015 ini berlangsung. Berikut beberapa komentar dari mereka:
R.D. Samson Bureni (Vikep Kevikepan Sulbar)
Ada 2 poin yang menjadi kesan saya. Pertama, kehadiran wakil umat yang cukup antusias sejak hari pertama sampai hari terakhir yang juga terwujud dalam diskusi-diskusi pleno, partisipasi dalam yel-yel saat mewakili keuskupan masing-masing, membangun keakraban saat rehat baik di ruangan tertutup maupun terbuka yang dalam semua itu sungguh cair dan memperlihatkan wajah gereja Indonesia yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Kedua, kehadiran semua uskup dari 37 keuskupan (minus uskup KAS yang sakit dan kini telah kembali ke Pangkuan Bapa namun Vikjen KAS hadir mewakili beliau).
Kehadiran para gembala  utama sungguh menjadi perekat dalam SAGKI dan memberi warna akan apa yang sungguh-sungguh menjadi keprihatinan gereja saat ini yang tidak saja diusulkan tetapi dalam SAGKI sungguh dibincangkan, ditemukan titik masalah diuraikan oleh para pakar, dibincangkan oleh para peserta sidang untuk ditemukan bersama solusinya. Sehingga sungguh-sungguh menjadi masalah kita, yang kita hadapi, untuk kita atasi bersama. Sehingga gereja dalam beragam suka-duka, untung-malang, sehat-sakitnya menjadi muara yang menggerakkan semua dalam menyelesaikan bersama. Dari kita, oleh kita dan untuk kita.
Edy Charlie (Couple for Christ – CFC)
Saya bersyukur dan bangga diberi kesempatan sebagai peserta SAGKI ke-4 yang temanya tentang keluarga yang sangat pas dengan pelayanan saya dalam Pastoral Keluarga bersama Pastor Rusdyn dan Tim Komisi Keluarga KAMS. Terlebih menjadi kebanggan bagi saya boleh mengalami SAGKI bersama-sama para Uskup se-Indonesia.  Saya acungkan 2 jempol untuk Panitia Pelaksana SAGKI 2015, begitu juga dgn pembahasan yang cukup lengkap. Saya berharap, hasil dari SAGKI 2015 ini bisa diarahkan dengan baik oleh Bapak Uskup KAMS untuk menyatukan Visi dan Misi Pastoral Keluarga 5 thn ke depan agar dpt diimplentasikan dan disesuaikan dgn baik sesuai permasalahan yang dihadapi di setiap paroki dalam lingkup kevikepan masing-masing.
R.D. Andreas Rusdyn Ugiwan (Ketua Komisi Keluarga)
Rumusan yang telah dihasilkan SAGKI menjadi pekerjaan rumah bersama, bagaimana Pastoral Keluarga di Keuskupan Agung Makassar dapat membawa wajah Allah yang berbelas kasih. Situasi konkret yang mewarnai kehidupan Keluarga Katolik tentu menanti langkah konkret pula dari para pelaksana Pastoral Keluarga. Tujuannya tidak lain adalah agar Suka Cita Injil dapat menjadi habitus dalam diri setiap insan dalam keluarga, dan dapat menjadi kekuatan untuk terus melangkah dalam iman. Seluruh wakil dari SAGKI ini adalah saksi hidup dari seluruh dinamika yang terjadi dalam SAGKI ini. Dan para utusan dari KAMS adalah para pembawa benih SUKA CITA di dalam kehidupan pribadi dan keluarga mereka, dan tentu sangat diharapkan agar mereka dapat bekerja sama menularkan semangat dan sukacita Injil di dalam pelayanan Pastoral Keluarga mereka.

Robby Holiwono (CHOICE Distrik Makassar)
Mengikuti SAGKI merupakan pengalaman yang Luar biasa apalagi peristiwa yang demikian sangat jarang ada kesempatan kami bisa ikut, apalagi sebagai peserta di antara para pemimpin Gereja Katolik Indonesia.
Dulu saya beranggapan bahwa para Uskup merupakan sosok yang sangat berwibawa dan terkesan agak pasang wibawa. Ternyata mereka suka juga bergaul bahkan banyak yang bisa humor dengan kami para peserta yang notabene adalah umat biasa. Selain dari itu saya juga kagum dengan kepanitiaan tuan rumah yang melayani peserta dengan hati. Mulai dari penjemputan sampai sesi akomodasi, sesi komsumsi apalagi sesi acara dan Liturginya, mereka begitu profesional dalam melayani kami peserta. Saya banyak belajar dari sesi Liturgi mereka memberi kebebasan berkreasi untuk semua delegasi pada saat membawa tugas masing-masing.
Dalam diskusi kelompok saya melihat begitu banyak orang-orang yang berpotensial yang mau bekerja untuk gereja katolik, dan juga kearifan uskup-uskup yang berkomentar mengenai keadaan kekinian dalam masalah Rumah tangga, ternyata mereka juga melihat domba-domba, bahkan mau merangkul domba-domba yang hilang. Yang menjadi kenangan terindah adalah kebersamaan semua peserta untuk mencapai apa yang kita cita-citakan bersama.
Semoga apakah yang telah dirangkaikan indah-indah dari hasil SAGKI ini bisa menyadarkan para pastor paroki agar mau menerima hasil SAGKI ini untuk dijadikan pedoman kerja di paroki-paroki menjadikan KELUARGA SUKACITA INJIL, sehingga tema ini menggema diseluruh INDONESIA, agar keluarga dapat memberi arti dalam mencapai dunia baru. dan semoga diwaktu-waktu yang akan datang ide-ide SAGKI dapat selalu dipakai didalam komunitas basis.
Paulus Pabubung (Kevikepan Luwu)
Luar biasa! SAGKI 2015 berjalan sungguh baik dan lancar. Proficiat bagi segenap panitia. Saya mengalami betapa ramah dan sangat bersahabat, serta kerja keras Panitia sejak awal hingga akhir seluruh rangkaian acara SAGKI. Via Renata, tempat penyelenggaraan SAGKI merupakan tempat yang luas, indah, sejuk, tenang, dan damai dengan fasilitas yang sangat menunjang seluruh kegiatan SAGKI. Suka Cita Injil yang menjadi Tema SAGKI sungguh sudah terasa dalam sebuah keluarga Besar yang terdiri dari Peserta yang datang mewakili keuskupan-keuskupan yang ada di Indonesia. Testimoni keluarga, diskusi kelompok, peneguhan para ahli, dan kegiatan malam keakraban sungguh sangat menyentuh dan menggembirakan hati. Terutama Testimoni Keluarga menggugah  hati saya dan mengingatkan saya betapa banyak keluarga Katolik yang mengalami pergumulan. Namun di tengah berbagai pergumulan, demikianlah harapan saya, keluarga-keluarga Katolik dapat tetap berdiri teguh dan tegar di dalam kesetiaan, dan tetap dapat memancarkan suka cita Injil. Dan sumber kekuatan Keluarga Katolik tidak lain berasal dari Allah sendiri. Saya bangga dapat menjadi wakil Keuskupan Agung Makassar dan berharap bahwa Pesan dari SAGKI ini dapat saya bagikan dan wartakan dalam kehidupan saya sendiri dan pelayanan saya dalam pastoral keluarga. SAGKI 2015…Moooke (Oke)..kata Mgr. Leo Laba … Wa…wa….wa (ungkapan untuk mengatakan „Hebat!“)
Beatris Palamba (Kevikepan Tana Toraja)
Suatu kebahagiaan bisa mengikuti dan menjadi peserta Sagki ,dimana bisa bertemu dengan para Uskup, Pastor, Frater, Suster dan semua saudara seiman dalam semangat persaudaraan .
Dan saya disemangati melalui acara Testimoni Keluarga untuk lebih melayani, berbagi sukacita bagi keluarga yang butuh perhatian dan pertolongan.
Kebanggaan menjadi orang katolik melalui  perayaan ekaristi khususnya pada saat misa pembukaan dan penutupan dimana para Uskup  pembersembahkan perayaan ekaristi sepertinya saya menyaksikan orang kudus. ** Penulis: Pastor Andreas Rusdyn Ugiwan Pr, Ketua Komisi Keluarga KAMS

Tidak ada komentar: